Mati Muda
MATI MUDA
Oleh Taufiqurrahman*
Seorang filsuf Yunani mengatakan, “...bahagialah mereka yang
mati muda.“ Sebuah ungkapan yang sulit dibuktikan namun menarik
diperbincangkan, karena tidak seorangpun mereka yang mati muda memberikan
testimoninya kepada kita yang masih hidup apakah dia bahagia atau tidak –dengan
mati mudanya itu-.
Kalau boleh dikata, sepertinya ungkapan
ini sebentuk kecemburuan orang yang hidup –dan berangsur tua- terhadap mereka yang mati muda. Mereka yang
mati muda dengan sepotong bait puisi, yang kemudian setelah kematianya sepotong
bait puisi itu dibaca orang sepanjang masa. Atau terhadap mereka yang mati muda
dalam sebuah moment heroik, demonstrasi, gerakan massa dan semacamnya, kemudian di setiap tahun orang menabur bunga
di tempat kejadian yang bersejarah itu untuk mengenang kematiannya. Atau mereka
yang mati muda setelah meluncurkan album lagu-lagu hits, dan lagu-lagu itu melegenda hingga dilantunkan oleh para penggemar di sepanjang
masa.
Kita bisa menyebut sederet nama
untuk mereka yang mati muda seperti ini, sebut saja Khairil Anwar, Che Guavara,
Soe Hok Gie, Nike Ardilla, John Lennon dll. Tak peduli seperti apa atau dengan
cara apa mereka mati, tapi kematian di moment yang tepat telah mengantarkan
mereka menjadi sosok-sosok yang
dikagumi banyak orang.
Terus, apa yang menarik dari mati
muda? Entahlah, yang pasti mereka yang mati muda pergi dengan meninggalkan
misteri bagi mereka yang hidup, misteri tentang perjuangan yang belum selesai,
tentang tugas-tugas yang belum tuntas, tentang akhir perjuangan yang masih
panjang. Karena itu mereka yang masih hidup sering berspekulasi terhadap mereka
yang mati muda, terutama dalam dua hal. Pertama, tentang sebab-sebab kematian,
apalagi bila sebab itu masih berselimut teka-teki dan penuh ketidakjelasan.
Terkadang hal ini bisa menjadi perbincangan yang tak berkesudahan. Kedua, orang
sering berandai-andai jika tokoh yang mati muda itu masih hidup, jadi apa dia
sekarang? Di Inggris orang selalu berfantasi seandainya Lady Diana masih hidup
sampai sekarang, apa yang akan terjadi terhadap kerajaan Inggris? Atau di Indonesia
orang sering berfantasi jika Tan Malaka berumur lebih panjang, seperti apa
sejarah Indonesia ini?
Namun bisa juga kita membuat
pengandaian sebaliknya, bagaimana jika Amin Rais gugur dalam demo menggulingkan
Soeharta tahun 1998? Atau bung Hariman Siregar Tewas dalam kasus Malari, atau Budiman
Sujatmiko mati ketika dia masih memimpin Partai Rakyat Demokratik (PRD) waktu
mahasiswa dulu, mereka adalah orang-orang hebat di zaman yang hebat. Kalau
boleh berandai-andai, seandainya mereka mati di usia muda, saat perjuangan
berada dipuncaknya, maka pastilah mereka sudah menjadi legenda sekarang ini.
Tapi takdir memberi mereka umur panjang dan seiring waktu mereka memudar di
tengah hiruk pikuk zaman.
Hidup dan kematian memang tidak bisa
ditakar-takar. Semua fantasi dan pengandaian-pengandaian ini tentu saja hanya
menjadi asumsi-asumsi belaka untuk mengobati rasa penasaran mereka yang hidup. Kalau
kita berpijak pada teori kemungkinan (Probability),
maka bisa jadi mereka yang mati muda dan melegenda sekarang bukan siapa siapa
lagi jika seandainya dia berumur panjang, kenapa? Karena tidak ada lagi misteri
di sana. Sejalan dengan panjangnya umur seseorang, sesuatu yang menjadi misteri
dari sebuah peristiwa lambat laun akan terkuak, karena di usia tua orang lebih
sering ingin menceritakan kisah perjalanan hidupnya kepada orang lain. Artinya
sesuatu yang selama ini misteri menjadi tidak misteri lagi. Buktinya bisa kita
lihat banyaknya memoar dan otobiografi dari tokoh-tokoh kita dengan mengambil
momentum 60 tahun, 70 tahun, atau 80 tahun usianya untuk mengungkap sisi-sisi
tersembunyi dari perjalanan hidupnya.
Haruskah Mati Muda
Mereka yang mengagumi mati muda
sepertinya terjebak dalam cara pandang terhadap siklus umur, kanak-kanak, muda,
dan tua. Kanak-kanak bahagia, muda mempesona, dan tua tidak berguna. Menjadi
tua dianggap sebagai fase hidup yang menakutkan sekaligus menyedihkan. Karena
itu tidak jarang mereka menghindari berada pada usia tidak berguna ini dengan
cara yang ekstreem –bunuh diri, over dosis dan lain sebagainya-. Ungkapan
filsuf Yunani seperti di atas -Nasib Terbaik
adalah Tidak Dilahirkan, yang Kedua Dilahirkan tapi Mati Muda, dan yang Tersial
adalah Umur Tua, Rasa-rasanya
Memang Begitu; Maka Bahagialah
Mereka yang Mati Muda- adalah
sebuah refleksi sederhana ketika hidup hanya dilihat sebatas siklus. Padahal
dalam Islam hidup yang baik tidak dilihat dari umur, tapi dilihat dari amal. Sebaik-baik
orang adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya, dan seburuk-buruk orang
adalah yang panjang umurnya dan buruk amal perbuatannya.
Inilah hal yang mendasar yang
diingatkan Islam kepada kita, bahwa kehidupan tidak berfokus pada umur, tapi
pada amal. Orang akan bahagia atau tidak setelah kematiannya tidak ditentukan
apakah dia mati muda atau mati tua, tapi apakah amalnya baik atau tidak.
Sedangkan kematian itu adalah hak Allah, yang menentukan kapan ajal akan
diakhiri, dan dengan cara apa ajal ini
disudahi -Husnul khotimah atau Suulkhotimah-.
Kontroversi
Kepergian Husni Kamil Manik (HKM) dalam
usia yang relatif muda (41 tahun) memang
menyisakan tanda tanya bagi banyak orang. Kontroversipun bermunculan terkait
kematiannya yang mendadak, kemudian dihubung-hubungkan dengan pekerjaan beliau
sebagai penyelenggara pemilu. Apapun
yang dirumorkan di luar sana, hal itu merupakan konsekwensi logis dari
keberadaan beliau sebagai tokoh publik.
Jadi menurut saya tak ada yang salah dengan kontroversi. Bahkan menurut saya, kalau
seseorang yang sudah mati masih diperbincangkan kesalahannya dan kebaikannya,
maka tidak diragukan lagi bahwa dia orang besar. Dia orang yang pernah berbuat
dan melakukan sesuatu yang besar. Jadi kenapa kita harus alergi dengan segala
kontroversi?
Saya tertarik untuk menulis
sekelumit hal tentang HKM, bukan karena saya sahabat dekat atau semacamnya. Secara
pribadi saya tidak punya kenangan khusus dengan almarhum baik dalam pergaulan
pribadi maupun dalam relasi kerja. Saya hanya seorang sahabat jauh yang –diam
diam- melihat dari jauh. Melihat perjalanan seorang HKM dari daerah menuju
Jakarta, semuanya seperti drama singkat yang memukau semua orang. Ibarat
Panggung pertunjukan, aksinya membuat semua penonton terkesima. Dia tidak hanya
melangkah dan berlari, tapi dia melompat, bersalto, dan tiba-tiba dia berdiri
di tengah panggung yang disaksikan jutaan mata manusia. Tiba-tiba dia berada
dalam sorotan kamera, berakrobat, dan ucapannya dikutip di mana-mana.
Saya melihat, sungguh tangan Tuhan
telah mengangkatnya ke sana. Sebagai Sang Pengatur dan Skenario terbaik, Allah
tahu kapan pentas ini dimulai dan kapan diakhiri. Ketika jutaan mata penonton
masih mengarah ke panggung, ketika sorot kamera masih mengarah ke aktor utama.
Tiba-tiba sang aktor menghilang dari panggung. Allah mengambilnya saat pentas
belum betul-betul berakhir, meninggalkan para musuh dengan pedang terhunus,
musuh yang kebingungan, musuh yang kehilangan lawan bertanding, dan penonton
yang bertanya-tanya dengan mulut ternganga, “kemana perginya sang aktor?”. Sungguh
hidup adalah sebuah keajaiban. Dalam hal ini saya bersetuju, bahagialah mereka
yang mati muda.***
*Penulis adalah
Ketua KPU Sijunjung-Sumatera Barat
Komentar
Posting Komentar