BAB Pembuka: Buku Obat Anti Korupsi

Pembuka
Seorang sopir metro mini jurusan Tanah Abang bernama Amran selalu menampakkan wajah geramnya setiap kali melewati jalan Protokol. Sambil telunjuknya menuding-nuding ke sebuah gedung yang merupakan kantor sebuah departemen pemerintah. “Di sana itu mas, sarang korupsi itu. Di sono no..!” dengan mulutnya monyong menunjuk ke seberang jalan.
Saya melongok ke arah yang diisyaratkan, dan saya hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Memang beberapa minggu ini media menyorot kasus korupsi yang memalukan di departemen tersebut. Korupsi besar-besaran yang melibatkan beberapa pejabat eselon satu dengan jumlah uang yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Tapi bukan kasus korupsi ini yang ingin saya sampaikan pada pembaca. Yang membuat saya takjub adalah melek politik seorang sopir seperti bapak Amran ini. Dia tidak hanya tahu, tapi juga peduli dan bahkan menunjukkan sikap tak senangnya terhadap korupsi. Saya pikir kasus-kasus korupsi seperti ini hanya menjadi kepedulian orang-orang intelek, mahasiswa atau aktivis anti korupsi. Jarang sekali seorang sopir ikut mikir masalah-masalah korupsi. Kalaupun ada, biasanya hanya yang menyangkut kehidupan mereka, pendapatan mereka atau lahan pekerjaan mereka, selain itu biasanya mereka tak ambil pusing.
Saya kira bapak Amran ini adalah pengecualiaan. Meski seorang sopir, saya yakin dia seorang pembaca koran, mungkin bukan hanya koran ecek-ecek yang berisi berita kriminal dan perkosaan. Tapi Koran nasional yang biasa dibaca oleh kalangan eksekutif dan intelektual, atau mungkin juga dia punya teman diskusi yang hebat di luar kehidupannya sebagai sopirnya.
Selama perjalanan dia menyerocos tentang korupsi di gedung itu, semua bacaan dan pengetahuannya dikeluarkan. Ia menyebut nama-nama, angka uang yang dikorupsi hingga proses persidangan yang sedang berlangsung. Sampai tak ada lagi yang bisa diceritakannya, saya tetap menjadi pendengar yang baik. Hingga kemudian pembicaraan beralih dari satu topik ke topik lain, dan akhirnya sampai ke topik pembicaraan yang biasa ditanyakan oleh penumpang tapi tidak disukai oleh sopir. Tentang pekerjaan dan pendapatan. Berapa trip dapat sehari? Berapa setoran tiap hari? Untuk bensin habis berapa? Untuk perawatan habis berapa? Seminggu narik berapa kali? Berikut sederetan pertanyaan yang mungkin sudah didengarnya berulang kali.
Akh, bagi seorang sopir menceritakan hal ini sama dengan menceritakan kesengsaraan sendiri. Biasanya mereka akan menjawab dengan decakan, atau dengan helaan nafas panjang, dan diawali dengan kata, “Susah mas!” BBM mahal, penumpang sepi, harga onderdil melambung. Narik hanya untuk lepas makan saja. Kalau tidak “pandai-pandai” bisa kerja bakti doank, badan capek hasilnya tak ada.
Nah, "pandai-pandai" yang dimaksudnya ini yang menarik. Maksudnya gimana sih Pak Amran? Kemudian da menceritakan panjang lebar. “Kalau mengandalkan sisa setoran saja nggak nutup, Mas. Enaknya kalau ada orang yang nyarter. Uangnya bersih masuk kantong, bensin nggak banyak habis, kemudian tinggal bilang sama bos hari ini nggak narik, mobil masuk bengkel, sebutkan kerusakannya. Katakan uang setoran setengah hari terpakai untuk servis. Lumayan untuk hidup seminggu. Kalau nggak begitu, sulit Mas. Mereka tambah kaya, kita tambah miskin.
“Kelakuan sopir memang begitu, mas. Kalau ikut aturannya perusahaan bisa nggak dapat apa-apa kita. Mereka nggak mau tahu kesulitan kita di jalan, pungutan ini dan itu di setiap pangkalan, uang ini lah uang itu lah. Makanya sesekali kita harus kucing-kucingan juga, harus kompak sama kernet, ntar  hasilnya bagi-bagi.”  
Akh pak Amran! dia menceritakan semua itu seperti sesuatu yang wajar saja. Sesuatu yang biasa terjadi di dunia persopiran. Sebuah lika-liku kehidupan seorang sopir. Sebuah akal-akalan yang lumrah untuk bisa menyisihkan sedikit keuntungan. Ini hanya cerita orang susah yang berjuang mempertahankan hidup. Hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk memperkaya diri. Hanya untuk uang yang sedikit, bukan uang yang bermilyar-milyar, dan itu tidak pantas disebut korupsi. Minimal bagi pak Amran yang sangat membenci korupsi, hal ini baginya bukanlah termasuk korupsi.
Bagi pak Amran korupsi tidak terjadi di sini, tidak di bis kotanya ini, tidak pula di terminal, di warteg, di warung kelontong, di pabrik-pabrik tempat ribuan pekerja memeras keringat. Korupsi itu terjadi di sana, di gedung-gedung bertingkat sana, dilakukan oleh para pejabat dan orang-orang berpangkaat. Orang-orang yang bermoral bejad dan tega menyengsarakan rakyat seperti dirinya.
Tidak. Ini sungguh saya sampaikan bahwa korupsi itu tidak hanya terjadi di sana. Korupsi itu juga terjadi di sini. Di hidup kita ini. Di keseharian kita yang sudah kita lakoni dengan sangat biasa. Tapi kita tak pernah menyadarinya. Karena itu sebelum menuduh, ada baiknya kita menengok ke dalam diri kita sendiri. Kita juga berpotensi sebagai subjek, bukan hanya objek. Siapapun kita. Sekecil apapun peran kita dalam hidup ini. Seremeh apapun pekerjaan yang kita lakukan, semua kita berpotensi untuk korupsi.
Karena banyaknya kasus korupsi yang besar-besar terkuak di layar informasi kita, kita jadi lupa dengan korupsi yang kecil-kecil yang terjadi di sekitar kita. Dalam kehidupan yang kita lewati dengan sangat wajar. Untuk itulah buku yang ada di tangan pembaca ini tidak akan membahas korupsi yang besar-besar dengan angka-angka yang menakutkan. Angka yang membuat bulu kuduk kita merinding dan kepala kita pusing tujuh keliling, Korupsi BLBI, Bulog, Korupsi di MA, dan korupsi di Depertemen Agama yang seharusnya menjadi contoh departemen yang bersih di pemerintahan kita ini. Tidak. Buku ini hanya akan membahas korupsi yang kecil-kecil saja, korupsi yang angkanya mungkin cuma duapuluh atau seratus ribu rupiah. Korupsi seorang karyawan yang memanipulasi bon pengisian BBM, atau korupsi seorang mahasiswa yang mengadakan kegiatan di senat fakultas, memakan sisa dana acara dan melaporkannya ke pembantu Rektor dengan saldo nol. Atau juga korupsi yang dilakukan oleh ibu-ibu arisan, beli barang kemudian meminta bon kosong untuk diisi sendiri melebihi harga sebenarnya.
Tindakan seperti itu sudah sangat biasa. Bahkan kita merasa itu bukan bagian dari korupsi yang perlu dicela. Kejadian yang sudah jamak di masyarakat kita, bukan  bermaksud “memanipulasi,” tapi mencoba “mensiasati” keadaan agar bisa mendapat sedikit keuntungan. Kadang mengaburkan batas antara korupsi dan jual beli. Korupsi dianggap jual beli. Dimaknai sebagai bisnis kecil-kecilan yang menjanjikan. Salahkah itu? Takkan ada yang menyalahkan. Kenapa? Karena ini hal yang sangat biasa dan kita semua melakukannya.
Kalau demikian halnya, berarti korupsi benar sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Bahkan seorang moderator di sebuah seminar tentang “Pemberantasan Korupsi di Negara Kita” keceplosan mengatakan bahwa korupsi telah “membudaya” di masyarakat Indonesia. Komentar moderator itu langsung ditanggapi dengan serius oleh seorang guru besar, pakar budaya dari UGM. “Menyebutkan korupsi telah “membudaya” itu sangat riskan dan tidak pada tempatnya. Karena budaya dalam pemahaman akademis berkonotasi positif. Membudaya berarti “menjadi budaya” Lahir sebagai kekuatan “Budi” dan “Daya” dari proses panjang sebuah masyarakat, yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia secara kolektif. Kalau korupsi? Itu bukan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Korupsi adalah penyimpangan prilaku. Korupsi itu penyakit. Penyakit masyarakat kita, karena itu tak pantas disebut budaya.
Benar juga. Si moderator mungkin salah ucap. Tapi saya tahu yang dimaksudnya adalah bahwa korupsi itu sudah berlangsung jamak di masyarakat kita. Korupsi itu sudah menjadi biasa dan mengendap dalam cara berpikir dan polah tingkah kita. Sekuat kita mencelanya, sekuat itu pula kita mendambakan kesempatan untuk dapat melakukannya. Kenapa? Karena korupsi adalah cara instan bagi mereka yang mengangankan menjadi kaya tanpa bekerja.
Seorang tukang becak sambil bercanda pernah saya tanya, “Bapak mau dikasih uang 40 milyar, dituduh korupsi, dan dipenjara sepuluh tahun?
“Mau mas, dipenjara duapuluh tahunpun saya mau,” kata tukang becak itu bersemangat. Karena seumur hiduppun ia menggenjot becak, tidak mungkin dapat mengumpulkan uang 40 milyar.
***
Hasil penelitian Transparancy International menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terkorup ke enam di dunia. Dari 102 negara yang diteliti, Indonesia berada di urutan 96, sedikit lebih baik dari Kenya, Angola, Madagaskar, Paraguay, Nigeria dan Bangladesh (Corruption Perception Index 2002-Transparancy International). Hasil penelitian ini cukup menampar muka kita. Bagaimana tidak, bangsa yang besar, berpenduduk Muslim terbanyak, memegang teguh kesantunan Timur, tapi korup.
Ada apa dengan bangsa kita? Inilah pertanyaan sesungguhnya yang harus kita jawab. Apa yang terjadi dengan kita sehingga praktek korupsi menjadi akut, menjadi penyakit sosial yang menggerogoti semua sendi kehidupan kita, bukan hanya institusi politik, bahkan institusi agama dan pendidikan yang sarat moral sekalipun, tak lepas dari praktek korupsi. Yang lebih menyedihkan lagi, dana-dana sosial untuk orang susah, untuk korban bencana alam, pengungsi dan orang yang kehilangan harta bendanya, juga dikorup. Nauzubillah!.
Mungkin kita bisa berdalih, “Akh, itu kan kelakuannya pejabat dan orang pemerintahan saja.” Iya, sekarang mereka memang pejabat. Tapi bukankah mereka dulu adalah orang biasa. Anak sekolah yang patuh, taat, rajin, dan ketika mahasiswa jadi demonstran. Aktivis pembela demokrasi dan keadilan? Tapi sekarang mereka korup. Kalau mereka yang dulunya baik dan sekarang korup, bukan tidak mungkin mereka yang sekarang baik besoknya juga akan korup. Jadi korupsi di sini hanya berganti orang, berganti generasi, berganti modus yang lebih canggih. Tapi tak pernah surut.
Anehnya, sikap kita terhadap pelaku korupsipun seperti mendua. Kita mengutuk tindakan korupsi, Tapi di keseharian kita tetap menerima koruptor dengan baik. Memperlakukannya dengan sangat hormat, mencium tangannya dan bahkan mempersilahkannya menjadi imam dalam sholat. Kita tetap memuliakannya sebagaimana layaknya orang terhormat. Seakan-akan kita lupa bahwa dia seorang koruptor.
Kita membenci perbuatan korupsi seperti kita membenci tikus atau najis yang menempel di baju kita. Kita bersorak dengan sangat lantang, “berantas korupsi! Berantas korupsi!” Kita teriakkan kata-kata itu dengan sangat jijik. Namun saat berhadapan dengan koruptor tiba-tiba kita menjadi jinak. Seakan-akan tak ada apa-apa. Seakan-akan antara korupsi dan koruptor itu tak ada hubungannya. Korupsi terus kita hujat, dan koruptor tetap kita muliakan sebagaimanan layaknya orang berpangkat.
Kalau memang begini caranya, mungkin sebenarnya kita tidak benar-benar membenci korupsi. Alam bawah sadar kita membenarkan bahwa semua kita berpotensi untuk korup. Persoalannya adalah kesempatan. Satu-satunya yang kita benci barangkali, kenapa bukan kita yang mendapat kesempatan untuk melakukan korupsi bermilyar-milyar itu. Toh sejauh ini jadi koruptor enak-enak saja, aman-aman saja, semuanya bisa diatur. Tidak masalah jadi Negara terkorup, atau jadi koruptor kelas kakap sekalipun. Karena penjara untuk orang korupsi di negeri ini jauh lebih nyaman dari hotel berbintang empat.
***
Sebelum kita bicara ke mana-mana, ada baiknya kita jelaskan arti korupsi yang dimaksud dalam bahasan di sini. Ada ratusan definisi korupsi yang sudah dikemukakan oleh para pakar, filsuf dan kaum intelektual politik, yang dari luar ataupun yang dalam negeri, sejak zaman baghola hingga zaman moderen. Sejak Revolusi Prancis hingga sekarang. Dari bermacam-macam definisi itu, sebenarnya mengerucut pada pemahaman yang sama, hanya ada parbedaan-perbedaan penekanan saja, karena filsuf atau ahli yang membuat definisi itu hidup di tempat dan zaman yang berbeda, dan mereka menemukan persoalan korupsi yang berbeda juga di setiap zamannya.
Tapi minimal ada beberapa kata kunci yang bisa kita ambil dari banyaknya definisi tersebut, yaitu: (1). Penyelewengan (fraud) (2). Penyalahgunaan kekuasaan/ jabatan. (3). Merugikan kepentingan umum/negara, dan (4). Memperkaya diri sendiri. Dalam perspektif hukum Indonesia sendiri, menurut UU No 20/2001 Jo 31/1999 korupsi didefinisikan sebagai perbuatan yang melawan/melanggar hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya (abuse of power) untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi, sehingga menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara.
Sekali lagi, ini definisi korupsi dalam perspektif hukum formal di Indonesia. Definisi ini mungkin kurang pas dalam konteks pembicaraan kita di sini. Ini perspektif hukum, menyangkut dana bermilyar-milyar, merugikan keuangan negara, dan ada konsekwensi hukum bagi pelakunya. Kalau definisi ini yang kita pakai, berarti kalau tidak merugikan keuangan negara tidak disebut korupsi? Kalau hanya memanipulasi bon pengisian BBM yang jumlahnya cuma seratus ribu rupiah tidak disebut korupsi?  Menggelapkan uang sumbangan warga tidak disebut korupsi? Kalau ya, berarti kita membutuhkan definisi lain untuk menjelaskan korupsi ini.
Sejarawan Onghokham menyebutkan konsepsi tentang korupsi timbul ketika orang mulai memisahkan keuangan pribadi dengan keuangan umum. Antara kepentingan keuangan pribadi seorang pejabat negara dengan keuangan jabatannya. Prinsip ini pertama muncul di Barat setelah adanya Revolusi Prancis, dan di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat pada permulaan abad ke 19. (wordpress.com).
Persisnya orang membicarakan korupsi sejak dunia mengenal sistem pemerintahan moderen, sejak orang meninggalkan sistim kerajaan di mana raja merupakan representasi dari negara itu sendiri, harta negara adalah harta raja, keuangan negara adalah keuangan raja, dan raja boleh menerima upeti dari rakyatnya tanpa perlu diaudit. Tapi dalam sistem pemerintahan moderen, harta negara dengan harta pribadi kepala negara sudah terpisah secara jelas.
Meski korupsi ditujukan kepada pejabat negara dan pemerintahan, namum menurut Onghokham praktek korupsi seperti suap dan sogok malah banyak terjadi di tengah masyarakat tanpa melibatkan keuangan negara. Karenanya menurut Onghokham ada dua dimensi di mana korupsi itu bekerja. Dimensi pertama terjadi di tingkat atas, melibatkan elit-elit penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan, dan mencakup jumlah uang yang besar. Seperti korupsi di penambangan, pengelolaan hutan, perbankan, ekspor impor dan lain-lain.
Sementara pada dimensi lain, korupsi terjadi pada masyarakat menengah ke bawah yang biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan orang banyak, seperti berbelit-belitnya pengurusan KTP, pembuatan SIM, perizinan, pengurusan Akte, Paspor, pungutan liar, pemalakan, dan lain-lain. Korupsi jenis ini mungkin melibatkan uang yang tidak seberapa, tapi tindakannya sama tercelanya. Menyengsarakan orang banyak untuk memperkaya diri sendiri. Nah, pada dimensi inilah korupsi kita bicarakan.
Mungkin kita akan bertanya, bagaimana perspektif Islam tentang korupsi? Sejauh yang saya pahami, terminologi korupsi (seperti yang terjadi di Barat) tidak ada kita temukan dalam Al-Qur’an dan hadist. Tapi praktek korupsi seperti kecurangan, penipuan, memakan harta anak yatim, orang miskin, kaum dhuafa/orang yang sengsara, perilaku menumpuk-mumpuk harta, serta sogok dan suap sudah dibicarakan Islam jauh sebelum orang Barat menyuarakan kepedulian terhadap korupsi.
Praktek-praktek curang dan penyelewengan seperti ini disebut Al-Qur’an dengan cara-cara bathil. Dalam sebuah ayat Allah SWT memperingatkan kepada kita: “…dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain dengan cara bathil. Dan (jangan pula) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS: Al-Baqarah 118).
Korupsi dalam pemahaman konsepsi Barat, yakni menyalahgunakan kekuasaan, benturan kepentingan individu dengan negara, serta penggelapan uang negara yang dilakukan oleh pejabat untuk memperkaya diri sendiri, hampir tidak (kalau disebut tidak ada) ditemukan dalam wacana Islam awal. Dalam Qur’an dan hadistpun tidak banyak kita temukan masalah korupsi seperti ini (yang melibatkan negara dan individu).
Tapi korupsi dalam bentuk penipuan dalam perdagangan, memakan harta anak yatim, memakan hak fakir miskin, kaum dhuafa dan hamba-hamba sahaya banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an, bahkan beberapa di antaranya disampaikan berulang-ulang. Karena memang inilah yang terjadi di masyarakat kebanyakan (termasuk kita) dari dulu sampai sekarang. Kejahatan sesama manusia yang menyengsarakan orang lain.
***
Apa saja bentuk korupsi itu? Satu lagi hal yang perlu kita perjelas dalam buku ini sebelum bicara jauh tentang korupsi. Ada banyak penyelewengan, penggelapan, penipuan, dan penyalahgunaan di luar prosedur yang sering dilakukan orang dalam pekerjaannya, semua itu belum tentu berbentuk uang. Bisa dalam bentuk penggunaan fasilitas publik/negara untuk kepentingan pribadi, pemakaian telpon, listrik, bensin kendaraan, dan juga manipulasi laporan kerja. Dalam arti lain, korupsi bukan hanya uang.
Dalam sejarah pemerintahan kita, ada dikenal istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Istilah ini populer tepatnya sejak reformasi bergulir pada tahun1998 di mana semua elemen (mahasiswa dan rakyat) menyuarakan pengadilan untuk Orde Baru, Soeharto dan kroni-kroninya atas praktek KKN yang mereka lakukan selama berkuasa.
Tiga serangkai praktek penyelewengan ini (korupsi, kolusi dan nepotisme) ternyata tidak hanya berlangsung di birokrasi pemerintahan, tapi juga oleh masyarakat umum dari semua profesi. Contohnya, seorang karyawan di sebuah pabrik, bekerja dengan shif pada waktu yang sudah ditentukan. Pada suatu hari karyawan ini terlambat atau berencana untuk tidak hadir, kemudian ia meminta teman satu unit untuk menandatangani presensinya, agar ia tidak dihitung alfa atau telat. Walaupun hari itu ia tidak masuk, tapi tetap dihitung hadir dan gajinya tidak dipotong, uang hadirnya tetap dibayarkan seperti biasanya. Si karyawan ini telah “berkolusi” dengan teman sekerjanya untuk mendapatkan uang yang bukan haknya, dan itu jelas merugikan orang lain/perusahaan tempat ia bekerja.
Praktek lain lagi yang biasa kita temukan adalah pemilihan tanpa melalui prosedur yang semestinya, baik itu pemilihan pemenang tender, pemilihan pegawai di sebuah instansi, pemilihan pimpinan untuk mengisi posisi-posisi penting. Tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas, hanya mempertimbangkan kedekatan, kekeluargaan, pertemanan, perkoncoan, suku, daerah, dan almamater. Praktek seperti ini disebut “Nepotisme.”
Apa akibat yang ditimbulkan oleh nepotisme? Banyak sekali, salah satunya membuat pelaku korupsi merasa aman (secure) karena semua orang yang ada di sekitarnya sudah berada dalam kendalinya. Dari pimpinan sampai bawahan. Akhirnya yang muncul adalah sikap TST, alias tahu sama tahu. Sssst! asal tenang, semua dapat bagian. Jadi jangan bilang siapa-siapa.
Praktek inilah yang berlangsung selama bertahun-tahun pemerintahan Orde Baru, yang membuat sistem pemerintahan keropos dan akhirnya tumbang. KKN bekerja seperti rayap yang menggerogoti kayu, pelan tapi pasti, dia akan menghabiskan semua isi kayu hingga keropos, meski di luarnya masih tampak bagus dan megkilat.
Jadi kolusi dan nepotisme sama bahayanya. Keduanya adalah saudara kandung dengan korupsi. Saling menopang satu sama lain. Atau ada juga yang menyebut kolusi dan nepotisme adalah pra kondisi untuk sampai pada korupsi yang sebenarnya. ***
Foto Taufiq Tan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency