PILPRES, SATU ATAU DUA PUTARAN?
Oleh: Taufiqurrahman*
Membincangkan Pemilihan Presiden yang akan berlangsung 8 Juli 2009 nanti,  tidak lagi sekedar menjadi wacana hukum dan undang-undang, tapi sudah menjadi wacana keberpihakan. Pilpres satu atau dua putaran sudah menjadi isu kampanye bagi pasangan calon dalam perang urat syaraf (Psy War). Secara undang-undang kedua kemungkinan ini bisa saja terjadi –dengan tiga pasang calon yang ada- dan memang diatur secara detail oleh Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang calon terpilih, yakni akan berlangsung satu putaran bila memperoleh suara 50% lebih satu yang tersebar di ½ jumlah propinsi yang ada sebanyak 20%. Bila tidak, secara otomatis akan dilaksanakan putaran kedua.
Menariknya, tebak-tebakan satu atau dua putaran tidak berhenti pada tim kampanye pasangan calon, tapi sudah melibatkan banyak komunitas,  masyarakat, LSM, Lembaga Survei atau Media Massa. Kalau seseorang punya analisis subjektif bahwa pilpres akan berlangsung satu putaran, orang lain sudah langsung menebak ke mana arah keberpihakannya, pun kalau ada orang yang punya analisis bahwa pilpres akan terjadi dua putaran, secara tersirat sudah jelas siapa yang didukungnya.
Bagi pasangan calon atau tim sukses, arti pilpres satu atau dua putaran ini mungkin sangat penting, karena akan berpengaruh pada strategi mereka dan menghitung kans dalam memenangkan pertarungan. Tapi yang menarik ingin saya bicarakan disini, arti pilpres satu putaran atau dua putaran bagi orang Minang –bukan orang partai pendukung atau tim sukses pasangan calon-  mungkin agak berbeda, bahkan melihat pilpres itu sendiri.
Bagi orang Minang, membicarakan pilpres satu atau dua putaran, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah? Sama dengan membicarakan MU vs Barcelona di liga Champion, atau Brazil vs Italia di Piala Dunia. Seru, menarik, tapi tidak cukup mengusik. Tak seperti tim Semen Padang atau PSP bila sedang berlaga, yang bagi orang Minang adalah kebanggaan sekaligus kehormatan. Dalam kata lain, pilpres dengan tiga pasang calon yang ada sekarang ini tidak mampu menyentuh titik emosional orang Minang.
Tiga pasang calon yang akan berlaga seperti tim luar bagi orang Minang. Bukan PSP atau Semen Padang. Orang Minang bisa saja bersorak, menjagokan satu pasang dan menolak pasangan lainnya. Orang Minang bisa saja membangun alasan-alasan subjektif dan membuat analisis-analisis sederhana, kedekatan kultural, Jawa atau bukan Jawa, urang sumando atau Datuk kita, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bisa menguatkan alasan untuk mendukung atau tidak mendukung. Namun satu kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh orang Minang, bahwa yang sekarang bertarung memperebutkan RI 1 itu bukanlah urang awak, bukan tokoh Minang yang telah puluhan tahun kita harapkan kemunculannya. Yang maju ke final sekarang bukan PSP atau Semen Padang, tapi tim luar, mungkin Arema Malang, PSIM, atau PSIS, bukan tim kita.
Karena itu bagi orang Minang pilpres is not my fight. Siapapun yang menang adalah kemenangan kita –atau mungkin juga kekalahan kita- Tak ada kebanggaan khusus yang bisa ditunjukkan oleh orang Minang terhadap pasangan yang ada. Siapapun yang jadi tak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mental orang Minang, juga tak memberikan kebanggaan primordial apapun. Karena itu sejauh pengamatan yang ada, dukungan yang diberikan pada calon yang ada tidak lebih dari bentuk tugas dan tanggungjawab struktural dan kepentingan politik praktis segelintir orang. 
Sikap Para Tokoh
Yang menarik untuk kita cermati adalah sikap para tokoh dan calon-calon pemimpin kita dalam proses politik menjelang pilpres ini. Tidak dinafikan bahwa proses politik seperti Pemilihan Presiden ini adalah momentum besar. Orang yang mampu mencari tempat berdiri yang tepat akan terangkat oleh momentum. Juga sebaliknya, orang yang salah mengambil posisi bisa ditinggalkan oleh momentum, atau bahkan ditenggelamkan sedalam-dalamnya. Satu hal yang pasti diajarkan oleh masa lalu pada kita, bahwa momentum bukan saja milik para petarung. Tapi juga milik penonton atau orang yang tidak bersangkut paut dengan pertarungan itu. Persoalannya adalah bagaimana cara mencuri perhatian dari pinggir gelanggang.
Banyak sejarah mencatat nama-nama besar muncul bukan dari gelanggang pertarungan, tapi pinggir arena yang bisa juga menentukan. Sebut saja Muammar Kadafi, Fidel Castro dan Mahatir Muhammad, mereka orang-orang besar yang muncul dari perang orang lain tanpa terlibat menjadi bagian dari peperangan itu. Hanya persoalan bagaimana mengambil tempat berdiri.
Dalam konflik yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan besar, biasanya kedua kutub saling menarik dukungan dari partikel-partikel kecil yang ada di sekitarnya. Apa yang dikumandangkan George W. Bush dalam memerangi terorisme memaksa dunia menentukan pilihan, If not us, is against us. Artinya siapapun yang tidak ingin melawan kami harus menjadi “gerbong” di belakang kami. Menghadapi keadaan seperti ini, ada pemimpin-pemimpin yang memiliki kecerdasan dalam menentukan tempat berdiri, atau menentukan keberpihakan tanpa kehilangan karakter kepemimpinan mereka dengan menjadi gerbong atau cecunguk dari kelompok yang memiliki kekuatan memaksa.
Sebuah pelajaran dari Soeharto –tidak bermaksud mendukung rejimnya-, terlepas dari kesalahannya selama berkuasa, ide yang dimunculkan untuk membuat gerakan non-blok waktu itu adalah sebuah kecerdasan politik di tengah arus perang dingin yang bergejolak, blok Timur dan blok Barat. Sayang gerakan yang digagas ini tidak mampu membesarkan dirinya hingga memiliki kekuatan riil seperti dua blok yang bersiteru, tapi apa yang digagas oleh Soeharto sudah cukup untuk menunjukkan diri bahwa kita tidak perlu menjadi “pendukung penderita” dari pertarungan orang lain, yang dengan terpaksa harus menjadi bagian yang bersebrangan.
Budaya Tanding
Pertarungan para kandidat RI 1 yang akan berlangsung sebentar lagi cukup memberi kita wawasan dan pelajaran, terutama tokoh Minang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam membangun kepemimpinan. Kararakter kepemimpinan tokoh-tokoh kita sedang diuji, apakah mereka bermental “gerbong” atau bermental “lokomotif”. Sayangnya yang kita lihat sekarang dari tokoh kita tidak lebih dari usaha untuk menyelamatkan diri, berposisi untuk mencari posisi. Tidak tampak di situ usaha untuk membangun karakter kepemimpinan yang kuat di masa depan.
Kalau kita amati sikap politik tokoh-tokoh kita, meminjam istilah dari Alm. Khaidir Anwar, Aspek-Aspek Sosio Kultural Dalam Bahasa (1994), yang kita lihat terjadi sekarang adalah sikap bagaimana mencari untung, bagaimana galeh akan berlaba. Lebih menampakkan sikap pragmatis jangka pendek daripada membangun karakter kepemimpinan jangka panjang. Mungkin hal ini selaras dengan falsafah Minang yang di sebutkannya, Mancaliek contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang. Tak usah rumit-rumit menentukan sikap.
Menjelang perhelatan besar ini, kita tidak melihat move yang bermartabat dari tokoh-tokoh kita. Tidak seorangpun bergerak dan mencoba memainkan peran sebagai lokomotif, semuanya sibuk dengan gerakan dukung-mendukung dan bersiap diri untuk menjadi gerbong. Tak ada “budaya tanding” yang dihidupkan dalam ranah kepemimpinan seperti yang dilakukan Soeharto dengan Non-Bloknya. Yang ada hanyalah “budaya banding”. Membandingkan satu kandidat dengan kandidat yang lain, dikaji untung ruginya, akhirnya membuat pilihan dukung-mendukung.
Bagi generasi Minang sekarang, apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh mereka pada momentum ini tak cukup membanggakan, mereka membutuhkan contoh yang kuat, seperti apa karakter kepemimpinan Minang itu sebenarnya. Mereka ingin melihat dan mendengarkan suara lokomotif-lokomotif bergaung di bumi Minang, bukan denyit-denyit gerbong yang bergerak tak percaya diri.
Jadi, Pemilihan Presiden satu atau dua putaran tidaklah penting bagi Orang Minang. Yang mereka inginkan adalah melihat tim kesayangan mereka, Semen Padang, berlaga lagi di Liga Super, bahkan kalau perlu menjuarainya. Selagi hal itu masih diimpikan sebagai kenyataan, selama itu pula harapan akan tetap ada. Satu hal yang selama ini saya khawatirkan dan enggan untuk saya sampaikan, jangan-jangan, dalam benak orang Minang, sudah terpatri pikiran bahwa untuk menjadi presiden di republik ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Wallahualam.
*Penulis adalah Direktur Pusat Studi Lingkar Kawasan (LINKA), Anggota KPU Kabupaten Sijunjung. taufiq_tan@yahoo.com









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency