Ideologisasi Pemilih

IDEOLOGISASI  PEMILIH
Oleh Taufiqurrahman
Ketua KPU Sijunjung

Apa yang menarik dari pilkada serentak tahun 2017 yang baru saja selesai dilaksanakan? Adalah proses ideologisasi pemilih dalam berbagai isu yang berkembang di masyarakat, khususnya untuk pilkada DKI yang banyak menyedot perhatian. Ideologisasi pemilih adalah salah satu pembahasan yang menarik dalam evaluasi partisipasi pemilih pada pilkada 2015, dimana menurunnya partisipasi pemilih di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat yang secara keseluruhan disinyalir salah satu faktornya adalah pemilih yang tidak ideologis.
Sebelum membahas lebih lanjut, pemahaman tentang ideologisasi pemilih ini perlu kita bedakan maknanya dengan “Politik Ideologis” di era Orde Baru. Politik Ideologis adalah politik aliran, dimana partai-partai peserta pemilu beserta pendukungnya tersegmentasi dalam ideologi-ideologi yang sudah mapan, seperti Islam, Nasionalis, dan Kekaryaan. Politik ideologi ini kemudian memperkuat diri dan identitasnya dalam diri pemilih, sehingga memunculkan pemilih-pemilih yang ideologis yang dalam beberapa kajian tentang pemilu disebut juga politik identitas.
Di luar faktor mobilisasi oleh kekuasaan (Orde Baru) ketika itu, pemilih ideologis ini menjadi salah satu faktor tingginya angka partisipasi pemilih pada masa itu, bahkan mencapai angka 90% pada beberapa kali pemilu. Kemudian pada pemilu 1999 pasca reformasi, kita masih melihat pemilih ideologis ini mengalami euphoria politik, di mana masyarakat pemilih mendapatkan kebebasan memilih sejumlah partai sesuai dengan pandangan politiknya. Pada masa inipun partisipasi pemilih lebih 80%, angka partisipasi yang sulit dicapai pada pemilu-pemilu sesudahnya.
Memaknai Ideologisasi
Ideologsasi adalah upaya memperjuangkan nilai-nilai yang terinternalisasi dalam sikap dan perilaku individu atau kelompok. Contoh sederhananya adalah, Kalau seseorang berhenti merokok karena tidak punya uang, itu alasan yang dianggap tidak ideologis. Tapi kalau dia berhenti karena mengganggap rokok itu haram, merusak kesehatan dan memiskinkan, itu alasan yang bisa disebut ideologis. Dasar sebuah tindakan itulah yang menentukan sesuatu menjadi ideologis atau tidak. Sederhananya, ideologisasi adalah soal memberi makna, menegaskan posisi dan memperkuat identitas.
Suatu perbuatan atau argument yang dibangun tanpa dasar ideologis akan mengalami kerapuhan, mudah dipatahkan dan tidak berumur panjang. Karena itu ideologisasi dalam konteks pemilih dalam pemilu menjadi penting agar proses demokrasi ini tidak terjebak dalam kedangkalan makna dari sebuah tindakan. Kajian terhadap ideologisasi pemilih berangkat dari penelaahan terhadap tiga kali pelaksanaan pemilihan langsung pasca reformasi di Indonesia, di mana dapat kita rasakan terjadinya “estetika kedangkalan”(meminjam istilah Vaclav Havel, mantan Presiden Ceko) terhadap proses politik dari pemilu ke pemilu yang seharusnya sarat dengan pertarungan nilai dan gagasan.
Ideologisasi pemilih adalah soal bagaimana tidakan memilih itu memiliki argumentasi yang kokoh dalam diri seorang pemilih. Sehingga keinginan untuk datang ke TPS tidak mudah dikalahkan oleh kepentingan lain, bahkan oleh alasan yang sangat tidak masuk akal sekalipun, seperti, tertidur, malas, lagi kerja cari uang, ke pasar dan lain-lain. Inilah ideologisasi pemilih.
Magnet Pasangan Calon
Ketika pemilihan langsung yang berkonsekwensi adanya pergeseran subjek dari symbol (lambang) ke orang, maka figur menjadi faktor penentu partisipasi pemilih. Kontestasi yang sengit dari pasangan calon akan menjadi magnet terhadap antusiasme pemilih datang ke TPS. Tapi kalau kontestasi ini tidak menawarkan perubahan apa-apa, atau bahkan sudah diprediksi berlangsung tidak seimbang, sedikit banyaknya akan memengaruhi antusiasme pemilih datang ke TPS. Apalagi kalau hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Karena itu faktor calon adalah faktor yang tidak bisa tidak, sangat memengaruhi partisipasi.
Bagaimana membuat kontestasi menjadi menarik? Kalau dilihat dari sisi penyelenggara, domainnya hanyalah pada menjual event. Mensosialisasikan dan menggaungkan pelaksanaan pemilu/pilkada yang akan dilakukan ke seantaro pelosok negeri, sembari mengajak semua masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara. Sementara soal siapa yang akan bertarung, berapa jumlah pasangan calon yang akan maju, itu adalah domain partai politik yang mengusung.
Pada data pilkada serentak tahun 2015 di Sumatera Barat, kabupaten kota yang pertarungan calonnya head to head atau hanya dua pasang calon seperti Dharmasraya dan Pasaman, partisipasi pemilihnya relatif tinggi dari kabupaten/kota lain -masing masing 73.18% dan 69%-, karena kontestasinya menarik bagi masyarakat. Tapi tentu faktor tingginya partisipasi ini tidak an sih soal jumlah pasangan calon yang menjadi kontestan, ada juga pilkada yang pasangan calonnya cuma dua, tapi tidak menarik banyak partisipasi pemilih. Artinya ada faktor lain yang tidak bisa kita abaikan, yakni isu yang sangat ideologis.
Eksploitasi Isu Sensitif
Eksploitasi isu dalam pemilu khususnya pilkada adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Di tengah gencarnya pertarungan antar calon, isu sensitif seperti isu SARA paling banyak dieksploitasi. Bagaimana dampak isu-isu sensitif termasuk isu SARA ini bagi pemilih? Sebenarnya dalam konteks meningkatkan partisipasi, isu sensitif berpotensi membangun ideologisasi pemilih.  Membangkitkan tanggungjawab dan menstimulis pemilih untuk menggunakan hak pilihnya ke TPS.
Partisipasi pemilih untuk pilkada DKI tahun 2017 yang mencapai 77.1% (naik 8% dari pilkada 2012). Peningkatan jumlah partisipasi ini dalam beberapa kajian adalah faktor eksploitasi isu oleh media-media yang ada, sehingga isu-isu sensitif terkait hal yang berbau suku dan agama ikut meramaikan jagad pemilihan gubernur DKI. Isu sensitif ini meningkatkan atmosfer kontestasi yang pada akhirnya berdampak pada ideologisasi pemilih.
Sejauh mana ideologisasi pemilih memengaruhi partisipasi? Saya kira ini perlu kajian lebih lanjut. Mengingat fenomena pilkada di beberapa daerah yang sepi pemilih karena alasan-alasan yang sangat remeh temeh -Pemilih tidak datang ke TPS karena malas, karena ketiduran, atau merasa ikut tak ikut sama saja- , rasanya ideologsasi pemilih menjadi hal penting, karena sosialisasi penyelenggara saja tidaklah cukup untuk mendongkrak partisipasi.
 Mungkin bisa dimulai dengan mendisain ulang proses pencalonan sehingga menghasilkan calon-calon yang memiliki daya kontestasi yang kuat, atau dengan memberi ruang terhadap pengelolaan isu-isu ideologis yang membawa pendewasaan bagi pemilih dalam menentukan pilihan, di mana dalam pengalaman yang ada pemilih yang ideologis lebih cenderung bertanggungjawab, mau bersusah-susah untuk berpartisipasi, dan tidak kalah oleh keremehtemahan. Sementara pemilih yang tidak ideologis, seperti kata Vaclav Havel, akan terjebak dalam pragmatisme dan estetika kedangkalan.***
Foto Taufiq Tan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency