PAPILLON

Cerpen Taufiq Tan

Sepuluh menit yang lalu aku masih di situ,
di antara hantaman  musik dan bau alkohol…
Suara bassnya hampir-hampir membuat jantungku tanggal dari tampuknya. Lampu yang bersilauan, berpijar seperti kelabat warna warni yang menyapu tiap sudut ruangan. Memantulkan bayang-bayang hitam. Berlalu dan berputar. Sekejap gelap sekejap terang.
Entah kegilaan macam apa yang membawaku ke tempat ini. Sebelumya kami jalan-jalan. Makan. Shopping. Keliling kota naik andong, kemudian berhenti di satu sudut yang gemerlap. Di depannya pandangan kami tertumbuk ke sebuah papan nama yang terpampang megah. Bekerlap-kerlip dengan lampu berkedip. “Papillon.” Aji dan Endro saling pandang. Kemudian sama-sama mengangkat alis, mengangguk, dan beralih padaku. Meminta persetujuan terhadap perubahan rencana yang  tiba-tiba.
Entah ini sebuah kebetulan, tapi aku curiga jangan-jangan mereka sudah merencanakan semuanya. Mengapa tiba-tiba mereka turun dari andong dan berpaling ke seberang jalan. Lantas berseru seperti seseorang yang menemukan ide baru yang menyenangkan. Kemudian dengan cara yang sangat menjilat mereka menawarkan acara selanjutnya malam itu.
“Aku capek, kita pulang saja!” tolakku.
“Akh, sebentar saja Kai, cuma lihat-lihat saja ke dalam. Cuci mata doank!” Rengek mereka seperti dua orang anak yang meminta mainan pada bapaknya. Itu cukup memaksaku untuk mengikuti keinginan mereka untuk kali ini saja.
Saat menuruni tangga, kedua teman ini mendadak jadi lincah. Gerak tubuh dan cara berjalannya menunjukkan bahwa mereka tidak canggung dengan tempat seperti ini. Gaya mereka menyapa petugas sekuriti, membuka pintu dan memesan minuman, seakan-akan mereka sedang show, menunjukkan padaku beginilah cara memasuki dunia malam.
Masuk pintu diskotik itu, aku disambut oleh dentuman keras musik Rock n Roll, lampu warna-warni berpijar liar. Kadang gelap kadang terang. Wajah-wajah yang asyik dengan diri sendiri. Bergoyang sampai tak peduli sekitar. Fly, ekstasi. Membumbung ke alam antah berantah. Kehidupan macam apa ini? Batinku mengutuki dua teman tadi. Kepalaku berdenyut-denyut dan dadaku berdebar tak karuan. Perempuan-perempuan berpakaian mini berlalu lalang entah mencari siapa. Beberapa orang mendekatkan mukanya padaku, meninggalkan aroma alkohol pada desahan nafasnya, kemudian menjauh setelah yakin bukan aku orang yang dicarinya.
Aku berjalan meyisiri orang-orang yang “melantai”. Mencari tempat duduk di pojok ruangan yang agak gelap. Diam dan mengamati kegilaan dari manusia-manusia yang dipermainkan hidup. Aku masih belum percaya kalau diriku berada di tempat ini. Tempat yang aneh ini. Aku tak melihat ada pintu, jendela atau jalan untuk keluar. Bahkan aku tak tahu dari sisi mana tadi aku masuk. Semuanya hanya dinding-dinding yang berwarna hitam. Gelap. Buntu.
Temanku yang dua lagi menghilang entah ke mana. Setelah mengantarkan segelas menuman, mereka sibuk mencari kesenangan sendiri. Menghampiri perempuan-perempuan iseng yang juga sendiri. Mungkin juga menawarkan keintiman sesaat sebelum hengkang meninggalkan kota ini.
Entahlah. Semenit saja duduk di sana membuat kepalaku mau pecah. Setiap detik aku mencium aroma maksiat. Dalam hati aku membatin, Tuhan pasti tak ada di sini. Malaikatpun pasti enggan masuk ke tempat ini. Hanya orang-orang gila yang mau mencari ketenangan di sini. Dan aku, sekarang, salah satu dari orang yang sedang mencoba menjadi gila.
“Uaaak!” mulutku terasa terbakar saat menenggak minuman yang diberikan tadi. Minuman dengan kadar alkohol di atas sepuluh persen. Tak ada enaknya sedikitpun. Baunya sengak rasanya kecut. Aku bukan manusia pemabuk. Aku bukan tipe manusia yang suka merusak diri. Tapi kali ini, entah hawa apa yang mendorongku menenggak minuman keparat itu. Tidak hanya satu teguk. Dua, mungkin tiga atau empat. Aku sudah tak ingat. Tapi malaikatMu pasti sudah mencatatnya.
Celakanya, cairan itu ternyata tidak membuatku tenang, malah semakin gelisah. Kepalaku berdenyut-denyut dan mukaku terasa sembab. Dunia seperti berputar dengan orang-orang gila bergentayangan di depanku. Berkali-kali aku memaki dua teman sialan itu. Aku merasa telah dibodohi oleh rengekannya yang memelas sampai ke langit. Aku merasa terjebak. Berdosa tapi tak menikmatinya. Adakah kebodohan yang lebih malang dari ini? Aku pikir tidak. Inilah kebodohan yang sesungguhnya. Sempat pula terlintas di pikiranku seandainya aku mati mendadak di atas sofa itu, dalam duduk gelisah dan sendiri. Ditiban dentuman musik yang tak bertuhan. Ditambah bau alkohol yang menguar dari mulutku. Akh, pastilah malaikatMu tidak akan banyak tanya lagi. “Lemparkan saja ke neraka!” Katanya.
Hampir dua jam aku bengong, duduk gelisah seperti orang bisulan. Satu-satunya hal yang membuatku tidak terlalu aneh adalah dua orang pengunjung laki-laki yang juga sedang duduk tidak jauh dari pojok tempat aku mengutuki kebodohanku. Keberadaan mereka membuat aku merasa tak sendiri dalam kecanggungan yang sial. Aku rasa mungkin mereka kurang lebih sepertiku. Mencoba menjadi gila dan masuk ke kandang orang-orang gila.
Mereka asyik berdua. Mengobrol tanpa suara, karena memang tak ada suara yang bisa didengar selain dentuman-dentuman musik yang menghentak-hentak gendang telinga. Sesekali mereka memandang awas, melihat sekeliling, memandangi orang-orang yang sedang lupa dengan dirinya sendiri. Sesekali mereka tersenyum seperti dua orang yang sebentar lagi akan mendapatkan mangsa. Entah siapa mereka, aku tak ingin tahu. Mungkin bandar yang sedang menunggu pembeli, atau lelaki iseng yang mencari perempuan-perempuan murahan untuk dijadikan teman semalam. Ah, entahlah. Tampang mereka kulihat tidak semesum itu.  Tapi siapa tahu. Mana ada orang baik di tempat ini.
Tak lama kemudian dua orang laki-laki itu bangkit dan beranjak dari tempat duduknya. Mereka keluar melewatiku dengan pandangan aneh. Aku mulai berpikir jangan-jangan mereka adalah pasangan gay yang sedang menunggu pasangan gay lainnya untuk berpesta. Zzzzh! Aku merinding.
Beberapa saat setelah mereka pergi, aku kembali diserang rasa tak nyaman. Aku bangkit dan mencari dua temanku yang sudah sibuk dengan kesenangannya sendiri. Kuseret mereka satu per satu kemudian kupaksa pulang.  Kembali mereka merengek seperti bocah tengil yang memohon-mohon. “Sebentar lagi Kai! Sebentar lagi! Belum jam tiga.” Jam tiga? Akh, Sialan! Aku diminta mengikuti permainan mereka sampai jam tiga? Tak bisa! Satu jam saja di sini sudah membuatku naik darah. Nafasku sesak, dan kepalaku pusing.
“Tidak bisa! Aku akan pergi dan terserah kalian mau ikut atau tidak.” Bentakku setengak berteriak. Tapi suaraku hilang begitu saja ditelan bunyi musik yang semakin bergairah. Dua teman ini ragu. Tapi aku tak bergeming. Aku melangkah tanpa bicara, bergegas mencari pintu keluar agar segera bernapas menghirup udara segar. Aku betul-betul sesak. Sesak karena aroma manusia yang datang bertambah banyak. Makin malam makin bergairah, makin malam makin seksi. Makin gila dan berani. Dua temanku itu merasa aku telah mengganggu kesenangan mereka di waktu yang tak tepat. Sementara aku merasa mereka sudah menyiksaku begitu lama di tempat yang laknat. Mereka jengkel dan aku uring-uringan.
Akhirnya mereka membebek dengan berat hati. Wajah tak rela mereka merongrongku dari belakang. Apalagi saat berpapasan dengan cewek-cewek yang datang dengan dandanan tengah malam. Makin malam makin banyak. Makin seksi. Mereka berdecak, menelan ludah menekan serapah. Tapi tak berani bersuara.
Di luar diskotik itu aku bernapas lega. Udara malam yang sejuk memberi sedikit hawa segar ke dalam paru-paruku. Pandangan mataku juga terhibur melihat dunia yang ternyata cukup luas dari sebatas dinding-dinding gelap yang memerangkap. Cuma telingaku yang masih pekak seperti tersumbat akibat dicecar dentuman-dentuman keras.
Hal sebaliknya terjadi pada dua temanku ini. Tampangnya kesal dan kehilangan nafsu. Keduanya berjalan gontai tanpa bicara. Diam dan tak bersahabat. Entah siapa yang menyengsarakan siapa. Masing-masing kami merasa disengsarakan. Tapi aku tak perlu tunjukkan rasa jengkel itu karena memang tak ada gunanya. Bahkan akan memperparah keadaan saja. Yang penting bagiku malam ini segera pulang ke hotel dan tidur Pulas.
Celakanya setelah hampir dua ratus meter berjalan ke arah perempatan, taksi yang ditunggu-tunggu tak kunjung lewat. Hingga kami berdiri beberapa saat di pinggir jalan dalam suasana yang tak enak. Tak acuh dan tak bicara. Saat itulah keheningan di antara kami dipecahkan oleh dentuman dahsyat yang datang dari arah belakang. Tanah yang kami pijak terasa bergoncang. Bola api besar membumbung di udara seperti obor raksasa yang sekejap menerangi langit kota.
Entah apa yang ada di pikiran kami ketika itu. Aku merasa hari kiamat dan bumi jungkir balik. Listrik padam dan jerit ketakutan melolong-lolong melengking panjang. Lama kami untuk bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sampai teriakan-teriakan panik dalam kegelapan memberikan kejelasan. “Bom! Bom! Bom!” Setelah itu serentak kami berpaling ke belakang. Ke arah suara dentuman keras berasal, ke arah yang baru saja kami jauhi.
Kami saling pandang. Mulut menganga dan mata terbelalak. Kerongkongan kami terasa kering dan tungkai kami gemetar. Papillon! Desis Endro lemes hampir tak terdengar. Kami hanya mengangguk sambil menelan ludah yang terasa pekat. Tanpa sadar langkah kaki kami mendorong untuk kembali melihat lebih dekat. Papillon, malam itu menjadi tempat kematian.
Saat semua orang sibuk mengevakuasi korban yang terluka dan sakarat. Kami bertiga hanya bisa melongo dari jarak dekat. Melihat kepanikan dengan tatapan tak percaya. Bukankah sepuluh menit yang lalu kami di situ? Ya, membayangkan hal itu tubuh kami serasa tak bertulang. Untuk berdiri saja rasanya kaki kami sudah tak bisa menyangga. Kami bertumpu ke jeruji pagar sambil menyandarkan kepala kami yang terasa berat.
Orang-orang sibuk menyelamatkan korban, menggotong potongan-potongan tubuh, mengemasi daging-daging yang tercecer dan mengumpulkannya di satu tempat. Kami hanya bisa terpaku di tempat kami berdiri, membayangkan kalau salah seorang dari korban itu adalah kami. Salah satu dari potongan tubuh itu adalah potongan tubuh kami, dan darah yang tercecer itu darah kami.
Kami bergidik dan perlahan menjauh. Terakhir kami melihat papan nama “Papillon” yang sudah hampir jatuh, lampunya mati dan penyangganya patah. Kemegahan yang sesaat lalu menjanjikan kenikmatan dunia kehidupan malam, sekarang hanya tersisa kebulan asap, amis darah dan bau gosong daging manusia. Taksi lewat dan kami menghentikannya tergesa.
“Hotel Century, pak!” Hanya itu kata yang kuucapkan, setelah itu diam. Kami duduk tenang, menyandarkan kepala di jok. Taksi berjalan perlahan, menerobos beberapa traffic light di malam yang sepi. Kulihat Endro dan Aji berkali-kali menghembuskan nafasnya. Akupun demikian. Terbayang jelas wajah-wajah terakhir yang berpapasan di tangga masuk, bunyi sepatu mereka, aroma parfum mereka. Wajah-wajah yang mengantarkan kematian di tengah malam. Apa yang baru terjadi membuatku sangat percaya bahwa kehidupan dan kematian bukanlah kebetulan. Tuhan telah mengatur semuanya. Waktu sepuluh menit cukup bagiNya untuk menyelamatkan hidup kami. Diam-diam mulut kami yang masih bau alkohol ini memanjatkan syukur yang tak terhingga.
Malam terus merangkak. Sunyi menggetarkan hati. Di tengah dekatnya kematian, setetes kehidupan terasa begitu berharga. Entah karena ketakutanku akan kematian, sehingga aku begitu sulit untuk tenang diri, bahkan saat di atas taksi itupun aku membayangkan bom meledak dari bawah jok kursi yang sedang aku duduki. Zzzh! Aku bergidik. Entah kenapa aku teringat dua orang laki-laki yang duduk di sofa di hadapanku tadi…
Depok, 01/01/ 2008

Taufiq Tan

Lahir di Padang, 28 Februari. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Republika, Koran Sindo, Harian Merdeka, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Riau Post, Annida, Majalah Ummi, Majalah Alia,  dll.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency