BAB I: Buku Obat Anti Korupsi

BAB I : Buku Obat Anti Korupsi
Suherman duduk bersama Agus di deretan bangku tunggu stasiun kereta Lempuyangan.  Ada banyak penumpang yang berjejer di bangku itu untuk menunggu kereta yang sama menuju Bandung. Ketika menaruh tasnya di bawah, Suherman melihat selembar uang lima ribuan tergeletak begitu saja. Ia pungut uang itu dan ia menoleh ke kiri dan kanan.
“Ini uang bapak?” katanya pada lelaki yang duduk di sebelahnya. Kemudian sesaat laki-laki itu merogoh kantong celananya, melihat isi kantong bajunya, kemudian menggeleng. “Bukan.” Lantas pada ibu yang duduk di sebelahnya lagi. “Ini uang ibu yang jatuh?” Tanya Suherman. Ibu itu menoleh sesaat kemudian menggeleng. “Bukan.”
Ke semua orang yang duduk di deretan bangku itu, bahkan ke seorang cewek cantik yang duduk di deretan paling pojok Suherman menanyakan, siapa yang kehilangan uang lima ribu rupiah. Tapi tak satupun yang mengaku sebagai pemiliknya. Suherman bingung, mau diapakan uang lima ribu rupiah itu. Akhirnya kebetulan seorang pengemis lewat dan Suherman memasukkan uang lima ribu itu ke kantong plastik si pengemis dengan niat sedekah atas nama yang punya uang.
Agus yang dari tadi melihat tingkah sahabatnya hanya tersenyum. Ia kagum dengan kebaikan sahabatnya itu. Di atas kereta Agus menanyakan (tepatnya menguji) Suherman bagaimana seandainya kalau uang yang ditemukan itu bukan lima ribu rupiah, tapi limapuluh ribu rupiah.
“Saya akan cari pemiliknya dan akan saya berikan.”
“Kalau uang itu seratus ribu rupiah?” kejar Agus lagi.
Suherman terdiam sejenak, “tetap akan saya kembalikan.”
“Kalau uang itu satu juta rupiah?” kejar Agus lagi.
“Hmm, satu juta ya!” Ulang Suherman.
“Kalau sepuluh juta?” kejar Agus tanpa menunggu jawaban sahabatnya itu. Kelihatan Suherman kebingungan, belum sempat ia berpiir tentang uang satu juta, sekarang  ia harus membayangkan uang sepuluh juta itu seperti apa. “Wooow! Itu banyak sekali, Gus,” katanya berbinar-binar.
“Iya, bagaimana kalau kamu menemukannya? Apakah kamu akan mengumumkannya seperti kamu dapat uang lima ribu tadi?”
“Ya nggak lah Gus, itu konyol namanya. Pasti semua orang akan mengaku sebagai pemiliknya. Kamupun pasti akan berpikir demikian, Gus. Kita tak bisa gegabah, kita harus hati-hati, bisa-bisa kita memberikan uang itu pada orang yang salah. Kita harus teliti dulu, seperti apa uang itu. Pecahan limapuluh ribuan atau seratus ribuan, diikat dengan bandrol bank atau dengan karet, disimpan dalam tas apa, Warna tasnya apa. Terus kalau ada yang mengaku kehilangan, kapan kehilangannya, di mana, antara jam berapa sampai jam berapa.” Suherman menyampaikan sederet syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang mengaku sebagai pemiliknya. Agus hanya mendengus mendengar cerocos sahabatnya itu sambil melihat ke luar jendela.
“Kalau tidak ada yang memenuhi syarat?” Kejar agus lagi.
“Ya….ya…, gimana ya..!” Suherman gelagapan. “Terpaksa aku simpan sendiri,” jawabnya cengengesan. Agus terbahak mendengar jawaban Suherman.
“Kenapa tidak disedekahkan pada pengemis seperti kamu menyedekahkan uang limaribu rupiah? Niatkan untuk yang punya uang, kan pahalanya banyak, toh itu juga bukan uangmu.” Sindir Agus.
“Ya tidak begitu, Gus. Keenakan yang menerima sedekahnya. Sedekah cukup dua setengah persen saja. Kan itu namanya barang temuan, Gus. Luqatoh. Yang menemukan berhak memilikinya kalau setelah diumumkan ternyata tak ada yang benar-benar sah menjadi pemiliknya. Aturannya ada, Gus. Hukumnya ada.”
 “Tapi itu jelas bukan uangmu, Man.
“Benar, tapi aturannya aku boleh memiliki. Itu sah.”
Kemudian dua sahabat ini terlibat perdebatan yang panjang di atas kereta. Memperdebatkan tentang “seandainya” mereka menemukan uang sepuluh juta rupiah.  Suherman menganggap tak ada masalah seandainya ia dapat uang sepuluh juta dan menyimpannya setelah tak ada orang yang benar-benar meyakinkan sebagai pemiliknya. Tapi Agus menganggap Suherman tidak konsisten. Ternyata kejujuran Suherman hanya sampai angka seratus ribu rupiah. Atau mungkin cuma sampai sepuluh ribu rupiah saja. Di atas itu Suherman akan mencari pembenaran untuk memilikinya.
Ternyata menemukan uang sepuluh juta rupiah tidak sesederhana menemukan uang lima ribu rupiah. Menyedekahkan uang temuan sepuluh juta tidak seringan menyedekahkan uang lima ribu rupiah, meski itu sama-sama uang temuan.
Ada yang menarik dari cerita dua sahabat ini. Perbedaan nominal uang temuan melahirkan sikap yang berbeda pula. Kalau uang temuan itu hanya lima ribu rupiah, kita akan dengan ringan mengembalikannya, mencari pemiliknya, mengumumkan pada siapa saja orang yang kita temui. Tapi kalau uang itu sepuluh juta? Akh, tunggu dulu. Ini harus hati-hati, kita tak mau salah atau tertipu oleh orang yang mengaku-ngaku sebagai pemiliknya. Sementara itu, diam-diam, kita menghitung diri kita sebagai bagian dari solusinya.
Saya kira di sinilah letak masalahnya. Banyak orang mencari pembenaran terhadap perbuatan yang menguntungkan dirinya. Ada seribu alasan bisa dibuat untuk melegitimasi sebuah perbuatan yang mungkin sudah menyimpang. Baik itu legitimasi hukum ataupun legitimasi agama. Bahkan ada yang mendatangi kyai untuk menanyakan hal itu. Meminta legitimasi syari’ah untuk dapat menenangkan pertentangan batin dalam diri.
Lantas pertanyaannya, apa hubungannya menemukan uang sepuluh juta dengan korupsi? Ya, saya kira itu pertanyaan cerdas selanjutnya, dan itulah topik yang akan kita bicarakan dalam bab ini. Hubungan secara langsung mungkin tidak ada. Menemukan uang dengan korupsi adalah dua masalah yang berbeda. Tapi ada suasana, sikap dan cara berpikir yang hampir sama dari keduanya, yakni sikap “mencari pembenaran”.
 Apa yang dialami oleh orang yang baru mengenal korupsi tidak jauh berbeda dengan orang yang menemukan uang sepuluh juta seperti cerita di atas. Pertama datang kesempatan yang tak disangka-sangka. Ada orang yang menghampiri mejanya, menawarkan sekoper uang dan meminta imbalan yang ringan. Mungkin hanya sebuah persetujuan, atau sebuah tanda tangan, atau juga satu suara untuk sebuah pemilihan. Apa yang terjadi dengan orang yang mendapatkan tawaran itu? Yang baru pertama kali mungkin akan mengalami pertentangan batin, pikiran baik dan buruk saling berbantah-bantahan dengan diri sendiri. Hingga kemudian yang muncul adalah sebuah argumen. Ada sebuah pembenaran sehingga sesuatu yang tadinya tidak pantas bisa saja dianggap pantas. Sesuatu yang tadinya tercela bisa saja dianggap biasa. Saat pembenaran itu datang dalam dirinya, saat itulah dia mulai jadi tikus.
Untuk sampai pada korupsi, ada proses yang terjadi dalam diri seseorang, yang pelan tapi pasti akan menyeretnya jadi koruptor. Skema ini mungkin bisa membuat kita lebih mudah memahaminya;
Saat kesempatan datang dan pergolakan batin terjadi dalam diri, korupsi dan tidak adalah pilihan. Tergantung pada pikiran mana yang berkembang dalam diri kita. Ada dua hal saja yang mungkin berkecamuk dalam diri kita. Mencari pembenaran atau memikirkan resiko yang menakutkan.
Kalau seorang yang sedang berhadapan dengan kesempatan korupsi, kemudian memikirkan bahwa ini adalah peluang, kesempatan yang tak mungkin datang dua kali, semua orang juga melakukannya, ini bukan korupsi, tapi imbalan yang pantas untuk sebuah tanggungjawab, toh tak merugikan siapapun, hanya satu suara, satu tandatangan, satu statemen yang tak berarti apa-apa terhadap keberlansungan dunia. Tak akan mengancam stabilitas bangsa dan negara, tak akan menodai agama. Toh semuanya berlangsung atas dasar suka sama suka. Ikhlas sama ikhlas. Tak ada yang dirugikan. Tak  ada yang salah, anggap saja tak terjadi apa-apa, setelah itu semua akan berjalan seperti biasanya. Dan lain-lain, dan lain-lain. Kalau pikiran seperti ini yang berkembang saat mendapat kesempatan itu, bisa dipastikan 99,9% dia akan korup. Kenapa? karena dia sedang mencari pembenaran atas rencana korupsinya.
Tapi kalau yang dia pikirkan resiko, takut dengan konsekwensi dan tak ingin malu kalau ketahuan dan di-ekspose di media massa, tetangganya tahu, orang di kampungnya tahu, semua sanak famili juga tahu akan perbuatan korupsinya. Di mana muka ini akan ditarok, mungkin konsekwensinya dipecat dari jabatan, dijauhi dari pergaulan, dikucilkan dari kehidupan sosial. Disindir dan diejek dalam setiap pertemuan, dan mungkin akibat yang paling menakutkan adalah dipenjara di sel yang pengap.
Jelas ini konsekiwensi yang buruk. Mereka yang ingin melakukan korupsi harus berpikir dua kali. Kalau tidak yakin siap menerima konsekwensinya, mereka harus mempertebal ketakutan dalam diri jika tidak ingin kehilangan kehidupannya sekarang ini hanya karena sebuah perbuatan tercela yang akan menjerumuskan dirinya ke dasar kehinaan. Ada banyak resiko terburuk yang harus dipikirkan seseorang sebelum berbuat korupsi, mulai dari berantakannya kehidupan keluarga hingga berantakannya kehidupan sosial.
Itu baru resiko di dunia, belum lagi ancaman Allah di akhirat, yakni neraka jahannan yang akan melumat tubuh manusia. Karena itu hendaklah pertebal ketakutan kepada Allah. Hardik diri kita sendiri seakan-akan Allah menghardik tepat di daun telinga kita. Kalau nama saudara Sulaiman misalnya, teriakkan pada diri saudara, “Ngapain kau Sulaiman! Korupsi kau Sulaiman! Ha! Korupsi kau! Menerima uang haram kau Sulaiman! Uang haram itu yang akan kau berikan untuk makan anak istrimu! Uang haram itu akan kau jadikan darah daging keluargamu! Celaka kau Sulaiman! Akan Kubuat sengsara hidupmu Sulaiman! Akan Kulempar ke neraka kau! Kulempar ke kerak neraka kau bersama keluargamu Sulaiman!!...”
Saudari boleh mendesiskan ini pada diri sendiri, atau menggumamkannya pelan-pelan, atau meneriakkannya sekeras mungkin sampai saudara menggigil ketakutan. Untuk ini saudara harus takut. Atau buat diri saudara takut setakut-takutnya hingga tak ada celah dalam pikiran saudara untuk melakukannya.
Di luar semua itu, perbanyaklah beristighfar, banyak berdoa agar Allah melindungi kita dari segala hal yang kita tak punya kuasa untuk melawannya. Dari rasa sesak dan gelisah, dari kelemahan dan kemalasan, dari sikap pengecut dan kikir. Dan dari lilitan hutang dan dominasi manusia (salah satu doa dalam alma’tsurat).
Jadi penting bagi kita menjauhkan diri dari hal-hal yang subhat. Hal yang kita ragu akan kebaikan dan manfaatnya. Saat kita tergoda untuk mendekatinya, segera takut-takuti diri kita dengan resiko besar yang akan mengancam. Setiap kali kita tergoda untuk korupsi, setiap itu pula hendaknya kita memikirkan resiko terbesar yang pasti  kita terima, di dunia maupun di akhirat.
Karena sekali kita berpikir untuk mencari pembenaran, maka sejak itulah kita akan berjalan dengan logika sendiri. Kita tidak akan peduli dengan logika-logika orang lain di sekeliling kita. Karenanya banyak orang yang dituntut korupsi tapi tidak merasa korupsi. Karena logika dan cara pandangnya memang sudah tidak sama. Dalam logikanya barangkali dua dikali dua bisa saja menjadi enam, tujuh atau sembilan. Tapi tidak bagi orang lain.
Saya punya seorang teman pegawai Pemda sebuah Kota di Sumatera. Sekali waktu ia tugas dinas ke Jakarta. Selama dinas itu ia menginap di rumah saudaranya di Bekasi, padahal kantor memberinya anggaran untuk penginapan seharga hotel bintang dua, sekitar Rp. 350.000/hari. Kali enam hari, total Rp. 2.100.000,- ditambah uang saku Rp. 250.000/hari, kali enam hari jadi Rp. 1.500.000. berarti dalam satu kali perjalanan dinas itu ia mengantongi Rp. 3.600.000,- di luar biaya transportasi, tiket pesawat dan lain-lain.
Bagaimana pertanggungjawabannya dengan uang sejumlah itu? Ini yang menarik. Teman itu punya cara pandang yang lain. Kantor telah memberinya uang sejumlah Rp. 3.600.000,- untuk biaya dinas ke luar kota dengan segala estimasi kebutuhannya. Berarti uang itu di bawah otoritasnya untuk menggunakan. Kalau misalnya biaya penginapan bisa ia tekan menjadi Rp. 150.000/hari, atau tidak ada sama sekali, misalnya dia tidur di masjid atau di tempat saudara. Dia tidak menikmati fasilitas yang semestinya di dapatkan dalam perjalanan dinas tersebut. Kalau begitu, menurut teman ini, dia berhak untuk mengantongi selisih dari biaya penginapan itu.
Kemudian ia menganalogikan pada saya. Misalnya, kita menyuruh dua orang anak kecil belanja sayur ke pasar. Masing-masing kita kasih uang lima ribu rupiah. Anak yang pertama ke pasar naik ojek pulang pergi, menghabiskan ongkos Rp. 2.000,- Anak yang kedua pergi dan kembali dengan berjalan kaki. Keduanya pulang dengan membawa sayur ke rumah. Atas jerih payah dan penderitaannya berjalan kaki, anak kedua ini berhak dong, membelanjakan ongkos yang semestinya ia bayarkan sebesar Rp. 2.000,-untuk membeli es krim atau cendol. Toh ia sudah menanggung penderitaan dengan mengorbankan dirinya berjalan kaki.  Haus  dan lapar. Bukankah itu adil?
Argumennya boleh juga. Tapi mungkin kawan ini lupa, bahwa kualitas optimal juga diperlukan dalam menjalankan tugas. Negara sudah membiayainya dengan standar fasilitas tertentu. Transportasi dengan pesawat, menginap di hotel bintang dua. Itu agar dia bisa menjalankan tugas dengan optimal. Tapi di tempat saudaranya apakah dia bisa mendapatkan kenyamanan yang sama dengan fasilitas yang disediakan kantor? Ini persoalannya. Dengan tinggal di bekasi ia sudah mendapatkan persoalan, transportasi yang macet, kemungkinan terlambat, serta kelelahan di perjalanan. Ini membuat dia tidak akan optimal menjalankan tugasnya. Belum lagi seandainya di tempat saudaranya ia harus menimba air sebelum mandi, tidur di tikar hingga membuat badan pegal-pegal dan kembung masuk angin. Sakit. Tugas tak tertunaikan dengan baik. Nah, kalau begitu kejadiannya, apa negara tidak rugi? Jangan kira hal seperti ini bukan korupsi.
Tapi yang namanya cara pandang memang sulit dirubah. Akan selalu ada pembenaran untuk melakukannya. Kata teman itu hampir semua orang di daerah melakukan hal semacam itu. Setiap melakukan perjalanan dinas, mereka melakukan “pensiasatan” agar bisa mengantongi sisa uang perjalanan untuk kebutuhan pribadi. Membeli oleh-oleh dan sisanya disimpan untuk keperluan keluarga. “Kalau tidak pandai-pandai mensiasati, bisa melarat kita,” katanya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita? Ini yang saya sebut dengan “penyimpangan yang sudah sangat biasa.” Semua orang melakukannya dan itu tak dianggap tercela. Suatu kejanggalan lagi dari masalah ini, kata kawan itu ia tidak perlu melaporkan lagi biaya perjalanan dinasnya, karena sudah dianggap terpakai sebanyak itu. Kalaupun ada hanya sebatas formalitas saja. Inilah yang menjadi keanehan, yakni ketika estimasi secara otomatis menjadi real cost yang tidak perlu dipertanggungjawabkan karena memang tak pernah ada sisa.
Bagian keuangan mengeluarkan dana perjalanan dinas sebesar Rp. 3.600.000,- berdasarkan estimasi kebutuhannya selama bertugas. Real cost adalah biaya yang dipakai selama dinas itu. Seharusnya pemakaiannya dipertanggungjawabkan. Kalau sisa, mestinya harus dikembalikan. Tapi anehnya, kalau sisa biasanya didiamkan, dianggap inpas. Tapi kalau kurang, mereka akan mengurus klaimnya, meminta bon untuk tagihan pada bagian keuangan setelah pulang ke daerah.
Kalau sisa uang dinas harus dikembalikan, pasti semua fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin, tidak akan ada korupsi terhadap kualitas kerja, pengempitan uang dinas untuk dikantongi sendiri. Apalagi untuk membeli oleh-oleh yang berlebihan untuk keluarga, tetangga dan sanak famili dengan uang dinas. Sangat tidak pantas. Coba bayangkan, Negara harus menanggung biaya oleh-oleh untuk keluarga anda?
Meluruskan hal-hal semacam ini sekarang kedengarannya seperti utopia, kenapa? Karena sudah sangat biasa dalam kehidupan kita. Tapi itu bukan tak mungkin. Negarawan kita Mr. Muhammad Hatta telah memberikan contoh yang baik pada kita. Setiap pulang dinas dari luar negeri, beliau selalu mengembalikan sisa uang perjalanannya (termasuk uang saku) ke kas negara. Itulah bentuk pertanggungjawabannya sebagai seorang pemimpin terhadap uang rakyat. 
Amirul Mukminin, Khalifah Umar juga meninggalkan contoh yang baik pada kita berkenaan dengan kehati-hatian ini. Suatu malam saat ia sedang bekerja untuk urusan Negara, tiba-tiba anaknya datang dan mengetok pintu kamarnya. Umar mempersilahkan anaknya masuk, dan sebelum anaknya bicara sepatah katapun Umar bertanya, “Engkau mau membicarakan urusan pribadi atau urusan Negara wahai anakku?”
“Urusan pribadi, ayahnda.” Jawab sang anak. Kemudian Umar langsung mematikan lampu di mejanya dan mempersilahkan anaknya bicara.
“Kenapa lampunya dimatikan ayahnda?” tanya anaknya heran.
“Lampu ini minyaknya dibiayai oleh negara. Kalau sekarang kita akan membicarakan urusan pribadi, kita tak pantas menggunakan lampu yang minyaknya dibayar oleh Negara ini.” Jawab Umar jelas dan tegas pada anaknya.
Begitu bertanggungjawabnya mereka terhadap setiap sen uang ummat yang harus mereka pergunakan. Begitu berhati-hatinya mereka memilah urusan pribadi dan Negara, sehingga mereka takut sekali kalau sampai memakai barang yang subhat, barang yang jelas bukan miliknya untuk keperluan pribadi.
Bahkan Abu Bakar Siddiq ketika menjadi khalifah, enggan menerima gajinya yang dibayarkan dari Baitul Mal, dan ia lebih suka memenuhi nafkah keluarganya dengan berdagang kain. Tapi Umar bin Khattab memaksanya untuk menerima gaji dari Baitul Mal dan berhenti berdagang agar dia bisa konsentrasi mengurus ummat.
Abu Bakar keberatan dengan jumlah gaji yang diterimanya yang dianggap terlalu besar. Ia khawatir telah memakan uang ummat terlalu banyak. Karena itu menjelang akhir hayatnya ia berwasiat kepada putrinya agar mewaqafkan kebun kormanya untuk mengganti uang tunjangan dari Baitul mal yang selama ini diberikan padanya. Katanya, “Aku tak ingin mengambil apapun dari Baitul mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil uang tunjangan agar aku tidak disibukkan oleh perdaganganku untuk mengurus keadaan kaum Muslimin. Aku tidak mempunyai pilihan lain, sehingga aku terpaksa menerimanya. Karena itu kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti dari apa-apa yang kuterima selama ini.”
Ketika Abu Bakar meninggal dunia, Aisyah r.a. menyuruh orang untuk menemui Umar r.a. dan sesuai dengan wasiat ayahnya, Aisyah memberikan kebun tersebut. Umar berkata, “ Semoga Allah SWT merahmati ayahmu. Dia tidak memberi peluang pada siapapun untuk mengikutinya.” ( Kisah dari Kitabul Amwal, dikutip dari kitab Fadhail ‘Amal, Pustaka Ramadhan, 1993).
Demikian Sahabat dan negarawan memberi contoh, bagaimana dengan pejabat kita sekarang ini? Banyak fasilitas negara, mobil dinas, telpon kantor dipakai untuk keperluan pribadi. Mobil dinas berplat merah dibawa mengantar istrinya belanja, ke arisan, dibawa anaknya keluyuran, jalan-jalan, dan bensinnya ditanggung oleh negara.
Bagaimana pertanggungjawabannya? Tak ada pertanggungjawaban. Memang sudah begitu seharusnya jadi pejabat. Dan itu bukan korupsi. Maksudnya tidak dianggap korupsi. Kenapa? Karena banyak orang juga melakukannya. Betapa entengnya kita memakai sesuatu yang jelas bukan hak kita. Sesuatu yang jelas-jelas milik publik dan harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Kita dengan mudah mengaburkan garis demarkasi antara yang hak kita dan yang bukan hak kita.
Untuk semua itu, pasti ada pembenarannya. Kita lebih condong melakukan itu daripada berhati-hati dan berusaha menjauhinya. Mendekati sesuatu yang subhat pada akhirnya sama dengan bermain-main di pinggir jurang kebathilan. Tinggal menunggu waktu untuk tergelincir ke dalam kebathilan yang sesungguhnya. Korupsi yang sesungguhnya, dan kesesatan yang dalam.
Dalam hadist yang sangat populer Rasullullah SAW dengan jelas menyampaikan hal ini kepada kita. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir r.a: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda – Nukman berkata sambil mengulurkan kedua jari-jari tangan ke telinganya, memberi isyarat bahwa dia mendengar langsung hal ini dari Rasulullah SAW. “Sesungguhnya, perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas, sedang di antara halal dan haram banyak perkara yang diragukan hukumnya (halal atau haram), yang banyak orang tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dirinya  untuk tidak melakukan perkara yang diragukan, dia menyucikan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang diragukan, dia terjerumus ke dalam perkara haram, yaitu seperti pengembala yang mengembalakan ternak di tepi tanah larangan, hampir saja dia terjerumus ke dalam tanah terlarang itu. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja mempunyai larangan (yang tidak boleh didekati), sedangkan larangan Allah adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka jeleklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati. (5: 50-51 – Shahih Muslim).


Flowchart: Sequential Access Storage: Kiat 1: Jauhi perkara yang subhat. Jangan berusaha mencari-cari pembenaran untuk memiliki sesuatu yang jelas-jelas bukan hak anda
 


Foto Taufiq Tan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency