Alat Tukar yang Adil

ALAT TUKAR YANG ADIL
Taufiq Tan

Pertanyaan sederhana mungkin sering muncul di benak kita, kenapa di negara yang subur makmur ini kita masih hidup sengsara? Kenapa kita tak bisa benar-benar memiliki tanah, air, jalan-jalan, minyak, kayu, emas dan hasil bumi lainnya yang jelas-jelas milik kita? Banyak jawaban telah kita dengarkan tentang hal ini. Ada yang mengatakan karena masyarakat kita masih bodoh. Atau karena rata-rata pendidikan kita rendah sehingga tak punya cukup SDM untuk mengolah kekayaan negeri sendiri, teknologi yang tertinggal, atau kerena kita bangsa yang pemalas. Mental kuli. Jawaban-jawaban itu mungkin ada benarnya, tapi jelas tidak sepenuhnya karena faktor-faktor tersebut. Satu sebab yang pasti telah memiskinkan kita adalah, karena di kantong kita masih menyimpan uang kertas.
Jeratan uang kertas telah menimbulkan persoalan serius dalam kehidupan kita, yakni kemiskinan permanen pada sebagian besar orang dan kekayaan permanen pada segelintir lainnya. Kemiskinan pada orang-orang yang tidak memiliki akses pada fractional reserve banking atau sistem yang memiliki otoritas sebagai penyalur dan pencetak uang kertas, dan kekayaan permanen pada mereka yang bisa memanfaatkan dengan licik sistem yang memang dibuat untuk menjajah dunia itu.
Kita bisa merenungkan cerita Engkong Mahmud yang memiliki tanah lima hektar di daerah Kebayoran Lama. Tanah itu kemudian dibebaskan untuk pembangunan jalan dan pusat pertokoan. Pada sekitar tahun 1980-an Engkong Mahmud mendapat uang pembebasan tanahnya sebesar 60 juta rupiah. Berapa harga uang 60 juta rupiah bagi Engkong Mahmud saat itu? Besar sekali. Dia sampai naik haji dua kali, dan sisa uangnya dibagi-bagikan pada tiga orang anaknya. Sekarang Engkong Mahmud hanya bisa bercerita bahwa daerah pertokoan dari ujung jembatan sampai ke simpangan sana dulu adalah miliknya. Sekarang apa yang dia punya? Tak ada. Tanahnya sudah dibeli oleh cukong-cukong yang punya akses ke lumbung uang kertas. Andaipun dia masih menyimpan uang 60 juta rupiah itu, nilainya sudah jauh menurun dari 25 tahun yang lalu. Tapi tanahnya yang lima hektar itu, kekayaan riil yang dibeli cukong-cukong itu sudah membumbung nilainya. 
Engkong Mahmud hanya punya tanah. Kekayaan yang dimilikinya terbatas. Tapi kekayaan itu riil, berwujud dan berharga. Sedang pemodal-pemodal yang membeli tanah Engkong Mahmud memiliki cadangan dana yang tak terbatas. Uang kertas mereka yang ada di bank-bank itu masih cukup untuk membeli tanah berpuluh-puluh hektar lagi. Bahkan nafas tua Engkong Mahmud bisa mereka beli kalau mau. Dengan uang-uang kertas yang tak berharga para pemodal itu telah merampas kekayaan riil masyarakat seperti Engkong Mahmud ini. Menguasainya. Kemudian menyulapnya menjadi tempat menghasilkan uang. Dan Engkong Mahmud terpinggirkan ke belakang. Menjadi penonton di tanah sendiri. Bahkan dua anaknya menjadi kuli di sebuah toko yang dibangun di atas tanah ayah mereka. 
Beginilah caranya para cukong-cukong membuat pemiskinan pada masyarakat. Merampas kekayaan mereka dengan lembaran-lembaran kertas yang sebenarnya tak punya harga itu. Mereka menguasai sumber-sumber kehidupan masyarakat yang terbatas dengan dana tak terbatas. Tanpa uang kertas mereka takkan bisa melakukan itu.
Itulah ketidakadilan nyata yang disebabkan oleh uang kertas yang ada di kantong anda. Uang-uang itu menjadi alat bagi segelintir orang untuk merampas kekayaan orang lain, dan dalam skop yang lebih besar juga merampas kekayaan sebuah negara oleh negara lain, merampas kedaulatan sebuah bangsa oleh bangsa lain. Uang yang seharusnya menjadi alat tukar dalam transaksi perdagangan malah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Orang menjual uang untuk mendapatkan uang. Untuk mengeruk kekayaan riil dari sebuah negara. Sekarang pertanyaannya, adakah pilihan lain yang bisa kita pergunakan selain uang kertas? Tentu ada. Allah telah tentukan alat tukar yang adil untuk semua umat manusia, sepanjang zaman dan masa. Alat tukar yang fitrah, yang nilai intrinsiknya tidak mungkin terpuruk oleh faktor apapun. Bahkan oleh spekulan seperti George Soros sekalipun. Itulah Emas dan Perak. Dalam sejarah panjang kekhalifahan Islam dua bahan ini berwujud menjadi Dinar dan Dirham. Dinar dari Emas dan Dirham dari perak.
Selama 1.400 tahun menjadi mata uang kaum Muslimin di seluruh dunia sejak masa Kenabian hingga berakhirnya kekuasaan kekhalifahan Turki Usmani 1924, Dinar dan Dirham membuktikan keberadaannya sebagai alat tukar yang adil di seluruh dunia. Berhasil menjaga stabilitas harga dan melindungi nilai kekayaan kaum muslimin dari penurunan nilai. Orang yang menyimpan kekayaannya dengan Dinar dan Dirham dalam jangka panjang tak perlu khawatir uangnya akan menurun nilainya seperti yang terjadi pada uang kertas.
Mekanisme pasar yang taat pada hukum supply and demand tidak bisa mendikte Dinar dan Dirham seperti yang terjadi pada uang kertas. Kelangkaan suatu komoditi bisa membuat nilai uang kertas jatuh terhadap komoditi tersebut. Kelangkaan minyak tanah misalnya, karena pasokan yang langka, harga minyak tanah yang sebelumnya Rp. 1.800,- per liter bisa menjadi Rp. 3.500,- per liter. Nilai uang kertas bisa turun 100% terhadap sebuah komoditi. Nilai uang seperti ini sangat rawan dengan isu, penimbunan dan spekulan. Tapi Insyaallah hal ini tidak akan pernah terjadi pada Dinar dan Dirham. Karena dia dibuat dari bahan yang sama berharganya. 
Gerakan kembali ke Dinar dan Dirham adalah solusi fundamental terhadap persoalan ekonomi ummat Islam khususnya di Indonesia agar bisa keluar dari kemiskinan absolut yang melilit seperti rantai setan. Seperti yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam Ihyaa Ulumuddin bahwa Allah telah menentukan “hakim” yang adil bagi kita, yakni Emas dan Perak, atau dalam hal ini Dinar dan Dirham. Dengan emas dan peraklah kita bisa membeli semua barang kebutuhan dengan harga yang adil.
Kembali ke Dinar dan Dirham adalah cara terbaik sekarang ini untuk melindungi harta kita, juga harta semua kaum Muslimin di seluruh dunia dari penggerogotan nilai yang terjadi pada uang kertas. Banyak di antara kita tak mengerti tentang perampasan mata uang ini. Krisis moneter yang terjadi sembilan tahun yang lalu merupakan kesengajaan dari pihak lain untuk menghancurkan ekonomi kita. merampas hak kita, dan memiskinkan kehidupan kita. Tapi sayangnya kebanyakan ummat Islam menganggap krisis moneter itu adalah hal yang wajar, bagian dari masalah kehidupan yang harus diterima apa adanya. Rasulullah SAW dalam haditsnya menyampaikan pada kita bahwa melindungi harta dari perampasan orang lain –juga perampasan nilai- hukumnya wajib. …barang siapa yang terbunuh karena melindungi hartanya maka dia mati syahid… (HR Bukhari & Muslim). 
Idealnya bagi kita yang hidup dalam kekuasaan sebuah negara, negaralah yang seharusnya melindungi harta rakyatnya dari perampokan nilai yang dilakukan oleh para spekulan. Tapi ternyata tidak demikian. Krisis yang terjadi tahun 1997-1998 adalah bukti kegagalan negara melindungi harta rakyatnya. Karena anjloknya nilai Rupiah, kekayaan kaum muslimin di negara ini tinggal 1/6 dari kekayaannya semula. Misalnya anda mempunyai uang tabungan sebelum krisis berjumlah 1 milyar Rupiah, setelah krisis jumlah uang anda tetap 1 milyar Rupiah, tapi sebenarnya dalam nilai Dollar Amerika anda telah miskin 86%-nya, karena uang 1 milyar anda sebelum krisis setara dengan US$ 417.000,- dalam beberapa bulan uang anda tinggal US$ 59.000,- Dalam ukuran emas uang 1 milyar anda sebelum krisis setara dengan 38.5 kg, setelah krisis uang anda setara dengan emas 6.2 kg saja. Bukankah ini memilukan?
Ironisnya, bahkan negara sendiri tidak mampu melindungi kekayaannya dari perampokan besar-besaran yang dilakukan atas nama hutang. Bertrilyun-trilyun aset negara terbang ke luar negeri untuk membayar hutang-hutang yang dibuat oleh sistem perbankan dunia lewat tangan-tangan ajaib yang bernama IMF. Bahkan aset yang tinggal di dalam negeripun satu persatu lepas ke tangan asing, itupun tidak cukup membuat negara yang besar ini terlepas dari hutang. Tahun 2007 ini misalnya, kita menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp. 35.90 trilyun. Tapi uang ini tidak cukup untuk membayarkan cicilan pokok utang kita yang harus dibayar pada tahun yang sama sebesar 54.11 trilyun. Bangsa ini sudah diperbudak oleh utang yang melilit sebelit pinggang, bahkan setiap uang kertas yang ada di dalam kantong warga negara ini adalah hutang yang terus berbunga dan berbunga dan harus dibayar.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya untuk keluar dari sistem uang kertas yang ribawi ini? Kita tahu bahwa kembali pada Dinar dan Dirham adalah jawabannya. Tapi realita bahwa kita hidup di sebuah negara dan terikat dengan hukum positif yang berlaku juga sebuah persoalan. Meski kita tahu Insyaallah tak lama lagi era uang kertas akan segera berakhir, tapi hingga saat ini Dinar dan Dirham belum menjadi mata uang resmi di Indonesia, karena itu kita tidak bisa memaksakannya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) dalam bermuamalah sehari-hari.
Persoalan kedua, perbankan Indonesia saat ini belum membuka rekening Dinar atau Dirham. Kalau ini sudah diizinkan oleh pemerintah, pasti ummat Islam akan mudah menjaga harta kekayaannya dengan menabung Dinar dan Dirham. Dan persoalan ketiga yang tak kalah rumitnya adalah terkait masalah hubungan Indonesia dengan masyarakat Internasional khususnya IMF. Indonesia yang menjadi anggota IMF sejak 21 Februari 1967 terikat dengan beberapa peraturan antara lain tidak diizinkan mengkaitkan nilai tukar Rupiah dengan emas (Article IV, Section 2.b). Kesepakatan lain yang juga bisa menghambat Indonesia menerapkan penggunaan Dinar dan Dirham adalah adanya keharusan bagi negara-negara anggota IMF untuk melaporkan segala aktivitas yang terkait dengan emas seperti cadangan emas yang dimiliki oleh bank sentral, produksi emas, export import emas. (Article VIII, Section 5.a).
Dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa kita lakukan terhadap kekayaan kita? Pada tahap sekarang mungkin kita tak bisa berharap banyak pada pemerintah untuk menjadikan Dinar sebagai alat tukar resmi di samping Rupiah. Yang paling riil pada fase ini untuk dilakukan ummat Islam adalah mengamankan kekayaannya dalam bentuk emas, menukar simpanan uang kertasnya dengan Dinar dan Dirham yang sekarangpun bisa dibeli bebas di beberapa tempat di Jakarta. Tempat-tempat penukaran Dinar ini disebut Wakala Dinar yang sudah berkembang banyak di Jakarta bahkan di luar negeri yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Malaysia. 
Selanjutnya setelah Dinar dikenal luas oleh masyarakat, pengguna Dinar dapat meningkatkan kegiatan tolong menolong dan muamalahnya dan saling bertransaksi menggunakan Dinar dan Dirham. Transaksi ini mungkin skopnya masih internal (jamaah atau club) meliputi kegiatan investasi, perdagangan, gadai, ataupun konsumsi.
Kalau fase ini sudah berjalan, penggunaan Dinar untuk transaksi sehari-hari tinggal menunggu waktu. Insyaallah, kita bisa mengisi bensin di pom dengan menggunakan Dinar dan Dirham. Kita bisa belanja di supermarket dengan Dinar dan Dirham. Kita bisa membayar ongkos taksi dengan Dinar dan Dirham. Kita tak perlu rumit-rumit membayangkan bagaimana susahnya membawa Dinar dan Dirham ke mana-mana. Membayangkan dompet kita harus diganti kantong kain seperti zaman dahulu. Tidak. Teknologi telah memudahkan kita untuk melakukan itu. Bukankah kita menerima ketidakadilan uang kertas selama ini dengan alasan kemudahan? Sekarang kemudahan yang sama bisa kita dapatkan dengan Dinar dan Dirham plus keadilan nilai yang melekat padanya. Jadi saatnya kita menciptakan uang kita sendiri.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency