KHOTBAH DALAM LINGKARAN
Cerpen Taufiq Tan

Malam ini aku dibaptis menjadi dewa. Kata-kataku menjelma sabda yang
turun dari langit seperti butiran mutiara di alam mimpi. Sabda-sabda itu akan
mengalunkan irama kesedihan yang membuat orang menangis meraung-raung
dalam alur kata-kata yang kupermainkan seperti tali layang-layang. Mengulur dan
menggesek, terus, teruuus, hingga di ujung langit yang tinggi aku akan menyentak
dengan cara yang tak biasa.
Kami berdiri di malam sunyi. Disaksikan bintang dan pohon-pohon bisu.
Tanpa suara gemerisik sedikitpun. Bahkan anginpun enggan mengganggu, apalagi
binatang-binatang malam yang biasanya bersahut-sahutan dalam gelap. Hening.
Malam itu hening. Karena malam sedang berkhidmat menunggu sabda-sabdaku.
Sabda-sabda suci. Dalam acara renungan suci. Ya, renungan suci.
Begitulah mereka, selalu menyebut suci setiap prosesi yang mengumbar air mata.
Meski air mata itu palsu, hanya sandiwara belaka, berurai saat mendengar bualan
dari khotbah-khotbah yang palsu pula. Khotbah yang lebih tepat untuk disebut
permainan kata-kata dusta. Tapi meski demikian, tetap saja mereka menyebutnya
suci.
Di tengah malam buta, para senior dan junior sudah berdiri merapatkan
barisan, membentuk lingkaran dengan berpegangan tangan. Menciptakan suasana
khidmat sebelum mendengar khotbah dariku. Akh, sebenarnya aku sudah menolak
untuk menanggung amanah ini. Bukan aku tak mampu. Tapi aku tak siap
psikologis. Namun Elan si ketua Ospek tetap bersikeras. Setengah memaksa ia
1
mengatakan, “Hanya kau yang terbaik untuk urusan ini, kawan. Tak ada yang
sehebat kau. Tahun kemaren engkau lihat sendiri bagaimana Kincai
melakukannya. Rusak. Berantakan. Jangankan membuat orang menagis, malah
Kincai membuat junior-junior itu tertawa.” Kata Alan kesal.
Ya, aku ingat Ospek tahun kemaren ketika Kincai mengisi wejangan
renungan suci. Acara puncak yang diharapkan dapat menyentuh kesadaran secara
dramatis ternyata meleset jauh dari target. Kincai tak berbakat. Kata-katanya tak
mampu menghipnotis orang-orang yang berdiri dalam lingkaran. Datar, garing,
dan tak berdaya serang.
Itulah salah satu alasan aku berada di sini. Untuk membuktikan diri
sebagai pelantun sabda tiada tanding. Aku sendiri tak tahu entah dari mana aku
memperoleh kemampuan itu. Suaraku yang serak-serak berat memberi bobot pada
semua kata yang keluar dari mulutku. Nada bicaraku yang bergelombang
memainkan emosi, melambungkan dan menghentakkan jiwa-jiwa yang rapuh.
Pilihan kata-kataku bernas, mengalir seperti larva mendidih yang menguarkan
hawa panas dari puncak gunung perasaan. Itulah aku, sang pelantun sabda.
Malam itu, saatnya tiba. Ketika alam tunduk dan semesta terdiam. Setelah
firman-firman-Mu dibacakan dengan sahdu. Sampailah pada giliranku tampil ke
tengah lingkaran untuk menyuarakan sabda-sabda itu,
“Saudara-saudaraku!” begitu aku membuka keheningan dengan suara
serak-serak berat.
“…di malam yang hening ini malaikat Allah sedang turun menyaksikan
kita yang berada dalam lingkaran penuh dosa ini. Langit dan bintang-bintang
2
menjadi saksi bisu akan perenungan ini, dan malaikat itu akan membawa cerita-
cerita diri kita ke hadapan Allah untuk menunjukkan siapa-siapa di antara kita
yang malam hari ini bersungguh-sungguh ingin merubah diri, dan siapa-siapa di
yang hanya bersandiwara dengan tangis dan air mata, untuk keesokan harinya
mengulangi lagi kemaksiatan-kemaksiatan seperti sedia kala. Allah maha tahu
kesungguhan jiwa dan hati kita. Allah maha tahu, kepura-puraan yang ada di hati
kita yang sudah membatu. Hati yang sudah tertutup untuk menerima firman-
firman-Nya, yang sudah tertutup untuk menerima kebenaran-Nya, yang tidak
bergeming mendengar seruan-seruan-Nya…”
“Saudara-saudaraku! Di malam yang hening ini, saat kesunyian mengisi
relung hati kita, cobalah untuk bertanya pada hati yang paling dalam. Masihkah
kita bangga dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan selama ini?
Masihkah kita bangga dengan kejahatan-kejahatan yang kita lakukan pada
saudara-saudara kita? Teman kita? Adik kita? Orang tua kita? Ha! Masihkah kita
bangga ketika setiap waktu kita membohongi mereka…?
Sampai di sini belum apa-apa. Ini hanya permulaan dari sandiwara
malamku. Aku hanya mendengar tarikan nafas panjang dan batuk-batuk berdehem
dari mereka itu. Mereka yang masih berpegangan dalam lingkaran malam. Senior
dan junior itu. Setelah diam beberapa jenak, kemudian aku teruskan. Kali ini
sabdaku mulai menanjak,
“…Saudara-saudaraku! Masihkah kita ingat harapan-harapan yang
menyertai kepergian kita ke sini? Masihkah saudara ingat lambaian tangan dari
orang-orang yang saudara cintai ketika saudara hendak melangkahkan kaki
3
meninggalkan rumah? Ayah, Ibu, Adik-adik? Masihkah saudara ingat pesan
terakhir dari seorang perempuan yang melepas kepergian saudara? Hati-hati
anakku! masihkah saudara ingat itu?”
“Sekarang di malam yang hening ini. Di malam yang sahdu ini. Cobalah
sejenak saudara layangkan pikiran ke tempat yang jauh, di mana pada malam ini
seorang perempuan tua sedang duduk di atas sajadah, berurai air mata,
memanjatkan doa-doa tulusnya buat kita anak-anaknya di sini, buat keberhasilan
kita putra putri yang ia cintai….”
Sayup-sayup aku sudah mulai mendengar isak dan sedu sedan yang entah
dari mana datangnya. Kembali aku diam sejenak. Kemudian dengan suara yang
tinggi, sampailah aku pada puncak sabda,
“Tapi apa yang kita lakukan di sini?! Kita hanya berhura-hura,
menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang, berjalan-jalan kesana
kemari dengan pongah dan sombong. Sungguh kita anak-anak yang tidak tahu di
untung! Kita ini anak-anak durhaka! Kita sia-siakan harapan mereka di sini! Kita
tipu mentah-mentah orang tua kita dengan lagu-lagu kebohongan! Anak macam
apa kita ini….!?”
“Kita benar-benar sudah jahat. Kita jahat pada mereka. Mereka orang tua
kita itu, sudah bekerja membanting tulang siang dan malam, bekerja tanpa kenal
lelah, bercucur keringat dan air mata, menjemur diri dalam terik panas dan
bersiram hujan. Semua itu mereka lakukan untuk kita anak-anaknya.”
“Tapi apa balasan kita? Ha! Apa balasan kita?….”
4

Saat itulah isak-isak tadi meledak menjadi tangis dan jeritan histeris. Ada
juga yang langsung ambruk tak sadarkan diri. Pingsan, dan mengigau tentang
kesalahan-kesalahan mereka selama ini pada ayah dan bundanya. Beberapa orang
aku lihat dibopong oleh panitia kesehatan. Tapi aku belum selesai. Aku tidak
peduli. Suaraku terus berpacu dengan jerit tangis dan raungan-raungan yang
gaduh. Aku teruskan sabdaku yang sudah di ujung klimaks,
“Apa balasan saudara?!”
“Saudara minum air mata mereka dengan canda tawa. Saudara kuliti
punggung mereka yang legam kemudian saudara jadikan kulit mereka itu pakaian-
pakaian mahal untuk saudara pakai menyombongkan diri. Sungguh kita anak-anak
yang zalim! Anak-anak yang tidak tahu diri! Masih beranikah kita memanggil
mereka ayah dan ibu? Ha! Masih beranikah kita..?”
Setelah itu diam. Aku hentikan sabdaku dengan pertanyaan yang
menyentak, dan kemudian aku biarkan sabda-sabdaku itu mengendap di relung
jiwa mereka yang kosong. Sabda yang dalam…menyentak …diam, dan pecah
bersama raungan tangis.
Sejenak mataku mengamati manusia-manusia yang ada di lingkaran itu.
Beberapa mereka sudah roboh ke tanah, pegangan tangan yang membentuk
lingkaran sudah putus-putus tak beraturan. Semuanya histeris, semuanya jatuh,
semuanya pingsan, tak sadarkan diri. Demikian juga dengan seorang junior yang
cantik itu, ia roboh sambil mengigau memanggil-manggil ibunya, “Mama!
mamaa! mamaaaa…!” Entah kenapa pada saat-saat begini suaranya terdengar
5
manja di telingaku. Kemudian aku kembali berkonsentrasi untuk menuntaskan
sabdaku yang terakhir.
“Saudara-saudaraku! kita masih punya waktu. Nanti setelah matahari terbit
tulislah surat untuk ayah dan ibu kalian di rumah, mintalah maaf pada mereka dan
berjanjilah kalian tidak akan menyia-nyiakan harapan mereka di sini.”
“Setelah ini marilah kita saling berjabat tangan, saling memaafkan, karena
mulai sekarang ini, kita yang ada di lingkaran ini adalah saudara. Karena itu
janganlah sungkan-sungkan untuk bertanya, minta tolong dan saling menasehati
satu sama lain.
Terimakasih.
Sabdaku selesai. Beberapa junior itu merangkulku erat. “Terimakasih kak!
Terimakasih,” ucapnya menahan sedu sedan. Seorang junior lagi meraung-raung
di bahuku. “Beri aku nasehat kak, selamatkan aku!” dia memelukku erat. Aku
menepuk-nepuk punggungnya dengan wajah datar. Wajah seorang pembohong
yang membajak muka malaikat. “Oh kau anak manis. Bagaimana aku akan
menyelamatkanmu sementara aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri.”
Batinku.
Kemudian aku meninggalkan lingkaran, menjauh menapaki sunyi seperti
sesosok dewa yang terbang ke langit meninggalkan korban-korban
bergelimpangan tak sadarkan diri. Aku menyusuri sepi dinding-dinding jiwaku.
Batinku. Tanpa sadar bibirku tersungging merayakan kemunafikan besar ini. Aku
seakan berjalan di atas angin, melayang bersama sabda-sabdaku nan sakti,
6
mengitari bulan dan bintang-bintang di langit nun jauh, dan, entah kenapa,
semuanya berujung perih.
Aku semakin menggigil. Dingin malam menusuk sampai ke sumsum
tulang. Aku sudah tak tahan. Aku mencari tempat yang jauh, tempat yang
tersembunyi di mana aku bisa menikmati sisa malamku seorang diri. Di sebuah
pojok kampus yang sangat aman aku mengeluarkan sesuatu dari balik jaketku,
kemudian duduk memandang langit sambil menikmati syaraf-syaraf otakku
mengendor dengan mata terpejam. “Ouuuuffff!!”
“Aku ingin kau mengulangi khotbah hebatmu itu di kantorku!” Suara
seseorang dari belakang membuatku tersentak. Dengan gerakan yang cepat dia
mengalungkan besi dingin ke pergelangan tanganku. Lalu menggelandangku
tanpa ampun dengan satu gram sabu-sabu di jaket almamater.
Depok City, 28 Jan 08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency