PEMILU, RUMAH YANG TAK KUNJUNG SELESAI
Oleh Taufiqurrahman
Ketua KPU Sijunjung

Ibarat rumah, pilar demokrasi yang bernama pemilu di Indonesia masih saja mengalami bongkar pasang, bukan hanya pada elemen pendukungnya, tapi menyentuh  pada konstruksi dasar dari bangunan itu sendiri, yakni penyelenggara dan system penyelenggaraan.
Sebagai Negara yang membangun kembali demokrasinya pasca reformasi tahun 1998, Indonesia telah melaksanakan pemilu selama empat kali (1999, 2004, 2009, dan 2014), tiga kali di antaranya pasca amandemen UUD 1945. Itu berarti sudah hampir 20 tahun kita memasuki masa penataan demokrasi setelah sekian lama berada dalam kooptasi otoritarian Orde Baru.
Namun waktu yang hampir 20 tahun ini menyisakan pertanyaan besar di benak kita, terkhusus terkait dengan regulasi, apakah pemilu kita sedang bergerak maju atau sedang mundur ke belakang? Ada yang berpandangan kalau waktu 20 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi sebuah bangsa untuk menemukan kemapanan demokrasi dalam mencari format pemilu yang stabil, ada juga yang menganggap itu waktu yang pendek untuk menilai, karena bangunan pemilu adalah sesuatu yang tidak bisa sekali jadi, butuh proses yang panjang.
Apapun itu, satu hal yang menjadi pencermatan kita, bahwa penataan pemilu masih berkutat pada persoalan yang sangat substantif, bukan masalah finishing atau sentuhan akhir. Ibarat membangun sebuah rumah, kita tidak dalam tahap memasang keramik, mamasang kaca jendela atau memasang plafon yang masih terbengkalai. Namun yang kita lakukan merobohkan kembali tiang-tiang yang sudah berdiri, kita menjebol lagi dinding-dinding yang sudah kita pasang rapi dan kita cat dengan indah, atau membongkar pondasi lama dan kita buat pondasi yang baru.
Kita mungkin bisa memandang ini sebagai sisi dinamisnya pemilu di Indonesia, namun dalam catatan Prof Hans Komeling –mantan ketua KPU Belanda dalam sebuah diskusi di Aula Gubernuran gubernur Sumatera Barat tanggal 7 April 2017 lalu-, bahwa kondisi ini tidak sehat untuk sebuah perjalanan demokrasi. Terlalu sering mengutak atik undang-undang pemilu bukanlah sesuatu yang baik. Hal itu bisa menandakan bahwa kita belum teruji berdemokrasi karena terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodir. Dia membandingkan bahwa di belanda system pemilu yang digunakan sekarang sudah berjalan sejak tahun 1917, atau hampir seratus tahun. Kalau kemapanan regulasi bisa dipandang sebagai indikator kemapanan demokrasi, maka kita masih terlalu jauh dari itu.
Pijakan Filosofis
Jika melihat dinamika perubahan regulasi dari pemilu ke pemilu, tak dipungkiri bahwa regulasi pemilu kita sarat kepentingan politik jangka pendek, sehingga tidak jarang menimbulkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Dampak tarik menarik kepentingan jangka pendek ini membuat regulasi-regulasi yang dilahirkan menimbulkan persoalan baru pada pemilu berikutnya,  atau dalam bahasa hukum –mengutip Prof. Mahfudz MD- bahwa undang-undang pemilu yang dilahirkan tidak memiliki daya konstitutif dalam mendorong terwujudnya pemilu yang establish.
Persoalan pemilu  DPR, DPD dan DPRD  saja misalnya, apakah akan menjadi proporsional tertutup atau terbuka masih menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai, padahal kita sudah memiliki pengalaman dalam menerapkan keduanya dan telah memiliki kajian yang dalam terhadap kedua system tersebut. Bahkan kajian akademis terhadap hal ini tidak kurang-kurangnya. Namun tetap saja pada akhirnya berujung pada perdebatan kepentingan.
Termutakhir adalah keluarnya Putusan MK No.14/PUU-IX/2013 tentang pemilu serentak, yang mana berdasarkan pasal 22E ayat (1), (2) dan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang intinya menyatakan pemilu hanya dilaksanakan sekali dalam lima tahun, dan pemilihan DPR, DPD dan DPRD serta pemilihan presiden secara langsung dilaksanakan bersamaan. Ini sekaligus membuktikan bahwa dinamika dalam regulasi pemilu kita sudah lari jauh dari yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Kepentingan-kepentingan politik jangka pendek telah membuat  penyusunan regulasi lari dari pijakan filosofisnya, sehingga pembuatan regulasi cenderung tidak konsisten, dan berdinamika sesuai dengan kepentingan praktis. Inilah menurut saya yang menyebabkan undang-undang pemilu selalu mengalami bongkar pasang, termasuk undang-undang pilkada yang sempat menjadi bagian dalam rezim pemilu, sangat dinamis terutama beberapa tahun terakhir ini sejak UU No 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang baru berumur beberapa hari langsung di-skak mat oleh perppu.
Isu lain dalam pembahasan undang-undang pemilu yang “seksi” untuk diperdebatkan adalah terkait penyelenggara, mulai dari isu tentang penyelenggara dari unsur parpol, penyelenggara pemilu bersifat Ad Hoc di tingkat Kabupaten, serta jumlah penyelenggara pemilu yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan jumlah penduduk di Provinsi atau di Kabupaten/kota tersebut. Utak atik ini sebenarnya sah saja, asal dibahas dengan pijakan filosofis yang jelas dan perspektif yang holistik dan konprehensif. Kalau tidak, ini hanya akan menimbulkan persoalan baru dalam pelaksanaannya.
Penutup
Melihat beberapa pasal-pasal di undang-undang pemilu yang “terkapar” dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi, kiranya perlu untuk pembuat regulasi pemilu lebih hati-hati lagi dan melihat lebih dalam ke makna filosofis daripada kepentingan praktis dalam menyusun undang-undang pemilu yang baru.
Kompilasi undang-undang pemilu yang sekarang lagi digodok adalah pertaruhan besar mempertahankan trash masyarakat terhadap demokrasi. Utak atik regulasi yang hingga saat ini masih bercitarasa try and error dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu.
Kita berharap undang-undang pemilu yang akan dilahirkan ini memiliki daya konstitutif, dan bisa digunakan untuk pemilu 2019 dan seterusnya tanpa dibongkar pasang lagi. Kalaupun ada perubahan, lebih kepada penyempurnaan saja. 

(Dipublikasi di Harian Padang Ekspres edisi Rabu 10/05/2017)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency