Crime of Currency

KEJAHATAN MATA UANG 
Taufiqurrahman

Penjajah yang paling mengerikan itu bernama “mata uang”. Tepatnya uang kertas yang nilai instrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya, atau bahkan sebenarnya tidak punya nilai sama sekali. Nilai sebuah mata uang hanya bergantung pada hukum dan kekuasaan dari negara yang mengeluarkannya. Jika kekuasaan sebuah negara yang memproduksi uang kertas itu melemah atau bahkan ambruk, maka uang-uang itu akan kembali pada sifat aslinya, tidak lebih dari setumpuk kertas seperti kertas wall paper atau kertas pembungkus kado yang dijual di pasar-pasar. Tak ada harganya.
Bagaimana cara kerja mata uang ini merampas kekayaan anda? Sebuah contoh sederhana bisa kita lihat. Misalnya anda punya uang di bank sebesar Rp. 50.000.000,- uang ini adalah hasil kerja anda selama bertahun-tahun yang anda kumpulkan sedikit demi sedikit. Sepuluh tahun yang lalu dengan uang itu anda bisa membeli rumah type 42 dengan luas tanah 100m2. Artinya sepuluh tahun yang lalu anda sudah punya rumah dengan uang sejumlah itu. Tapi sekarang dengan uang sejumlah itu anda hanya bisa membeli tanahnya. Uang kertas yang anda milik tidak mampu mempertahankan nilai kekayaan anda. Uang anda tidak bisa lagi menghargai rumah type 42. Nilainya menurun. Mungkin lima tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi anda hanya bisa membeli seekor sapi dengan uang sejumlah itu.
Bayangkan, bagaimana perlahan tapi pasti kekayaan anda, hasil kerja keras anda selama bertahun-tahun menguap begitu saja. Jumlahnya sama, tapi nilainya berbeda. Hantu inflasi yang setia membayang-bayangi pergerakan mata uang telah merampas kekayaan anda, cucuran keringat anda. Dia seperti invisible tax. Cukai tak terlihat yang menggerogoti uang anda sedikit demi sedikit. Yang seharusnya anda punya rumah type 42, tapi akhirnya anda hanya mampu memiliki seekor sapi. 
Di Indonesia, kisah tragis kegagalan uang kertas ini pernah terjadi dua kali. Pertama pada masa Presiden Soekarno, yakni dalam periode lima tahun antara 1960-1965, inflasi pernah mencapai angka 650% dan index biaya mencapai angka 438. Rupiah terjun bebas jadi 1/75 dari angka Rp. 160/US$ menjadi Rp. 120.000/US$. Karena nilai rupiah yang sudah tidak tertolong lagi, pemerintah waktu itu terpaksa mengeluarkan kebijakan yang disebut sanering rupiah, yakni memotong tiga angka nol terakhir di rupiah lama menjadi rupiah baru. Misalnya Rp. 1.000,- rupiah lama menjadi Rp. 1,- di rupiah baru. Kebijakan ini dituangkan dalam Penpres No. 27/1965. 
Isyu sanering rupiah ini sempat mencuat lagi pada krisis moneter 32 tahun kemudian, yakni penghujung kekuasaan Presiden Soeharto di tahun 1997-1998, tapi tidak terjadi. Inflasi gila-gilaan, harga barang-barang melambung tinggi. Nilai rupiah yang sebelumnya Rp. 2.400/ US$ terpuruk bahkan menembus angka Rp. 17.000/US$. Sekali lagi, inflasi yang terjadi pada uang kertas telah merampas kekayaan masyarakat yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. Tiba-tiba saja uang yang mereka miliki merosot nilainya dan tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang direncanakan sebelumnya. 
Inilah ketika sesuatu yang sebenarnya tidak berharga di beri nilai melebihi kadarnya. Pada akhirnya dia akan kembali pada kadarnya semula. …..adapun buih akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna, tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi…(Arra’d : 17). Demikian juga halnya dengan uang kertas ini, apapun stempelnya, Rupiah, Euro, Pound atau Dollar sekalipun, semuanya akan hancur dan kehilangan nilainya seperti sirnanya buih yang tak memberi manfaat sedikitpun.
Persoalannya sekarang, potensi kehancuran itu lebih dekat pada negara-negara ketiga. Atau negara-negara miskin yang tidak memiliki bargaining power yang kuat, termasuk negara Indonesia yang berdaulat ini. Kehancuran yang disebabkan krisis moneter beberapa tahun yang lalu menyebabkan bangsa ini menyerahkan nasibnya ke tangan serigala dunia. Tepatnya sejak Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan badan keuangan dunia IMF –yang disaksikan oleh Michael Camdessus dengan sikap pongahnya-, sejak itulah kedaulatan ekonomi bangsa ini tergadai ke pihak asing. Mereka dengan leluasa membeli aset-aset vital dengan harga obral, perusahaan-perusahaan raksasa langsung berebut untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam. Bahkan seorang pengusaha kelas coro di Amerika sana bisa memiliki perusahaan di sini dengan uang sisa beli rokok atau uang sisa makan siangnya. Kenapa bisa demikian? Karena mereka memiliki kertas –Dollar- yang harganya melambung beratus kali lipat dari harga kertas yang kita punya.
Inilah akibat nyata penjajahan mata uang yang telah dilakukan di negeri ini. Penjajahan yang lebih mengerikan dari apa yang dilakukan oleh serikat dagang VOC terhadap Indonesia 400 tahun yang lalu. Dengan penghancuran mata uang dan melemahkan pemerintahan, korporasi asing yang tergabung dalam IMF itu dengan sekehendak hatinya bisa mendiktekan kepentingan-kepentingan politiknya terhadap sebuah negara yang berdaulat. Dan kita telah merasakan akibatnya.

Sejarah Uang Kertas
Uang kertas yang sekarang dipakai oleh lebih 185 negara di dunia mulai diperkenalkan sekitar 200 tahun yang lalu. Kejadian di Perancis setelah terbunuhnya Louis XIV pada tahun 1715, Perancis bangkrut, lalu seorang penjudi dari Skotlandia yang juga seorang ekonom amatir bernama John Law menawarkan pada pihak yang berkuasa waktu itu untuk menggunakan uang kertas sebagai alat tukar. John Law berhasil meyakinkan pihak yang berkuasa bahwa dengan inilah Perancis bisa bangkit dalam keterpurukan. 
Usulannya diterima dan John Law diizinkan untuk menerapkan teorinya. Maka mulailah dia membuat bank sentral yang disebut Banque Royale. Dari sinilah John Law mengeluarkan bank note yang berlaku sebagai uang sebesar 2.7 milyar Livres selama 2 tahun. Pada saat yang bersamaan John Law juga membuat perusahaan Missisipi Company yang nilai kapitalisasi pasarnya seharusnya mengikuti pergerakan uang yang dicetak oleh Banque Royale tersebut. Namun kenyataannya nilai kapitalisasi pasar perusahan Missisipi ini menggelembung mencapai 2 milyar Livres dalam dua tahun tersebut. Tidak bisa tidak, ketika terjadi penggelembungan pasar (market bubble) pasti akan meledak, dan benar, itulah yang terjadi berikutnya. Gelembung meledak, pasar collapse dan John Law pergi meninggalkan Perancis yang bergelimpangan dengan korban uang kertasnya.
Contoh lain kegagalan penerapan uang kertas terjadi di Amerika pada tahun 1775 ketika kongres Amerika kebingungan mencari dana untuk membiayai perang. Maka dicetaklah waktu itu uang kertas yang disebut Continental. Selama 5 tahun sampai dihentikannya pencetakannya tahun 1780, kongres sudah mencetak uang sebesar US$ 241 juta. Uang ini dipakai untuk membiayai tentra dan biaya perang lainnya. Namun karena uang kertas ini tak ada nilainya, uang itu akhirnya dipergunakan untuk kertas penutup tembok (wall paper) di barber shop, untuk pembalut luka bagi tentara, dan juga dibuat baju untuk parade di jalan-jalan.
Kisah kegagalan uang kertas yang menggelikan terjadi di Jerman setelah berakhir Perang Dunia I. Karena sangat tingginya inflasi dan tidak berharganya uang kertas saat itu, gaji pegawai dibayar dua kali dalam sehari. Pagi dan sore. Karena daya beli uang kertas pagi hari berbeda dengan daya beli uang kertas sore harinya. Sampai sekarang kakek nenek di Jerman masih suka bercerita pada cucunya bahwa di zaman dulu untuk membeli roti orang perlu membawa kereta dorong, bukan untuk membawa rotinya, tapi untuk membawa uangnya.
Penggunaan uang kertas yang berkembang sekarang ini mirip dengan konsep yang dipakai di Inggris pada tahun 1694 yang mana Bank of England mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai bank notes. Awalnya bank notes ini ditulis dengan tulisan tangan dan mencantumkan nama pemiliknya. Namun pada perkembangannya bank notes dicetak bebas dalam jumlah banyak tanpa menuliskan nama pemiliknya. Awalnya bank notes tersebut masih didukung oleh stok emas atau yang dikenal dengan gold standard. Tapi lama-kelamaan karena jarang sekali bank notes itu yang ditukarkan kembali dengan emas oleh pemiliknya, mulailah pihak bank tidak mendukung bank notes-nya dengan cadangan emas penuh.
Hal yang serupa terjadi di belahan Eropa lainnya, mereka juga melakukan apa yang dalam istilah modern disebut fractional reserve banking yang berkembang dari tukang emas (goldsmiths). Para tukang emas di Eropa mengeluarkan tanda terima (receipts) atas penitipan uang emas atau emas. Tanda terima itu dapat diperdagangkan, dan karena juga jarang ditukarkan kembali dengan uang emas, maka tukang emas tersebut mulai mengeluarkan tanda terima melebihi jumlah emas yang dititipkan. Dari tukang emas inilah lahir bank pertama di Eropa yang memiliki cadangan emas cuma sebagian dari nilai yang tertulis dalam surat tanda terima yang mereka keluarkan. Porsentase cadangan ini disebut reserve ratio. Ketika bank-bank tersebut beroperasi dengan reserve rasio yang kurang dari 100% maka bank-bank tersebut akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, cara beroperasi semacam inilah yang kemudian jadi sangat populer. Hingga sekarang uang kertas yang kita pakai berkembang dari praktek fractional reserve banking ini.
Setelah itu ada beberapa periode antara abad 18, 19 dan 20 negara-negara di Eropa dan Amerika mengalami kebingungan dalam menentukan sistem mata uang mereka. Karena punya banyak catatan kegagalannya, mereka bolak balik menggunakan antara uang fiat murni –uang kertas-, fractional reserve dan gold standard. Selama Perang Dunia I negara-negara yang terlibat perang kehabisan cadangan emasnya untuk membeli persenjataan dan membiayai peperangan, kemudian mencetak uang fiat atau menggunakan fractional reserve. Kemudian kembali lagi ke gold standard. Jerman misalnya, kembali menggunakan gold standard pada tahun 1924, kemudian diikuti Inggris tahun 1925 dan Perancis tahun 1926. Namun gold standar itu tidak bertahan lama, karena godaan ekonomi membuat dunia perbankan tergoda lagi untuk mengeluarkan uang melebihi cadangan emas yang mereka miliki. Hal ini ternyata memicu krisis berikutnya yang lebih hebat, dan mencapai puncaknya di awal tahun 1930-an yang mereka sebut dengan great depression. Begitu buruknya keadaan ekonomi waktu itu sehingga pada tahun 1934 Amerika Serikat yang saat itu seharusnya menjadi kekuatan ekonomi terkuat di dunia terpaksa melakukan devaluasi mata uangnya sebesar 75% terhadap emas dari sebelumnya US$ 20 per troy ounce emas menjadi US$ 35 per troy ounce emas.
Karena kekacauan mata uang yang masih tidak menentu, pada tahun 1944 Amerika yang merasa telah memenangkan Perang Dunia II menggagas pertemuan Bretton Woods yang isinya pasti menguntungkan untuk si penggagasnya. Inti kesepakatan Bretton Woods adalah janji Amerika untuk mendukung uang Dollarnya dengan cadangan emas penuh dengan nilai setara. Kesetaraan ini mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1 troy ounce emas. Negara-negara lain yang mengikuti kesepakatan tersebut awalnya diijinkan untuk menyetarakan uangnya terhadap emas atau terhadap Dollar. Dengan kesepakatan ini, seharusnya siapapun yang memegang Dollar dapat dengan mudah menukarkan uangnya dengan emas yang setara.
Tapi ternyata tidak demikian. Seiring perjalanan waktu Amerika mengingkari kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Perlahan tapi pasti, mereka mencetak uang melampaui kemampuan cadangan emasnya. Bahkan secara sepihak Amerika tidak lagi mengizinkan mata uang lain disetarakan dengan emas. Harus dengan Dollar. Pemegang Dollarpun tidak bisa serta merta menukarkan uang Dollarnya dengan emas, karena memang Amerika tidak memiliki cadangan emas yang memadai. Ketidakadilan yang dibuat Amerika ini menimbulkan tekanan dan gelombang ketidakpercayaan terhadap Dollar. Negara-negara sekutu Amerika terus menukarkan Dollarnya dengan emas, kecuali Jerman yang masih mendukung dan tetap menahan Dollarnya. 
Puncak kehancuran Dollar terjadi pada tahun 1971 ketika secara sepihak Amerika memutuskan untuk tidak mengaitkan lagi Dollar mereka dengan emas karena memang cadangan emasnya sudah tak memadai. Itulah pengingkaran paling sempurna yang dilakukan Amerika terhadap kesepakatan Bretton Woods yang mereka buat sendiri, akibatnya keuangan dunia mengalami guncangan hebat yang disebut Nixon Shock pada tanggal 15 Agustus 1971. Praktis pada saat itu sebenarnya Dollar Amerika tidak lagi dipercaya.
Tepat empat bulan sejak Amerika terang-terangan mengingkari kesepakatan Bretton Woods, yakni pada 18 Desember 1971, lahirlah kesepakatan Smithsonian Agreement. Sebuah perjanjian yang diteken di Smithson Institute bersama negara-negara yang tergabung dalam G 10 yang dimotori oleh Yahudi. Kesepakatan inilah yang menyelamatkan Dollar Amerika, menandai berakhirnya era fixed exchange rate dengan back up emas digantikan dengan rejim floating exchange rate yang diikuti oleh seluruh negara anggota IMF, dan Indonesia salah satunya.
Sejak saat itu kekuasaan Dollar Amerika merajalela ke seluruh dunia. Uang mereka menjadi standar internasional. Negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadikan Dollar sebagai referensi untuk mengukur keberhasilan ekonominya, mengukur pendapatan per kapita, cadangan devisa, dan nilai tukar mata uang Rupiah. Dengan kertas-kertas Dollarnya itu Amerika membuat negara-negara miskin berhutang padanya, dengan kertas-kertas itu juga mereka bisa membeli sumber-sumber kehidupan manusia di seluruh dunia. Termasuk tambang emas Freeport di Timika yang menjadi pemasok emas kedua terbesar bagi Amerika setelah Newmont. 
Selama sebelas tahun yakni sejak 1991-2002, Amerika lewat Freeport sudah mengeruk sumber alam Indonesia dengan sangat rakus. Sebanyak 706 ton emas, 6.6 juta ton tembaga dan 1.3 juta ton perak diangkut dari Timika ke Amerika. Itu belum setengahnya. Masih ada cadangan kekayaan tersimpan di perut bumi Timika sekitar 3.046 ton emas, 31 juta ton tembaga dan 10 ribu ton perak yang bisa dikeruk selama 34 tahun ke depan. Ironisnya, semua sumber alam yang bernilai tinggi itu mereka beli hanya dengan kertas-kertas yang sebenarnya tak punya harga sama sekali.
Menurut sebuah sumber, dalam lima tahun terakhir Amerika Serikat memproduksi uang 100 trilyun US$. Sebuah bisnis percetakan yang menggiurkan. Dengan uang sejumlah itu mereka bisa membeli sebuah negara beserta isinya. Bisa menekan sebuah pemerintahan, atau membeli semua aset riil yang mereka inginkan di seluruh dunia dengan cara membuat membuat seluruh dunia berhutang padanya, dan hutang itu dibayar dengan minyak, emas, kayu dan hasil bumi lainnya. Dan selama lima tahun terakhir ini juga pemerintahan Bush Jr dengan sangat boros menghamburkan uangnya untuk membiayai perang dan kampanye politiknya. Ketidakdisiplinan Bush dalam mengeluarkan dana ini dikritik oleh Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS di masa Bill Clinton. Menurut Alan dalam bukunya yang berjudul The Age of Turbulence: Adventure in a New World (Era Turbulensi: Petualangan-Petualangan di Dunia Baru) menyebutkan bahwa selama pemerintahannya Bush terlalu terkungkung oleh kepentingan politik dan mengorbankan disiplin ekonomi.
Apa yang dilakukan Bush ini dianggapnya membahayakan posisi Dollar. Karena perkembangan terakhir nilau Euro sebagai pesaing Dollar menanjak naik. Euro telah memiliki porsi yang meningkat, mencapai 39% digunakan sebagai alat tukar lintas perbatasan dan Dollar 41%-nya. Artinya apa? Mereka sebenarnya juga khawatir dengan uang kertas mereka yang sebenarnya tidak berharga itu. Hantu inflasi terus mengintai pergerakannya. Sesuatu yang tak bernilai akan kembali tak bernilai. Mereka sebenarnya sudah menyadari hal itu jauh-jauh hari. Tipuan uang kertas ini suatu saat akan berakhir. Tapi mumpung masih berada dipuncak kekuasaan, uang-uang mereka yang tak berharga itu terus bekerja untuk memperdaya dan menguasai dunia, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dan menyisakan kesengsaraan di mana-mana. Sebuah penjajahan yang sangat efisien.***

Kejahatan Mata Uang: Disarikan dari buku ”Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham” karya M. Iqbal, Penerbit Spritual Learning Center, 2007. Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Majalah Dakwah Edisi 02/Oktober Tahun 2007.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis