PEMILIH DALAM KEPUNGAN HOAX
Oleh Taufiqurrahman
Ketua KPU Sijunjung
Informasi adalah salah satu faktor yang memengaruhi
pilhan pemilih, selain faktor ideologis, geologis dan geneologis. Bagaimana
jadinya jika pemilih mendapatkan informasi yang tidak benar, tidak utuh, atau
tidak sesuai dengan kenyataannya? Inilah problem di ranah pemilihan sekarang, informasi
hoax yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabakan sudah ambil bagian
dalam arena berpemilu di Indonesia.
Hoax bukanlah hal baru yang dihadapi masyarakat dalam
berpemilu, yang paling dahsyat terasa sejak pemilihan presiden dan wakil
presiden langsung tahun 2014, informasi bersileweran tanpa tahu sumber datanya,
dan siapa yang bertanggungjawab. Semua orang bisa memproduksi informasi dan
mendistribusikannya dalam waktu singkat. Sebuah peristiwa yang sama bisa diolah
dengan perspektif yang sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang sama sekali.
Informasi hoax ini seperti serangan bertubi-tubi yang
menghantam sisi kosong dalam pencarian pemilih yang membutuhkan penguatan. Karena
pada kenyataannya tidak semua pemilih mengenal calonnya dengan baik. Juga tidak
semua pemilih yang memiliki ikatan ideologis ataupun ikatan geneologis dengan
pasangan calon. Mereka adalah pemilih mengambang (swing voters) yang menggantungkan pilihannya terhadap informasi,
dan sekarang ini satu-satunya cara cepat mendapatkan informasi itu ada di media
sosial.
Beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi dan
media sosial sangat pesat, Facebook, tweeter dan Whatsapp adalah beberapa
contoh dari media sosial yang sekarang banyak digunakan masyarakat, dengan
media ini semua orang bisa mengakses informasi dengan mudah dan cepat. Istilah
sekarang informasi ada di jari semua orang. Bagi masyarakat yang kebetulan akan
memilih dalam pilkada 2017 ini akan membutuhkan kecerdasan lebih untuk bisa
menentukan pilihan di tengah kepungan hoax.
Mengenali
Calon
Faktor penting dalam menentukan pilihan bagi pemilih
adalah mengenali calon, mengenali luar dalam, baik pemikirannya, visi dan
misinya serta track record-nya selama
berkiprah di masyarakat atau di dunia yang digeluti sebelum menjadi calon.
Catatan-catatan pribadinya tentu menjadi pertimbangan tambahan yang juga
penting untuk diperhatikan.
Pada titik inilah sebenarnya pemilih yang awam
mengalami kebimbangan, karena semua usaha untuk mengenali calon bermuara kepada
kebutuhan terhadap informasi. Ada ratusan atau bahkan ribuan informasi yang
bisa didapatkan pemilih di media sosial tentang pasangan calon, dan satu
informasi dengan informasi lainnya bisa jadi saling bertentangan, karena dalam
informasi itu sudah dibumbui dengan opini penyebar informasi.
Bisa jadi informasi terhadap pasangan calon itu adalah
fakta, tapi opini yang dibawa untuk menggiring informasi itu yang rekayasa,
hoax dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya, mungkin informasi bahwa
calon “B” ini memang pernah mendatangi suatu tempat, atau pernah bertemu dengan
seseorang di suatu tempat. Tapi apa yang dibicarakan, untuk apa mereka bertemu,
dan dalam kapasitas apa mereka bertemu adalah sesuatu yang bisa direkayasa dan
“disesatkan” sesuai kepentingan yang menyebarkan informasi. Jadi, antara fakta
dengan opini menjadi kacau balau dan membingungkan pemilih.
Bagaimana cara memilahnya? Artinya seorang pemilih
tidak bisa mencukupkan informasinya dari satu sumber saja. Dia harus memperkaya
informasinya tentang semua calon yang berkompetisi dari berbagai sumber, dan
bahkan dari sumber yang berlawanan sekalipun. Setelah itu memang pemilih harus
mengolah informasi-informasi yang diterima itu menjadi sebuah keputusan yang
tepat.
Dukungan
Regulasi
Kalau kita melihat Peraturan KPU yang mengatur tentang
kampanye dalam pilkada, baik PKPU No. 7 tahun 2015 dan PKPU No. 12 tahun 2016, secara
teknis belum bisa menjangkau permasalahan penyebaran informasi hoax yang
disebarkan oleh orang lain. PKPU hanya bisa mengikat pada calon, tim kampanye
calon, dan media-media sosial yang didaftarkan sebagai akun resmi oleh pasangan
calon dalam berkampanye. Di luar itu, penyelenggara termasuk Bawaslu perlu bekerja
keras untuk bisa menjerat penyebaran berita hoax ke ranah pelanggaran pemilu.
Kalau mencermati pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU yang terkait kampanye, regulasi pemilu
tidak benar-benar bisa mengontrol pergerakan berita hoax di media sosial.
Proteksi terhadap pemilih menjadi pekerjaan rumah bagi pemilu kita, agar
pemilih tidak hanya menjadi objek dari sampah-sampah kebohongan yang ditebar
tanpa bertanggungjawab.
Karena itu dalam pemilu, mendorong pemilih cerdas
bukan hanya menjadi slogan, tapi betul-betul harus diwujudkan dalam
program-program yang konkrit, terutama bagaimana pemilih harus memiliki
kemampuan mencerna dan menganalisis sebuah informasi yang diterima, terutama di
tengah keberpihakan media-media mainstream yang diharapkan bisa menjadi pelopor
terhadap informasi yang mencerdaskan.
Usaha KPU dalam menginformasikan calon kepada pemilih
lewat acara debat publik ataupun media informasi lainnya bisa menjadi
alternatif utama bagi pemilih untuk mendapatkan pemahaman yang kemprehensif,
walaupun media-media kampanye yang disediakan itupun tidak cukup untuk
menginformasikan lebih dalam, terutama tentang ide, gagasan, visi dan misi
calon secara keseluruhan, karena media seperti debat publikpun memiliki
keterbatasan ruang dan waktu. Namun setidaknya, sesuatu yang tampak bisa
menyeruakkan apa yang selama ini
tersembunyi.
Kalau pemilih menyaksikan langsung acara debat calon
misalnya, minimal mereka bisa mendapatkan informasi lain dari gesture, cara bersikap dan tindakan spontan
masing-masing pasangan calon di atas panggung, dan itu juga menjadi informasi
tambahan yang berharga, meskipun debat itu sendiri masih dihiasi dengan polesan
kata-kata dan basa basi.
Pemilih
Independen?
Dalam kajian-kajian terhadap voters, hampir tidak ada
pemilih yang betul betul bebas dari pengaruh orang lain. Seperti pengaruh dari
keluarga, teman dekat, teman sebaya (Peers
Group), tokoh publik dan orang yang berpengaruh di lingkungannya. Artinya
hampir tidak ada pemilih yang betul-betul independen dalam menentukan
pilihannya.
Ketika mendapatkan informasi dari media sosialpun,
akan ada interaksi bersama keluarga dan teman sebaya untuk memperbincangkan
informasi tersebut sebelum seseorang menentukan pilihan, dan itu akan sangat
memengaruhi pilihan seseorang di bilik suara. Apa yang disebut dengan social influence tidak bisa dielakkan.
Karena itu hampir-hampir tidak ada orang yang independent dalam menentukan
pilihannya. Semua individu mendapat pengaruh dari individu lain.
Hoax sebagai sebuah informasi tak bertuan dapat
disaring dalam medium interaksi sosial seperti ini. Seorang pemilih memang
tidak bisa membatasi informasi yang masuk ke ruang pikirannya, juga tidak dapat
menolak apa saja yang disampaikan orang di akun media sosial, namun seorang
pemilih bisa membuat filter dengan berbagi informasi dan mendiskusikannya dalam
interaksi sosial dengan keluarga, kerabat, sejawat dan mungkin juga orang yang
dipercaya.
Bagaimana Mensikapi
Hoax?
Sebagai tindakan kolektif, hoax bisa dipandang sebagai
problem sosial dalam masyarakat, dimana terjadi fase kegagapan teknologi secara
massif. Dampak dari kemajuan ini membuat sebagian orang merasa dengan mudah
bisa menyuntikkan informasi kepada khalayak tanpa harus bertanggungjawab. Meskipun
Undang-Undang ITE telah memberikan konsekwensi hukum terhadap mereka, namun
tidak banyak yang memahami isinya beserta konsekwensi-konsekwensi hukum yang
ditimbulkan akibat melanggar ketentuan tersebut.
Bila dilihat dalam perspektif Sosiologi, perilaku ini
akan berdinamika sejalan dengan perkembangan social masyarakat itu sendiri. Mengutip
Blummer (1969) tentang interaksionisme simbolik, bahwa dalam berinteraksi,
manusia memberi makna dan memproduksi makna dengan menginterpretasikan
simbol-simbol yang diterimanya. Interpretasi terhadap simbol-simbol ini melibatkan
proses berpikir yang simultan dan terus menerus sehingga manusia –secara
kolektif- memberi makna sendiri terhadap informasi yang diterimanya. Dengan
kemampuan berpikirnya manusia akan beradaptasi dengan persoalan ini.
Pada akhirnya, seiring dinamika sosial yang
berkembang, filter dan penolakan terhadap hoax akan muncul sendirinya, muncul
dan berdinamika bersama masyarakat. Lama kelamaan kalau orang mendapat suatu
informasi dia akan bertanya, “ini hoax atau bukan?” Inilah proses sosial,
manusia sebagai individu dan kolektif memiliki daya kritis dan daya adaptasi
terhadap suatu keadaan di luar dirinya lewat pemaknaan simbol-simbol yang
diterima, dan ini mungkin akan membutuhkan proses yang panjang.
Perlukah KPU membuat aturan khusus semacam peraturan
KPU untuk melindungi pemilih dari serangan informasi hoax ini? Atau cukup
dengan memaksimalkan UU ITE yang ada? Atau lebih penting menggiatkan pendidikan
pemilih, mencerdaskan pemilih dan membuat mereka memiliki filter dalam diri
guna menyaring informasi agar bisa menentukan pilihan yang tepat di tengah
kepungan informasi sampah yang bertebaran di jagad media? Inilah pekerjaan
rumah kita.***
Komentar
Posting Komentar