BAB I: Buku Obat Anti Korupsi
BAB I : Buku Obat
Anti Korupsi
Suherman duduk bersama Agus di deretan bangku tunggu
stasiun kereta Lempuyangan. Ada banyak penumpang yang
berjejer di bangku itu untuk menunggu kereta yang sama menuju Bandung . Ketika menaruh tasnya di bawah,
Suherman melihat selembar uang lima
ribuan tergeletak begitu saja. Ia pungut uang itu dan ia menoleh ke kiri dan
kanan.
“Ini uang bapak?” katanya pada lelaki yang duduk di
sebelahnya. Kemudian sesaat laki-laki itu merogoh kantong celananya, melihat
isi kantong bajunya, kemudian menggeleng. “Bukan.” Lantas pada ibu yang duduk
di sebelahnya lagi. “Ini uang ibu yang jatuh?” Tanya Suherman. Ibu itu menoleh
sesaat kemudian menggeleng. “Bukan.”
Ke semua orang yang duduk di deretan bangku itu, bahkan
ke seorang cewek cantik yang duduk di deretan paling pojok Suherman menanyakan,
siapa yang kehilangan uang lima
ribu rupiah. Tapi tak satupun yang mengaku sebagai pemiliknya. Suherman
bingung, mau diapakan uang lima
ribu rupiah itu. Akhirnya kebetulan seorang pengemis lewat dan Suherman
memasukkan uang lima
ribu itu ke kantong plastik si pengemis dengan niat sedekah atas nama yang
punya uang.
Agus yang dari tadi melihat tingkah sahabatnya hanya
tersenyum. Ia kagum dengan kebaikan sahabatnya itu. Di atas kereta Agus
menanyakan (tepatnya menguji) Suherman bagaimana seandainya kalau uang yang
ditemukan itu bukan lima
ribu rupiah, tapi limapuluh ribu rupiah.
“Saya akan cari pemiliknya dan akan saya berikan.”
“Kalau uang itu seratus ribu rupiah?” kejar Agus lagi.
Suherman terdiam sejenak, “tetap akan saya kembalikan.”
“Kalau uang itu satu juta rupiah?” kejar Agus lagi.
“Hmm, satu juta ya!” Ulang Suherman.
“Kalau sepuluh juta?” kejar Agus tanpa menunggu jawaban
sahabatnya itu. Kelihatan Suherman kebingungan, belum sempat ia berpiir tentang
uang satu juta, sekarang ia harus
membayangkan uang sepuluh juta itu seperti apa. “Wooow! Itu banyak sekali,
Gus,” katanya berbinar-binar.
“Iya, bagaimana kalau kamu menemukannya? Apakah kamu
akan mengumumkannya seperti kamu dapat uang lima ribu tadi?”
“Ya nggak lah Gus, itu konyol namanya. Pasti semua orang
akan mengaku sebagai pemiliknya. Kamupun pasti akan berpikir demikian, Gus.
Kita tak bisa gegabah, kita harus hati-hati, bisa-bisa kita memberikan uang itu
pada orang yang salah. Kita harus teliti dulu, seperti apa uang itu. Pecahan
limapuluh ribuan atau seratus ribuan, diikat dengan bandrol bank atau dengan
karet, disimpan dalam tas apa, Warna tasnya apa. Terus kalau ada yang mengaku
kehilangan, kapan kehilangannya, di mana, antara jam berapa sampai jam berapa.”
Suherman menyampaikan sederet syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
mengaku sebagai pemiliknya. Agus hanya mendengus mendengar cerocos sahabatnya
itu sambil melihat ke luar jendela.
“Kalau tidak ada yang memenuhi syarat?” Kejar agus lagi.
“Ya….ya…, gimana ya..!” Suherman gelagapan. “Terpaksa
aku simpan sendiri,” jawabnya cengengesan. Agus terbahak mendengar jawaban
Suherman.
“Kenapa tidak disedekahkan pada pengemis seperti kamu
menyedekahkan uang limaribu rupiah? Niatkan untuk yang punya uang, kan pahalanya banyak,
toh itu juga bukan uangmu.” Sindir Agus.
“Ya tidak begitu, Gus. Keenakan yang menerima
sedekahnya. Sedekah cukup dua setengah persen saja. Kan itu namanya barang temuan, Gus. Luqatoh. Yang menemukan berhak
memilikinya kalau setelah diumumkan ternyata tak ada yang benar-benar sah
menjadi pemiliknya. Aturannya ada, Gus. Hukumnya ada.”
“Tapi itu jelas
bukan uangmu, Man. ”
“Benar, tapi aturannya aku boleh memiliki. Itu sah.”
Kemudian dua sahabat ini terlibat perdebatan yang
panjang di atas kereta. Memperdebatkan tentang “seandainya” mereka menemukan
uang sepuluh juta rupiah. Suherman
menganggap tak ada masalah seandainya ia dapat uang sepuluh juta dan
menyimpannya setelah tak ada orang yang benar-benar meyakinkan sebagai
pemiliknya. Tapi Agus menganggap Suherman tidak konsisten. Ternyata kejujuran
Suherman hanya sampai angka seratus ribu rupiah. Atau mungkin cuma sampai
sepuluh ribu rupiah saja. Di atas itu Suherman akan mencari pembenaran untuk
memilikinya.
Ternyata menemukan uang sepuluh juta rupiah tidak sesederhana
menemukan uang lima
ribu rupiah. Menyedekahkan uang temuan sepuluh juta tidak seringan
menyedekahkan uang lima
ribu rupiah, meski itu sama-sama uang temuan.
Saya kira di sinilah letak masalahnya. Banyak orang
mencari pembenaran terhadap perbuatan yang menguntungkan dirinya. Ada seribu alasan bisa
dibuat untuk melegitimasi sebuah perbuatan yang mungkin sudah menyimpang. Baik
itu legitimasi hukum ataupun legitimasi agama. Bahkan ada yang mendatangi kyai
untuk menanyakan hal itu. Meminta legitimasi syari’ah untuk dapat menenangkan pertentangan
batin dalam diri.
Lantas pertanyaannya, apa hubungannya menemukan uang
sepuluh juta dengan korupsi? Ya, saya kira itu pertanyaan cerdas selanjutnya,
dan itulah topik yang akan kita bicarakan dalam bab ini. Hubungan secara
langsung mungkin tidak ada. Menemukan uang dengan korupsi adalah dua masalah
yang berbeda. Tapi ada suasana, sikap dan cara berpikir yang hampir sama dari
keduanya, yakni sikap “mencari pembenaran”.
Apa yang dialami
oleh orang yang baru mengenal korupsi tidak jauh berbeda dengan orang yang
menemukan uang sepuluh juta seperti cerita di atas. Pertama datang kesempatan
yang tak disangka-sangka. Ada
orang yang menghampiri mejanya, menawarkan sekoper uang dan meminta imbalan
yang ringan. Mungkin hanya sebuah persetujuan, atau sebuah tanda tangan, atau
juga satu suara untuk sebuah pemilihan. Apa yang terjadi dengan orang yang
mendapatkan tawaran itu? Yang baru pertama kali mungkin akan mengalami
pertentangan batin, pikiran baik dan buruk saling berbantah-bantahan dengan
diri sendiri. Hingga kemudian yang muncul adalah sebuah argumen. Ada sebuah pembenaran
sehingga sesuatu yang tadinya tidak pantas bisa saja dianggap pantas. Sesuatu
yang tadinya tercela bisa saja dianggap biasa. Saat pembenaran itu datang dalam
dirinya, saat itulah dia mulai jadi tikus.
Untuk sampai pada korupsi, ada proses yang terjadi dalam
diri seseorang, yang pelan tapi pasti akan menyeretnya jadi koruptor. Skema ini
mungkin bisa membuat kita lebih mudah memahaminya;
Saat kesempatan datang dan pergolakan batin terjadi dalam
diri, korupsi dan tidak adalah pilihan. Tergantung pada pikiran mana yang
berkembang dalam diri kita. Ada
dua hal saja yang mungkin berkecamuk dalam diri kita. Mencari pembenaran atau
memikirkan resiko yang menakutkan.
Kalau seorang yang sedang berhadapan dengan kesempatan
korupsi, kemudian memikirkan bahwa ini adalah peluang, kesempatan yang tak
mungkin datang dua kali, semua orang juga melakukannya, ini bukan korupsi, tapi
imbalan yang pantas untuk sebuah tanggungjawab, toh tak merugikan siapapun,
hanya satu suara, satu tandatangan, satu statemen yang tak berarti apa-apa
terhadap keberlansungan dunia. Tak akan mengancam stabilitas bangsa dan negara,
tak akan menodai agama. Toh semuanya berlangsung atas dasar suka sama suka.
Ikhlas sama ikhlas. Tak ada yang dirugikan. Tak ada yang salah, anggap saja tak terjadi
apa-apa, setelah itu semua akan berjalan seperti biasanya. Dan lain-lain, dan
lain-lain. Kalau pikiran seperti ini yang berkembang saat mendapat kesempatan
itu, bisa dipastikan 99,9% dia akan korup. Kenapa? karena dia sedang mencari
pembenaran atas rencana korupsinya.
Tapi kalau yang dia pikirkan resiko, takut dengan
konsekwensi dan tak ingin malu kalau ketahuan dan di-ekspose di media massa ,
tetangganya tahu, orang di kampungnya tahu, semua sanak famili juga tahu akan
perbuatan korupsinya. Di mana muka ini akan ditarok, mungkin konsekwensinya dipecat
dari jabatan, dijauhi dari pergaulan, dikucilkan dari kehidupan sosial. Disindir
dan diejek dalam setiap pertemuan, dan mungkin akibat yang paling menakutkan
adalah dipenjara di sel yang pengap.
Jelas ini konsekiwensi yang buruk. Mereka yang ingin
melakukan korupsi harus berpikir dua kali. Kalau tidak yakin siap menerima
konsekwensinya, mereka harus mempertebal ketakutan dalam diri jika tidak ingin
kehilangan kehidupannya sekarang ini hanya karena sebuah perbuatan tercela yang
akan menjerumuskan dirinya ke dasar kehinaan. Ada banyak resiko terburuk yang harus
dipikirkan seseorang sebelum berbuat korupsi, mulai dari berantakannya
kehidupan keluarga hingga berantakannya kehidupan sosial.
Itu baru resiko di dunia, belum lagi ancaman Allah di
akhirat, yakni neraka jahannan yang akan melumat tubuh manusia. Karena itu
hendaklah pertebal ketakutan kepada Allah. Hardik diri kita sendiri seakan-akan
Allah menghardik tepat di daun telinga kita. Kalau nama saudara Sulaiman misalnya,
teriakkan pada diri saudara, “Ngapain kau Sulaiman! Korupsi kau Sulaiman! Ha!
Korupsi kau! Menerima uang haram kau Sulaiman! Uang haram itu yang akan kau
berikan untuk makan anak istrimu! Uang haram itu akan kau jadikan darah daging
keluargamu! Celaka kau Sulaiman! Akan Kubuat sengsara hidupmu Sulaiman! Akan
Kulempar ke neraka kau! Kulempar ke kerak neraka kau bersama keluargamu
Sulaiman!!...”
Saudari boleh mendesiskan ini pada diri sendiri, atau
menggumamkannya pelan-pelan, atau meneriakkannya sekeras mungkin sampai saudara
menggigil ketakutan. Untuk ini saudara harus takut. Atau buat diri saudara
takut setakut-takutnya hingga tak ada celah dalam pikiran saudara untuk
melakukannya.
Di luar semua itu, perbanyaklah beristighfar, banyak berdoa
agar Allah melindungi kita dari segala hal yang kita tak punya kuasa untuk
melawannya. Dari rasa sesak dan gelisah, dari kelemahan dan kemalasan, dari sikap
pengecut dan kikir. Dan dari lilitan hutang dan dominasi manusia (salah satu
doa dalam alma’tsurat).
Jadi penting bagi kita menjauhkan diri dari hal-hal yang
subhat. Hal yang kita ragu akan kebaikan dan manfaatnya. Saat kita tergoda
untuk mendekatinya, segera takut-takuti diri kita dengan resiko besar yang akan
mengancam. Setiap kali kita tergoda untuk korupsi, setiap itu pula hendaknya
kita memikirkan resiko terbesar yang pasti
kita terima, di dunia maupun di akhirat.
Karena sekali kita berpikir untuk mencari pembenaran,
maka sejak itulah kita akan berjalan dengan logika sendiri. Kita tidak akan
peduli dengan logika-logika orang lain di sekeliling kita. Karenanya banyak
orang yang dituntut korupsi tapi tidak merasa korupsi. Karena logika dan cara
pandangnya memang sudah tidak sama. Dalam logikanya barangkali dua dikali dua
bisa saja menjadi enam, tujuh atau sembilan. Tapi tidak bagi orang lain.
Saya punya seorang teman pegawai Pemda sebuah Kota di
Sumatera. Sekali waktu ia tugas dinas ke Jakarta .
Selama dinas itu ia menginap di rumah saudaranya di Bekasi, padahal kantor
memberinya anggaran untuk penginapan seharga hotel bintang dua, sekitar Rp.
350.000/hari. Kali enam hari, total Rp. 2.100.000,- ditambah uang saku Rp.
250.000/hari, kali enam hari jadi Rp. 1.500.000. berarti dalam satu kali
perjalanan dinas itu ia mengantongi Rp. 3.600.000,- di luar biaya transportasi,
tiket pesawat dan lain-lain.
Bagaimana pertanggungjawabannya dengan uang sejumlah
itu? Ini yang menarik. Teman itu punya cara pandang yang lain. Kantor telah
memberinya uang sejumlah Rp. 3.600.000,- untuk biaya dinas ke luar kota dengan segala
estimasi kebutuhannya. Berarti uang itu di bawah otoritasnya untuk menggunakan.
Kalau misalnya biaya penginapan bisa ia tekan menjadi Rp. 150.000/hari, atau
tidak ada sama sekali, misalnya dia tidur di masjid atau di tempat saudara. Dia
tidak menikmati fasilitas yang semestinya di dapatkan dalam perjalanan dinas
tersebut. Kalau begitu, menurut teman ini, dia berhak untuk mengantongi selisih
dari biaya penginapan itu.
Kemudian ia menganalogikan pada saya. Misalnya, kita
menyuruh dua orang anak kecil belanja sayur ke pasar. Masing-masing kita kasih
uang lima ribu
rupiah. Anak yang pertama ke pasar naik ojek pulang pergi, menghabiskan ongkos
Rp. 2.000,- Anak yang kedua pergi dan kembali dengan berjalan kaki. Keduanya
pulang dengan membawa sayur ke rumah. Atas jerih payah dan penderitaannya
berjalan kaki, anak kedua ini berhak dong,
membelanjakan ongkos yang semestinya ia bayarkan sebesar Rp. 2.000,-untuk
membeli es krim atau cendol. Toh ia sudah menanggung penderitaan dengan
mengorbankan dirinya berjalan kaki. Haus dan lapar. Bukankah itu adil?
Argumennya boleh juga. Tapi mungkin kawan ini lupa,
bahwa kualitas optimal juga diperlukan dalam menjalankan tugas. Negara sudah
membiayainya dengan standar fasilitas tertentu. Transportasi dengan pesawat,
menginap di hotel bintang dua. Itu agar dia bisa menjalankan tugas dengan
optimal. Tapi di tempat saudaranya apakah dia bisa mendapatkan kenyamanan yang
sama dengan fasilitas yang disediakan kantor? Ini persoalannya. Dengan tinggal
di bekasi ia sudah mendapatkan persoalan, transportasi yang macet, kemungkinan
terlambat, serta kelelahan di perjalanan. Ini membuat dia tidak akan optimal menjalankan
tugasnya. Belum lagi seandainya di tempat saudaranya ia harus menimba air
sebelum mandi, tidur di tikar hingga membuat badan pegal-pegal dan kembung
masuk angin. Sakit. Tugas tak tertunaikan dengan baik. Nah, kalau begitu
kejadiannya, apa negara tidak rugi? Jangan kira hal seperti ini bukan korupsi.
Tapi yang namanya cara pandang memang sulit dirubah. Akan
selalu ada pembenaran untuk melakukannya. Kata teman itu hampir semua orang di
daerah melakukan hal semacam itu. Setiap melakukan perjalanan dinas, mereka
melakukan “pensiasatan” agar bisa mengantongi sisa uang perjalanan untuk
kebutuhan pribadi. Membeli oleh-oleh dan sisanya disimpan untuk keperluan
keluarga. “Kalau tidak pandai-pandai mensiasati, bisa melarat kita,” katanya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita? Ini yang saya
sebut dengan “penyimpangan yang sudah sangat biasa.” Semua orang melakukannya
dan itu tak dianggap tercela. Suatu kejanggalan lagi dari masalah ini, kata
kawan itu ia tidak perlu melaporkan lagi biaya perjalanan dinasnya, karena
sudah dianggap terpakai sebanyak itu. Kalaupun ada hanya sebatas formalitas
saja. Inilah yang menjadi keanehan, yakni ketika estimasi secara otomatis menjadi real cost yang tidak perlu dipertanggungjawabkan karena memang tak
pernah ada sisa.
Bagian keuangan mengeluarkan dana perjalanan dinas
sebesar Rp. 3.600.000,- berdasarkan estimasi kebutuhannya selama bertugas. Real cost adalah biaya yang dipakai
selama dinas itu. Seharusnya pemakaiannya dipertanggungjawabkan. Kalau sisa,
mestinya harus dikembalikan. Tapi anehnya, kalau sisa biasanya didiamkan,
dianggap inpas. Tapi kalau kurang, mereka akan mengurus klaimnya, meminta bon
untuk tagihan pada bagian keuangan setelah pulang ke daerah.
Kalau sisa uang dinas harus dikembalikan, pasti semua
fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin, tidak akan ada korupsi
terhadap kualitas kerja, pengempitan uang dinas untuk dikantongi sendiri.
Apalagi untuk membeli oleh-oleh yang berlebihan untuk keluarga, tetangga dan
sanak famili dengan uang dinas. Sangat tidak pantas. Coba bayangkan, Negara
harus menanggung biaya oleh-oleh untuk keluarga anda?
Meluruskan hal-hal semacam ini sekarang kedengarannya
seperti utopia, kenapa? Karena sudah sangat biasa dalam kehidupan kita. Tapi
itu bukan tak mungkin. Negarawan kita Mr. Muhammad Hatta telah memberikan
contoh yang baik pada kita. Setiap pulang dinas dari luar negeri, beliau selalu
mengembalikan sisa uang perjalanannya (termasuk uang saku) ke kas negara. Itulah
bentuk pertanggungjawabannya sebagai seorang pemimpin terhadap uang rakyat.
Amirul Mukminin, Khalifah Umar juga meninggalkan contoh
yang baik pada kita berkenaan dengan kehati-hatian ini. Suatu malam saat ia
sedang bekerja untuk urusan Negara, tiba-tiba anaknya datang dan mengetok pintu
kamarnya. Umar mempersilahkan anaknya masuk, dan sebelum anaknya bicara sepatah
katapun Umar bertanya, “Engkau mau membicarakan urusan pribadi atau urusan
Negara wahai anakku?”
“Urusan pribadi, ayahnda.” Jawab sang anak. Kemudian
Umar langsung mematikan lampu di mejanya dan mempersilahkan anaknya bicara.
“Kenapa lampunya dimatikan ayahnda?” tanya anaknya
heran.
“Lampu ini minyaknya dibiayai oleh
negara. Kalau sekarang kita akan membicarakan urusan pribadi, kita tak pantas
menggunakan lampu yang minyaknya dibayar oleh Negara ini.” Jawab Umar jelas dan
tegas pada anaknya.
Begitu bertanggungjawabnya mereka terhadap setiap sen
uang ummat yang harus mereka pergunakan. Begitu berhati-hatinya mereka memilah
urusan pribadi dan Negara, sehingga mereka takut sekali kalau sampai memakai barang
yang subhat, barang yang jelas bukan miliknya untuk keperluan pribadi.
Bahkan Abu Bakar Siddiq ketika menjadi khalifah, enggan
menerima gajinya yang dibayarkan dari Baitul Mal, dan ia lebih suka memenuhi
nafkah keluarganya dengan berdagang kain. Tapi Umar bin Khattab memaksanya
untuk menerima gaji dari Baitul Mal dan berhenti berdagang agar dia bisa
konsentrasi mengurus ummat.
Abu Bakar keberatan dengan jumlah gaji yang diterimanya
yang dianggap terlalu besar. Ia khawatir telah memakan uang ummat terlalu
banyak. Karena itu menjelang akhir hayatnya ia berwasiat kepada putrinya agar
mewaqafkan kebun kormanya untuk mengganti uang tunjangan dari Baitul mal yang
selama ini diberikan padanya. Katanya, “Aku tak ingin mengambil apapun dari
Baitul mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil uang tunjangan agar
aku tidak disibukkan oleh perdaganganku untuk mengurus keadaan kaum Muslimin.
Aku tidak mempunyai pilihan lain, sehingga aku terpaksa menerimanya. Karena itu
kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti dari apa-apa yang
kuterima selama ini.”
Ketika Abu Bakar meninggal dunia, Aisyah r.a. menyuruh
orang untuk menemui Umar r.a. dan sesuai dengan wasiat ayahnya, Aisyah
memberikan kebun tersebut. Umar berkata, “ Semoga Allah SWT merahmati ayahmu.
Dia tidak memberi peluang pada siapapun untuk mengikutinya.” ( Kisah dari Kitabul Amwal, dikutip dari kitab Fadhail ‘Amal, Pustaka Ramadhan, 1993).
Demikian Sahabat dan negarawan memberi contoh, bagaimana
dengan pejabat kita sekarang ini? Banyak fasilitas negara, mobil dinas, telpon
kantor dipakai untuk keperluan pribadi. Mobil dinas berplat merah dibawa
mengantar istrinya belanja, ke arisan, dibawa anaknya keluyuran, jalan-jalan,
dan bensinnya ditanggung oleh negara.
Bagaimana pertanggungjawabannya? Tak ada
pertanggungjawaban. Memang sudah begitu seharusnya jadi pejabat. Dan itu bukan
korupsi. Maksudnya tidak dianggap korupsi. Kenapa? Karena banyak orang juga
melakukannya. Betapa entengnya kita memakai sesuatu yang jelas bukan hak kita.
Sesuatu yang jelas-jelas milik publik dan harus dipertanggungjawabkan
penggunaannya. Kita dengan mudah mengaburkan garis demarkasi antara yang hak
kita dan yang bukan hak kita.
Untuk semua itu, pasti ada pembenarannya. Kita lebih
condong melakukan itu daripada berhati-hati dan berusaha menjauhinya. Mendekati
sesuatu yang subhat pada akhirnya sama dengan bermain-main di pinggir jurang
kebathilan. Tinggal menunggu waktu untuk tergelincir ke dalam kebathilan yang
sesungguhnya. Korupsi yang sesungguhnya, dan kesesatan yang dalam.
Dalam hadist yang sangat populer Rasullullah SAW dengan
jelas menyampaikan hal ini kepada kita. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir
r.a: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda – Nukman berkata sambil mengulurkan
kedua jari-jari tangan ke telinganya, memberi isyarat bahwa dia mendengar
langsung hal ini dari Rasulullah SAW. “Sesungguhnya, perkara halal itu jelas,
dan perkara haram itu jelas, sedang di antara halal dan haram banyak perkara
yang diragukan hukumnya (halal atau haram), yang banyak orang tidak
mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dirinya untuk tidak melakukan perkara yang diragukan,
dia menyucikan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus dalam
perkara yang diragukan, dia terjerumus ke dalam perkara haram, yaitu seperti
pengembala yang mengembalakan ternak di tepi tanah larangan, hampir saja dia
terjerumus ke dalam tanah terlarang itu. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja
mempunyai larangan (yang tidak boleh didekati), sedangkan larangan Allah adalah
perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh
manusia ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka baiklah tubuh
seluruhnya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka jeleklah tubuh
seluruhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati. (5: 50-51 – Shahih Muslim).
Komentar
Posting Komentar