Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

PARADIGMA, POSTULAT, KONSEP, ASUMSI, DAN HIPOTESIS
(Dasar-Dasar Epistemologis Pengetahuan Ilmiah)
Oleh Taufiqurrahman


Salah satu ciri pengetahuan ilmiah adalah memiliki landasan teori (landasan epistemologis) sebagai prasyarat untuk melakukan riset lebih mendalam. Tanpa landasan teori ini, pengetahuan ilmiah akan kehilangan ketajaman dan kedalamannya, karena tidak akan mampu menjelaskan sebuah fakta atau fenomena yang tersembunyi dari alam dan kehidupan, bahkan hanya akan menjadi pengetahuan biasa yang dangkal dan sederhana.
Terlepas seperti apa teori yang mendasari sebuah pengetahuan ilmiah, benar atau salah, relevan atau tidak relevan teori tersebut. Semua itu menjadi bagian yang integrate dari sebuah penelitian. Karena itu sebuah teori yang dilahirkan dalam sebuah penelitian ilmiah harusnya bisa diuji, dibantah dan bahkan digugurkan jika ternyata dalam pengujian ilmiah teori tersebut terbantah kebenarannya oleh teori lain. 
Dalam penelitian ilmiah, kita mengenal beberapa hal penting yang menjadi komponen dalam epistemology ilmu pengetahuan, yakni Paradigma, Postulat, Konsep, Asumsi, dan hipotesis. Masing-masingnya menempati posisi tertentu dalam proses penelitian dan berperan dalam menemukan kesimpulan terhadap sebuah penelitian.
1. Paradigma
Sebagai sebuah konsep, istilah paradigm pertama sekali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn yang membagi paradigm kepada tiga cakupan; 1) Paradigma Metafisik (Metaphisical Paradigm), 2) Paradigma yang bersifat Sosiologis (Sosiological Paradigm) dan 3) Paradigma Konstruk (Construct Paradigma). Pemahaman ini kemudian disempurnakan oleh George Ritzer yang menjelaskan bahwa Paradigm is the subject matter of science. Yakni gambaran/pandangan dasar mengenai objek pembahasan suatu sains. 
Paradigma melekat pada seorang ilmuwan yang akan meneliti, bukan pada objek penelitian. Dia berangkat dari word view-nya seorang ilmuwan, atau weltanschauung yang merupakan cara pandang seorang ilmuwan terhadap dunia dan alam ini. Oleh karena itu sangat mungkin dalam penelitian terhadap sebuah ojek, ilmuwan bisa menghasilkan kesimpulan atau teori yang berbeda karena paradigm dan weltanschauung-nya berbeda. 
Paradigmalah yang mengarahkan ilmuwan pada apa yang harus dikaji, pertanyaan-pertanyaan apa yang patut dikemukakan dan bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemudian aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan untuk mendapatkan jawaban. Contoh yang sederhana saya jelaskan di sini adalah bagaimana paradigm seorang Charles Darwin yang positivistic dalam mengemukankan teori evolusi tentang kejadian manusia dengan Harun Yahya sebagai paradigm seorang yang bertuhan. Dalam paradigm Darwin, kejadian manusia adalah proses yang alamiah, berevolusi dan berkembang begitu saja, kejadian manusia adalah becoming, berubah dari suatu bentuk ke bentuk lain, dan tak ada campur tangan tuhan di sana. Tapi dalam pandangan Harun Yahya, manusia adalah being, diciptakan oleh sesuatu di luar dirinya yang maha sempurna. Dengan pembuktian DNA, Harun Yahya mematahkan teori Darwin bahwa perubahan DNA makhluk hidup dari satu bentuk ke bentuk lain secara evolutif adalah hal yang mustahil, dan teori evolusi tak lagi bisa dipertahankan. 
Inilah contoh bagaimana Paradigma menentukan kesimpulan akhir sebuah teori terhadap objek yang sama. Mereka mungkin saling bertentangan atau saling meniadakan, tapi tetap saja dipertahankan, dibela, diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan sesudahnya. Karena itulah paradigma jaga dianggap menjadi suatu kesatuan konsensus yang terluas dari sains. Paradigmalah yang membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas ilmiah lainnya. Dia membatasi dan juga menggabungkan model-model teori-teori serta instrumen-instrumen yang dipakai dalam penelitian ilmiah. Dalam konteks ini, paradigma bisa berkembang menjadi mazhab-mazhab ilmu pengetahuan yang memiliki pendukung dan pengikut di bidang ilmu tersebut. 
Dalam perkembangan ilmu social sendiri, dikenal beberapa paradigma yang diusung oleh tokoh-tokoh sosiologi, kemudian menjadi dasar-dasar terhadap perkembangan ilmu sosiologi selanjutnya :

a. Paradigma Fakta sosial
Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim. Dalam The Rules of Sociological Method (1895), dan Suicida (1897), Durkheim mengkritik praradigma sosiologi yang didominasi oleh August Comte dengan positivismenya yang berpandangan bahwa sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan berdasarkan fakta di lapangan. Menurut Durkheim, menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi harus melalui kajian lapangan (field research), bukan hanya berangkat dari penalaran murni. Paradigma Durkheim ini kemudian diikuti oleh ilmuwan sosilogi berikutnya seperti Talcott Parson dengan teori Fungsionalisme Struktural, kemudian teori konflik, teori Sosiologi Makro, dan Teori Sistem. 

b. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini diusung oleh Max Weber yang melakukan analisis terhadap tindakan sosial (social action). Tindakan sosial dalam paradigma ini adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain. Kata kunci yang ditekankan dalam paradigma ini adalah “tindakan yang penuh arti”. Weber tidak memisahkan struktur dan pranata sosial, karena menurutnya keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang pernuh arti itu. Untuk mengkaji perilaku ini, Weber menggunakan ”analisis pemahaman” (interpretatif understanding). Turunan teori yang berangkat dari paradigma Definisi sosial ini adalah teori Fenomenologi, interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Dramaturgi dll. 

c. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma Perilaku Sosial diusung oleh B.F. Skinner. Objek sosiologinya adalah perilaku manusia yang tampak serta pengulangan yang dilakukan oleh subjek (yakni antara individu dengan lingkungannya) yang merupakan mekanisme stimulus dan respon individu terhadap lingkungannya.
Teori yang kemudian muncul dari paradigma ini adalah: Sosiologi Behavioral dengan konsep reinforcement dan proposisi, reward and punishment, serta teori exchange dengan pemahaman akan selalu ada take and give dalam kehidupan sosial.
Dalam bentuk seperti ini, paradigma sudah berkembang menjadi mahzab-mahzab pemikiran dalam sebuah cabang ilmu pengetahuan, atau dalam hal ini ilmu sosiologi. 

2. Postulat
Secara etimologi, postulat dapat diartikan sebagai dalil. Yakni argumen-arguman yang dapat menguatkan lahirnya sebuah asumsi. Mungkin belum begitu sistematis, tapi argumen/dalil yang dibangun tersebut berpijak pada fakta. Karena itu menurut Goode dan Hatt, pada dasarnya antara postulat dan asumsi itu tidak ada bedanya, karena keduanya merupakan dasar-dasar yang tidak ilmiah –meskipun ditarik dari fakta yang ada- bagi terbentuknya pengetahuan ilmiah, sehingga perlu pembuktian. Bahkan sebagian ahli sosiologi berpendapat bahwa untuk membuat sebuah asumsi dasar seorang peneliti tidak memerlukan postulat. Postulat dipakai untuk menjalin konsep-konsep menjadi teori. 

3. Prinsip dan Konsep
Secara umum, prinsip dapat dipahami sebagai pandangan mendasar yang dipilih oleh peneliti dalam mengembangkan suatu teori. Sedang konsep adalah istilah-istilah serta terminologi tentang sesuatu yang dipakai dalam penelitian ilmiah. Karena berfungsi sebagai pijakan dalam menjelaskan sesuatu, konsep mestinya harus jelas, baku, dan tidak multi interpretatif. Dalam penelitian ilmiah, sedapat mungkin konsep yang digunakan adalah konsep yang sudah diakui secara umum oleh para pakar di bidang ilmu yang bersangkutan, sebab tanpa konsep yang jelas tentang sesuatu yang dibicarakan akan sulit menemukan kesimpulan. 
Mendudukkan sebuah konsep dalam pembahasan penelitian membutuhkan definisi yang jelas, batas-batas yang jelas sehingga tidak kabur dengan pemahaman atau konsep lain. Ketika mendudukkan konsep seni dan pornografi misalnya, harus jelas pengertian dan batas-batasnya, mana yang seni dan mana pornografi. Jangan sampai pornografi dianggap seni dan sebaliknya. Semuanya harus terang dalam pengertian dan lingkupnya.

4. Asumsi
Asumsi berasal dari kata assumpsion, yang secara etimologi berarti anggapan. Berasumsi berarti menduga, memperkirakan, memperhitungkan atau meramalkan. Sebelum dibuktikan dalam sebuah penelitian, seorang peneliti membutuhkan asumsi tarhadap persoalan yang akan ditelitinya. Kalau misalnya penelitian itu kuantitatif, asumsi seorang peneliti terhadap okjek akan mempengaruhi variabel-variabel yang akan dipilihnya. Variabel-variabel yang dianggap relevan yang bisa membawanya pada kesimpulan yang akurat. Karena itu, menurut Jujun S. Sumantri, asumsi harus sesuai dengan fakta dan kemudian ditarik secara induktif. 
Asumsi dapat juga dipahami sebagai dugaan dasar, menjadi landasan berpijak dalam penelitian karena dianggap benar. Karena itu dalam konteks ini asumsi menjadi perekat atau adonan. Dikatakan demikian karena asumsi bisa menjadi perekat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Asumsi bisa membangun keyakinan bahwa satu variabel-dengan varabel lainnya saling berhubungan. Asumsi dapat digunakan menjadi suatu konstruksi bangunan dalam penelitian yang besar. Asumsi bisa berupa sebab akibat, bisa juga tentang suatu permasalahan yang ada. 

5. Hipotesis
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani, hypo yang berarti di bawah, dan tithenia yang berarti sesuatu yang ditempatkan di bawah bukti sehigga setelah ada bukti keduanya akan saling menguatkan. Atau dalam arti lain, hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang dimunculkan dalam penelitian. Jawaban sementara tersebut diperoleh melalui kerangka berpikir yang didasarkan pada kajian secara analisis dan konklusif. Jika dalam kajian teoritik diambil teori-teori yang sudah mapan, maka peneliti memiliki landasan berpijak yang kuat untuk menyusun kerangka berpikir bagi perumusan hipotesis. 
Hasil penelitian ilmiah bisa saja menguatkan hipotesis atau bahkan menggugurkan. Artinya seorang peneliti dalam melakukan penelitian akan berusaha mencari data sebanyak mungkin dari variabel-variabel yang ada untuk membuktikan kebenaran hipotesisnya. Sebagai sebuah prediksi, hipotesis membutuhkan pengujian (validasi) baik dengan verifikasi atau kalau perlu dengan falsifikasi, kemudian dikonfrontasikan dengan fakta empiris. Hipotesis dan fakta empiris akan melahirkan teori bila dia berkesesuaian dan logis. 
Analisis
Dasar-dasar epistemology dalam ilmu pengetahuan social berlaku umum, dipakai dalam segala penelitian sosial kapan saja dan di mana saja. Langkah-langkah yang diambil oleh ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiah secara umum berpegang pada landasan epistemology tersebut. Apapun aliran pemikiran yang dipegang oleh seorang ilmuwan, dasar-dasar epistemology ini bisa digunakan.
Bicara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, sebuah pertanyaan mendasar kita dalam hal ini adalah; Jika memang ilmu pengetahuan juga menjadi domain dari agama Islam, pada titik mana Islam bisa masuk dalam komponen-komponen epistemology ilmu pengetahuan ini? 
Dalam bukunya bapak Bustanuddin Agus mengutip pendapat AM Saefuddin yang mengatakan, “…..oleh sebab itu kita harus mengambil asumsi dari Al-Qur’an.” Disebutkan di sana karena memang Al-Qur’an banyak berisikan informasi ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan “asumsi” dasar untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, seperti: Sesungguhnya sholat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar (Al-Angkabut 45), Kemudian ayat dan hadits tentang zakat yang bisa mencegah kemiskinan, dan puasa bisa memelihara kesehatan. Semua informasi yang ada dalam al-Qur’an itu bisa menjadi “asumsi” untuk dilakukan penelitian selanjutnya. Membuktikan kebenarannya dari data empirik yang ada, hingga menjadi kebenaran yang diterima oleh orang banyak dan berlaku umum.
Yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya, apakah Islamisasi ilmu pengetahuan dalam epistemology ilmu pengetahuan ilmiah hanya sampai pada dataran asumsi? Apakah al-qur’an yang merupakan kalamullah yang tak diragukan lagi kebenarannya hanya bisa kita jadikan asumsi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan paradigm? Bukankah Islam juga bisa menjadi paradigm ilmu pengetahuan? 
Tentu tidak, bahkan islamisasi ilmu ini sudah dimulai sejak meletakkan dasar ontologis dari ilmu pengetahuan tersebut, sejak meletakkan pertanyaan dasar untuk apa ilmu dikaji, atau untuk apa sebuah teknologi dikembangkan. Dalam perspektif Islam, secara ontologism menggali ilmu harus diletakkan sebagai ibadah, karena ibadah dia harus bertujuan untuk kebaikan dan diusahakan dengan cara yang baik pula. Karena kehadiran Islam adalah Rahmatan lil alamin, Ilmu dan teknologi yang dikembangkannya juga mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang digali dari ayat-ayat Allah (Kauliyah dan Kauniyah) dan juga dari Sunnah Rasulullah.
Dalam paradigm juga demikian. Kalau kita berpijak pada pengertian paradigm seperti yang disampaikan di atas, yang mana paradigm adalah gambaran/pandangan dasar mengenai objek pembahasan suatu sains, bisa kita katakan bahwa Islam juga bisa menjadi paradigm sebuah ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Allah mengatakan bahwa “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKu”. Ayat ini bukanlah sebuah hipotesis yang kita duga kebenarannya, atau asumsi yang harus bisa kita kembangkan atau kita buktikan dengan fakta-fakta empirik. Tapi ayat ini meletakkan pandangan dasar bagi seorang mukmin tentang manusia dan tujuan hidupnya. Artinya ayat ini menjadi paradigm bagi seorang ilmuwan muslim untuk melihat dirinya, manusia dan kehidupannya. 
Contoh lain tentang paradigm yang ditawarkan Al-qur’an kepada manusia adalah “Paradigma tentang Kemuliaan”. Toshihiko Izutsu dalam bukunya Relasi Tuhan dan Manusia memaparkan tentang pandangan kemuliaan Bangsa Arab jahiliah dilihat dari teks-teks syair yang muncul pada zaman pra Islam. Ternyata dari beberapa teks yang dianalisa, yang disebut dengan karim (mulia) dalam pemahaman orang Arab ketika itu adalah mereka yang kaya raya, yang suka mengadakan pesta dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah Islam dating, paradigm ini didekonstruksi dengan turunnya ayat; ....sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu (Al-Hujarat: 1 3). Artinya paradigm tentang kemuliaan yang dipahami bangsa Arab jahiliah digeser oleh paradigm “Taqwa” yang ditawarkan oleh Al-Qur’an. 
Manusia sebagai “pengabdi” dan kemuliaan berdasarkan “Taqwa” merupakan beberapa contoh paradigm/pandangan dasar yang bisa dijadikan landasan bagi seorang ilmuwan(muslim) dalam meneliti kehidupan manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan, bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, serta bagaimana cara menafsirkan variable-variabel yang diteliti akan ditentukan dari paradigm ini. Itu bisa berbeda dengan ilmuwan lain yang meneliti dan melihat manusia dari paradigm yang berbeda. Paradigma yang berbeda bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda, menurunkan teori yang berbeda dan menciptakan komunitas ilmiah yang berbeda pula. Barangkali dari sinilah Islamisasi ilmu itu dimulai. Wallahualam Bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Crime of Currency