DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI
By taufiqqurrahman
Melanjutkan
status yang kemaren, saya teringat ketika kuliah filsafat Islam beberapa tahun
yang lalu di IAIN Sunan Kalijaga, membahas pemikiran Mohammed Arkoun tenteng Rethingking of Islam. Betapa sulitnya
saya mencerna dan mengambil benang merah ketika membaca buku Arkoun ini, tapi
Dr. Amin Abdullah menjelaskannya dengan sangat mudah kepada kami, hanya dengan
menarik panah segitiga di papan tulis, inti pemikiran Arkoun menjadi terang
benderang di kepala saya. Apa yang dimaksud Arkoun tentang tafsir bolak balik,
yakni dengan memahami isi teks, memahami latar belakang (konteks) ketika teks
ini dilahirkan, kemudian membawakannya dalam pemahaman (konteks) kekinian.
Itulah
dekonstruksi. Dekonstruksi terhadap teks. Begitulah penafsiran Al-Qur’an ala
Arkoun yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Derrida. Al Qur’an harus ditafsir ulang, tafsir-tafsir
lama yang sudah berkarat harus dibongkar, pemahaman tunggal tidak relevan lagi.
Teks Al Quran membutuhkan tafsir baru yang sesuai dengan dinamika zaman. Rasanya
waktu itu hebat sekali ide-ide seperti ini, apalagi bagi saya yang baru kuliah
tafsir semester tiga. Membayangkan kita yang baru kuliah ini akan “membully”
kitab-kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama-ulama terkemuka di masa
lalu, tafsir Al Maraghi, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Jalalain dan lain-lain yang
selama ini menjadi rujukan bagi ummat Islam.
Ide Dekonstruksi
ini terdengar sangat hebat dan revolusioner, digandrungi mahasiswa yang haus
ilmu seperti saya. Karena itu dengan serius saya mencerna Arkoun, menggugat
teks, menafsirkan realita, dan kemudian bingung. Karena setelah itu apa?
Sekedar memenuhi hasrat intelektual ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pada
akhirnya saya berkesimpulan, hal-hal yang revolusioner kadang tidak jelas
ujungnya.
Begitu
juga dalam kehidupan ini, Dekonstruksi adalah sebuah ide yang ambisius. Pemahaman
sederhananya, untuk membangun (merekonstruksi) sesuatu yang baru, kita perlu
melakukan penghancuran (dekonstruksi) terhadap yang lama. Karena selagi yang lama
masih bercokol, dia akan berpotensi menjadi penghalang terhadap rekonstruksi
yang baru itu.
Karena
itu para pemikir yang ambisius terhadap perubahan selalu melakukan dekonstruksi
sebelum merekonstruksi. Outputnya apa yang kita sebut dengan blueprint (cetak biru). Sesuatu yang
sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya. Contoh yang lazim kita lihat adalah
cetak biru di dunia pendidikan. Lain mentri lain kebijakan, karena setiap
mentri yang baru melakukan pembongkaran terhadap system yang lama. Begitu juga cetak
biru di bidang ekonomi, berada dalam tarik menarik antara ekonomi kapitalis dan
ekonomi kerakyatan, antara ekonomi modal dan ekonomi pemberdayaan. Dalam teori
dekonstruksi, semua adalah soal rekayasa, soal bagaimana menafsir ulang atau
membuat tafsir baru terhadap sesuatu.
Sekarang
proses dekonstruksi dan rekonstruksi ini sepertinya sedang dipraktekkan terhadap
Negara ini. Negara sedang menjalani proses cetak biru. Negara sedang melakukan
dekonstruksi dengan membuat tafsir ulang terhadap symbol-simbol, menggugat otoritas
lama dan memberi makna baru terhadap sejarah dan identitas. Sekurangnya itulah yang saya rasakan sebagai
warga Negara.
Jadi
agak naïf jika masyarakat sekarang menuntut Mr. Presiden untuk memenuhi
janji-janjinya ketika kampanye dulu –menuntut harga murah, menuntut lapangan
kerja lebih banyak, menuntut biaya kesehatan BPJS rendah dll- karena memang
kosentrasi presiden dan rezim sekarang tidak untuk memenuhi janji-janji itu,
tapi berkosentrasi untuk membuat cetak biru Negara ini. Jadi agak keliru kalau
orang menganggap program rezim sekarang tidak berjalan. Memang program dalam
bentuk janji-janji itu banyak yang tidak jalan, tapi rencana rezim untuk
membuat cetak biru Negara ini berjalan dengan mulus dan hampir selesai.
Seperti
apa cetak biru Negara ini? Sama-sama kita lihat saja. Tidak terkatakan tapi
bisa dirasakan. Namun yang pasti dalam pemahaman dekonstruksi seperti yang
dijelaskan di atas, kalau dekonstruksi dipahami sebagai proses penghancuran terhadap
anasir-anasir lama -dan Islam dianggap sebagai bagian dari anasir lama
tersebut- maka cetak biru Negara ini akan dibuat tanpa melibatkan Islam. Kalaupun
tidak bisa seratus persen meniadakan Islam, minimal cetak biru ini meminggirkan
Islam dari pentas dinamika berbangsa di Negara ini.***
Komentar
Posting Komentar