BAB III BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB III
The power tends to
corrupt. Absolute power, corrupt absolutely. Ini
pernyataan terkenal dari Lord Acton (1834-1902), filsuf politik yang hidup di penghujung
abad 19. Katanya, kekuasaan yang berlebihan akan membuat manusia cenderung
untuk korup. Semakin absolute sebuah kekuasaan, semakin besar peluang korupsi
itu terjadi.
Pernyataan ini mungkin tidak sepenuhnya benar, karena sangat
tergantung di tangan siapa kekuasaan itu berada, tapi ada baiknya juga untuk
kita pikir dan renungkan. Kekuasaan memang punya godaannya sendiri, bisa
membuat orang mabuk dan lupa diri. Kadang ia seperti magnet, menghisap orang
pada permainan yang sulit dikendalikan. Kekuasaan kadang bisa merubah orang
baik dan jujur menjadi jahat, orang lemah menjadi kuat, orang taat menjadi
ingkar, orang yang rendah hati menjadi sombong dan takabur.
Dengan kekuasaan
di tangannya orang menganggap dunia sudah dalam genggamannya. Orang lain
menjadi budaknya, semua kekayaan menjadi miliknya, kata-katanya menjadi titah,
ketidakpatuhan akan dianggap pembangkangan yang harus dibinasakan. Nafsu
menuntun dirinya untuk tidak tunduk pada apapun, bahkan pada Tuhan sang
pencipta sekalipun.
Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita bagaimana
bencana kehidupan yang ditimbulkan dengan kekuasaan di tangan seorang Fir’aun
dan Namrud. Manusia yang menolak segala kebenaran di luar dirinya, menolak
kekuasaan dan ketundukan absolute selain pada dirinya, menolak keberadaan Tuhan
dan pada akhirnya mengangkat sendiri dirinya sebagai Tuhan. Manusia seperti ini
disebut Al-Qur’an sebagai manusia yang sudah melampaui batas (tagha).
Begitulah perlahan-lahan ketika manusia diberi kekuasaan
tanpa kontrol, mereka akan merongrong dirinya sendiri untuk berkuasa lebih dan
lebih tinggi lagi. Karena dengan demikian dia bisa berbuat sekehendak hatinya
tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada yang menggugat ataupun menyalahkan segala
tindakan dan keputusannya. Dalam konteks ini The power tends to corrups! Ada
benarnya juga.
Atas kesadaran inilah, seorang Umar bin Khattab ketika dibai’at
menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan kaum Mukminin. “…..kalau kalian
menemukan aku berada di jalan Allah dan Rasul-Nya, dukung aku! Kalau kalian
dapatkan aku menyimpang dari jalan Allah dan Rasulnya, tegur aku!”
Dalam bahasa lain Umar mengatakan, kaum Mukminin tolong
kontrol aku, jangan kalian biarkan aku berjalan seorang diri! Bayangkan, Umar
yang merupakan salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin Allah
keimanannya, dijamin sorga untuknya, masih meminta sahabat lain untuk
mengontrol dirinya agar jangan sampai melenceng dari jalan Allah dan jalan
Rasul-Nya. Begitu khawatirnya mereka (sahabat-sahabat Rasul itu) dengan
kekuasaan, karena mereka tahu persis bagaimana Allah mengisahkan orang-orang
terdahulu yang mengingkari Allah dengan kekuasaan yang dimilikinya, seperti Fir’aun
dan Namrud, yang dengan kesombongannya menolak kebenaran dari nabi-nabi Allah.
Kita lihat, manusia se-kualitas sahabat saja, yang
selalu bersentuhan secara intensif dengan Al-Qur’an dan sunnah. Yang merasakan
secara langsung aura prophetik. Yang memahami pembeda antara haq dan bathil
dengan jelas, tetap saja memerlukan kontrol untuk dirinya, apalagi manusia
se-kualitas kita, yang hidup di zaman serba ketidakjelasan, kekaburan antara
yang haq dan yang bathil. Zaman yang penuh fitnah dan kebohongan. Kontrol diri
adalah kemestian bagi kita.
Apa saja yang bisa kita jadikan kontrol diri agar
terhindar dari perbuatan korupsi dan penyelewengan? Sekurangnya ada tiga hal
yang bisa kita optimalkan.
Pertama, kontrol internal. Yakni kontrol dari dalam diri
kita sendiri. Ada
banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kontrol internal di antaranya
meningkatkan (kualitas) ibadah, berzikir dan sabar. Ini adalah tips yang diberikan
Allah kepada kita. “Hai orang-orang yang beriman. Jadikanlah sabar dan sholat
sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS.
2:153).
Kontrol diri juga bisa dilakukan dengan meningkatkan
pemahaman tentang korupsi, resiko dan bahayanya baik bagi diri kita, keluarga
kita ataupun orang lain. Kita bisa membuat pagar untuk diri kita sendiri dengan
jalan yang mungkin bisa dilakukan, seperti memasang kata-kata anti korupsi di
meja kerja kita, menempel stiker anti korupsi di kamar, atau memunculkannya di
kata pembuka handphone.
Berusaha memagar diri dari korupsi sangat penting bagi
kita semua, untuk kehidupan yang lebih mulia, bermartabat dunia akhirat. Usahakan
selalu mempertahankan pandangan negatif kita terhadap korupsi. Tanamkan selalu
dalam pikiran kita bahwa korupsi itu sangat tercela dan harus dijauhi. Jangan
sekali-kali kita membuat escuse
terhadap perilaku korupsi. Memberikan pemakluman-pemakluman yang menganggap semua
orang mungkin melakukannya termasuk diri kita.
Kalau perlu di setiap kesempatan, bicarakan dengan orang lain betapa
bejadnya korupsi itu. Tuliskan kalau kita punya bakat menulis, tunjukkan pada
semua orang bahwa kita benci dengan korupsi. Dengan demikian, niscaya sikap
seperti ini akan membantu kita memagari diri terhadap tindakan tercela tersebut.
Buku ini pun, saya tulis dengan semangat demikian. Dalam
pengantar saya sampaikan bahwa buku ini terutama saya tujukan untuk diri saya
sendiri, untuk menjadi pagar bagi diri saya ketika berhadapan dengan kenyataan,
berhadapan dengan kesempatan di mana saya mungkin untuk korupsi, hati saya tergoda
untuk itu, tapi akal sehat saya menahan saya melakukan, karena saya ingat bahwa
saya pernah menulis buku tentang korupsi. Dan saya akan malu melanggar apa yang
telah saya tulis untuk orang lain.
Kedua, kontrol sosial (Social Control). Seperti apa yang diminta Umar bin Khattab kepada
kaum Mukminin adalah bentuk kontrol sosial. Kontrol sosial itu diciptakan,
dibuat dan dikondisikan oleh diri sendiri. Banyak orang yang hidup di tengah
masyarakat tapi kontrol sosial tidak berjalan bagi dirinya. Dia bergaul dengan
banyak orang, tapi tidak seorangpun yang mau mengingatkan kesalahannya. Kenapa? Karena dia tidak membangun kondisi
untuk itu.
Mungkin mereka tinggal di perumahan yang tidak mau kenal
satu sama lain, pagar rumahnya tinggi dan pintu rumah selalu tertutup. Orang
seperti ini hanya keluar rumah untuk tiga hal; bisnis, pesta dan belanja. Dia
tidak bergaul dengan siapapun yang bisa memberi nilai terhadap perbuatannya,
atau dia tidak pernah memberi peluang pada orang lain untuk memberikan nasehat
(tausiah) padanya. Orang seperti ini
hidup dengan cara yang sangat ekslusif.
Untuk itu dia harus menciptakan kontrol sosial untuk
dirinya sendiri. Mungkin dengan cara mendatangi kelompok-kelompok yang dapat
memberi nilai positif di sana .
Mungkin majelis ta’lim, kelompok diskusi, gerakan keagamaan dan kemanusiaan. Atau
kelompok lainnya yang jelas memiliki ikatan sosial yang saling mengontrol.
Yang terpenting dalam hal ini adalah membangun kondisi
yang kondusif pada diri sendiri agar kontrol sosial bisa berjalan dengan baik. Langkah
ini memerlukan keterbukaan, dan untuk terbuka diperlukan jiwa besar. Kita harus
dengan lapang dada mengundang siapapun untuk mengingatkan dan memberi tausiah untuk kita. Mungkin bawahan kita,
anak kita, tetangga, teman se kantor, murid, atau mungkin orang yang tidak kita
kenal tapi dia mengenal diri kita.
Kalau kita tidak terbiasa, ini memang sebuah sikap yang
berat. Kadang kita sulit untuk membayangkan seorang bawahan datang pada kita
dan meyebutkan daftar kesalahan kita. Apa yang harus kita lakukan? Hanya perlu
keikhlasan untuk mendengarkannya. Kalau itu sebuah kebenaran tak ada salahnya
untuk menerimanya, dan kalau dirasa yang disampaikan itu tidak sama dengan
kenyataan, tinggal menjelaskan bahwa tidak demikian keadaannya.
Tanpa keikhlasan kita tidak akan bisa menerima hal
demikian. Kadang ada orang yang meminta orang lain untuk menasehati dirinya,
memberikan masukan terhadap kinerja dan kepemimpinannya, mencoba terbuka
terhadap kritik dan saran dari orang lain. Namun ketika ada yang benar-benar
memberikan kritik dan saran padanya, wajahnya langsung berubah masam. Dia
langsung mengambil sikap defensif karena merasa pribadinya diserang. Dia memasang
kuda-kuda untuk menyangkal semua kritik yang ditujukan pada dirinya. Nah, kalau
demikian pastilah orang lain akan kapok memberikan masukan dan nasehatnya.
Apalagi itu bawahannya di kantor, mereka pasti akan cari aman dan membiarkan bosnya
itu berjalan sendiri. Yang penting bagi mereka, bos senang dan mereka aman.
Tentang keikhlasan menerima masukan ini, saya terkesan
dengan sikap bos saya bapak Ahmad Marzuki (semoga Allah merahmatinya) yang
sungguh rendah hati. Hampir di setiap pertemuan, juga dalam rapat, beliau
selalu meminta nasehat pada saya. “Saya diberi nasehat dong!” pintanya dengan ikhlas. Saya katakan itu ikhlas karena
menurut saya wajahnya tidak menunjukkan bahwa itu hanya sekedar basa basi.
Semula permintaannya itu terasa aneh bagi saya. Masak seorang bos minta nasehat pada
anak buahnya? Beberapa kali ia meminta saya menasehatinya, tapi saya tak kunjung
bisa melihat kesalahan pada dirinya. Sementara itu, nasehat dan masukannya
mengalir dengan lancar pada pribadi saya tanpa sedikitpun menyunggung perasaan.
Lama kelamaan saya yang merasa risih sendiri, kenapa tak mampu memberi nasehat
apapun untuk bos saya ini padahal dia sudah memintanya berkali-kali. Bukankah
saudara yang baik adalah saudara yang memberitahukan kekurangan saudaranya?
Bukan saudara yang selalu memuji-mujinya setinggi langit yang membuat dia tanpa
sadar jatuh terpuruk tanpa ada yang mengingatkan.
Inilah kontrol sosial. Kontrol yang kita bangun di luar
diri agar kita tidak terjerumus dan tersesat. Anak, istri, keluarga, kerabat,
tetangga, saudara, teman sekantor, bawahan kita, atasan kita, semuanya itu bisa
menjadi kontrol sosial terhadap diri kita agar terhindar dari perilaku
menyimpang seperti korupsi yang memalukan.
Ketiga, kontrol manajerial. Saudara mungkin pernah berada
pada situasi di mana saudara menjadi pengendali tehadap segala sesuatunya. Di perusahaan
atau di instansi tempat bekerja, saudara adalah decision maker. Saudara mempunyai bawahan yang tunduk pada perintah
dan kemauan saudara. Mungkin saudara seorang manager atau seorang direktur. Dalam
posisi seperti ini seseorang akan punya peluang besar untuk korupsi kalau tidak
hati-hati.
Selain menguatkan kontrol diri dan kontrol sosial, ada
lagi sebuah kontrol yang bisa diusahakan untuk menjauhkan korupsi dari kita,
yakni membuat kontrol manajerial yang menjadi bagian dari mekanisme kerja. Dalam
hal ini kita dituntut untuk terbuka terutama masalah keuangan, baik pada
bawahan maupun atasan kita. Kita bisa
melakukan itu dengan membuat laporan secara berkala walaupun itu tak pernah
diminta. Kepada bawahan kita harus bisa menunjukkan bukti-bukti pengeluaran
untuk dipertanggungjawabkan. Sebab sekali mereka tahu kita mengeluarkan dana
tanpa bertanggungjawab, kita akan sulit mengontrol mereka ketika mereka
melakukan hal yang sama.
Ketika menjadi manager restoran, saya pernah melaporkan
pada bagian keuangan tentang pengeluaran perbaikan pompa air sebesar Rp.
370.000,- yang diambil dari uang operasional yang saya pegang, dan saya ingin
dia memasukkannya dalam catatan pengeluaran. Pengeluaran itu saya tulis dalam
secarik kertas dan saya serahkan padanya, “Tolong dimasukkan!” Kata saya. “O,
Ya pak!” jawab karyawan saya itu menerima perintah. Tapi kata O, Ya Pak-nya itu
mengandung nada tanya yang tersirat di wajahnya. O really? Benarkah jumlahnya segini? Itu yang saya tangkap dari
ekspresinya.
Saya memang tidak bisa menyalahkan karyawan ini karena
selama ini saya menerapkan pengeluaran ketat dalam keuangan, semua pengeluaran
harus ada bonnya. Tapi sekarang saya sendiri yang mengeluarkan uang tanpa bon
dan rincian. Saya memang salah. Setelah itu saya segera memperbaikinya.
Besoknya saya buat rincian penggunaan uang dan saya kumpulkan semua bon
pembelian, kemudian saya berikan pada karyawan yang mengurus keuangan itu. “Ini
rincian yang kemaren,” kata saya. “O, ya Pak!” jawabnya lagi. Tapi kata O ya
Pak-nya kali ini sudah dengan nada puas, tak ada lagi tanda tanya yang tak
terucapkan di wajahnya.
Ini yang saya maksud dengan kontrol manajerial, di mana
kita membuat sendiri mekanisme dan sistem yang bisa memperkecil peluang
siapapun untuk melakukan korupsi. Bukan hanya peluang kita, juga peluang bagi
bawahan kita untuk melakukan hal yang sama. Bayangkan seandainya karyawan
menduga kita melakukan penyimpangan karena kita tidak transparan dan disiplin
masalah keuangan! Kita pasti akan mendapat masalah dalam memimpin mereka
selanjutnya. Diam-diam mereka akan melecehkan kita sebagai atasannya. Kata-kata
saudara (terutama himbauan moral) akan masuk di telinga kanan mereka dan segera
dikeluarkan di telinga kiri. Penyimpangan yang dilakukan seorang atasan akan
jadi gunjingan mereka. Mau tahu apa obrolan para karyawan ketika mereka
istirahat di waktu senggang? Hasil survey menunjukkan 60% tema obrolan para
karyawan adalah tentang bosnya, 30% tentang gosip, 7% curhat masalah pribadi,
3% lainnya tentang ide dan rencana mereka selanjutnya.
Apa yang penting dan dibutuhkan dalam membuat kontrol
manajerial ini? Konsistensi. Tanpa konsistensi, usaha untuk mendisiplinkan diri
kita ataupun bawahan kita akan jadi sia-sia belaka, karena sekali mereka
mendapatkan kita tidak konsisten, itu sudah cukup jadi alasan bagi mereka untuk
menolak semua sistem dan mekanisme kontrol yang kita terapkan.
Dengan gambaran seperti ini, kita bisa bayangkan
seandainya seorang Menteri, Dirjen, Dirut, atau seorang Presiden melakukan
korupsi? Tak disangsikan lagi, bawahannya pasti akan mengikuti. Diam-diam
mereka akan “bermain” sendiri, mencari keuntungan sendiri untuk kepentingan
diri sendiri. Siapa lagi yang bisa mengontrol perbuatan seperti ini? Tak ada, bos
mereka pasti akan mengalami kendala psikologis untuk berbicara tentang moral
dan korupsi di instansinya, karena dia sendiripun korup. Tak ada lagi yang bisa
ditegakkan. Tak ada sistem atau mekanisme kontrol yang bisa dijalankan, karena
mereka semua sudah bersikap TST (tahu sama tahu). Bagaimana mungkin tikus akan
menangkap tikus. Bagaimana mungkin koruptor bisa mencegah korupsi. Karena
membongkar korupsi sama dengan membongkar aib sendiri.
Itulah yang sekarang terjadi di beberapa instansi di
pemerintahan kita. Korupsi berlangsung sangat akut, bahkan sudah vulgar dan
terang-terangan. Tak ada yang bisa melerai. Tak ada yang bisa menjadi wasit
karena mereka semua adalah pemain. Pemimpin-pemimpin yang korup, mereka seperti
tongkat yang membawa roboh. Kalau tongkat yang sudah roboh, bagaimana orang
bisa berdiri? Di mana lagi tangan akan bertumpu? Bagaimana bangsa ini akan
ditegakkan?
Keempat adalah kontrol transenden. Ini adalah kontrol
tertinggi, kontrol dari segala kontrol. Lahir dari keyakinan bahwa Allah maha mengetahui
segala sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita rencanakan, baik yang
tersembunyi atau terang-terangan, yang tersirat atau yang tersurat, bahkan Dia
mengetahui apa yang terbersit di hati kita sebelum kita mengucapkannya.
Meyakini kalau Allah mengetahui segala perbuatan kita,
tingkal laku kita, dimanapun dan kapanpun tanpa ada yang tersembunyi, tak
pernah alpa apalagi lupa, bagi kaum Mukminin hal demikian adalah bagian dari
tauhid. Tauhid rububiyah. Keimanan
yang sudah sampai dalam taraf demikian dalam Islam disebut ikhsan.
Dalam sebuah majelis seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah, duduk di samping Rasul dan meletakkan sebelah lututnya di atas
lutut Rasul. Kemudian laki-laki itu bertanya, “Apakah Iman itu ya Muhammad?
Kemudian Rasul menjelaskan tentang Iman. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi,
Apakah Islam itu ya Muhammad? Kemudian Rasul menjelaskan tentang Islam.
Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, Apakah Ikhsan itu ya Muhammad? Kemudian
Rasul menjawab ; Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tapi
jika engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah, Dia pasti melihat engkau. Kemudian
laki-laki itu pergi, dan para sahabat bertanya-tanya, siapa laki-laki itu ya
Rasulullah? dia adalah malaikat Jibril, jawab Rasul.”
Ikhsan adalah sikap tertinggi dari keimanan kaum
Muslimin yang terimplementasi dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Orang yang
ikhsan hanya berbuat dan bertindak hanya karena Allah. Takut dan cinta kepada
Allah. Merasa selalu dikontrol oleh Allah. Tak berani berdusta, berbohong,
menipu, berkhianat, merampas, menindas, dan korup. Bukan karena siapa-siapa,
kecuali hanya karena takut kepada Allah.
Kalau Ikhsan sudah ada dalam diri manusia, dia akan jadi
manusia yang tak diragukan lagi. Dia sangat bisa dipercaya, tsiqoh. Apapun yang ia kerjakan dan
apapun yang diamanahkan kepadanya pasti akan dilaksanakan dengan baik. Dia tak
akan menyeleweng barang sedikitpun, dia tidak akan berkhianat, dan dia tidak
memerlukan kontrol manusia. Keyakinan bahwa Allah selalu melihatnya sudah cukup
baginya.
Tentang hal ini dalam sebuah riwayat pernah diceritakan,
yakni ketika Umar bin Khattab berkeliling untuk melihat keadaan kaum Muslimin,
di sebuah padang
ia bertemu dengan seorang gembala kecil yang seorang diri mengembalakan
kambingnya. Saat pengembala kecil ini asyik menjaga gembalanya di padang rumput, Umar
datang menghampirinya.
“Ini semua kambingmu?” tanya Umar.
“Tidak tuan, ini punya majikan saya.” Jawab anak gembala
ini.
“Majikanmu di mana?”
“Dia tidak ada di sini, tuan.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kambingmu saya beli satu
ekor, uangnya untukmu. Majikanmu kan
tidak tahu. Kalau dia bertanya kamu bisa katakan kambingmu hilang atau mati
dimakan serigala,” kata Umar membujuk.
“Saya tidak berani, tuan.”
“Kenapa?”
“Ya, saya takut.”
“Takut sama siapa? Bukankah tuanmu tidak melihat? Takkan
ada yang mengetahui kalau kamu menjual kambing ini satu ekor saja. Hanya kita
berdua yang tahu.”
“Kalau begitu, Tuhan di mana?” tanya anak itu polos.
Menggugat Umar dengan keyakinannya bahwa Allah pasti melihat kita.
Inilah kualitas Iman seorang bocah gembala yang ditemui
Umar. Kualitas yang sudah mencapai tingkat ikhsan. Ia merasa Allah selalu
mengawasinya dan ia tak mungkin untuk berbohong. Bagaimana dengan kualitas Iman
kaum Muslimin sekarang? Banyak yang cendrung sebaliknya. Ketika hendak
melakukan kejahatan. Ketika hendak korupsi, kita segera melupakan Tuhan. Kita
merasa seolah-olah Tuhan tidak ada dan tidak melihat kita. Dan kalaupun kita
sadar, kita biasa berprasangka baik bahwa Tuhan pasti akan memaafkan kita dan
mengampuni dosa kita. Bahkan setelah korupsi itu kita masih yakin kalau kita
akan masuk sorga.
Jadi konsep ikhsan, kesadaran bahwa Allah selalu
mengawasi kita, adalah kontrol tertinggi dan tak tertandingi oleh manajemen moderen
sekalipun. Pelatihan apapun yang dilakukan untuk pengembangan SDM yang
berkualitas, terpercaya dan handal, hanya mampu membangun kesadaran temporer.
Seseorang mungkin bisa bekerja dengan baik ketika ia menyadari bahwa ia sedang
diawasi oleh atasannya. Tapi ketika ia tahu bahwa ia sudah tidak diawasi, ia
akan kembali lalai dan melakukan penyelewengan. Inilah keterbatasan kontrol yang
dilakukan oleh manusia pada manusia. Tapi orang yang ikhsan, dengan atau tanpa
dikontrol oleh orang lain, ia akan tetap bekerja optimal dan tak berani
melakukan penyelewengan, karena ia yakin bahwa dalam keadaan bagaimanapun,
Allah selalu mengontrolnya.
Kejadian dua tahun yang lalu, seorang pengusaha cina
dari Medan , pengusaha
kaya raya, mempunyai beberapa perusahaan besar, mempekerjakan seribu lebih
karyawan, dengan kesadaran penuh mengucapkan sahadatnya di Masjid Al-Azhar.
Ketika diminta untuk menyampaikan kesaksiannya, dia menyampaikan alasannya
kenapa akhirnya memilih Islam sebagai jalan keimanannya, si pengusaha yang
sudah berganti nama menjadi Abdussalam ini menceritakan dengan panjang lebar.
Ia seorang bisnisman, sering ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk mengurus
bisnisnya, bahkan selama berbulan-bulan ia tak pulang ke Medan . Semula ia agak khawatir dengan perusahaan yang
ditinggalkannya itu. Namun setelah dia kembali, perusahaannya masih terus
berjalan dan bahkan mengalami perkembangan pesat. Karena penasaran ia bertanya
pada anak buah yang dipercaya menjalankan perusahaan tersebut.
Anak buahnya yang Muslim itu kemudian menjelaskan konsep
bekerja dalam Islam. Kata anak buahnya itu, bagi kami bekerja itu adalah
ibadah. Karena ibadah, kami harus melaksanakannya sebaik mungkin, kami tidak
hanya bertanggungjawab kepada manusia, atau kepada bapak sebagai bos kami, tapi
bertanggungjawab kepada Allah, yang selalu mengawasi kami setiap waktu.
Nah, alasan inilah yang memikat pengusaha cina ini hingga
akhirnya memilih untuk bersahadat dan mengganti namanya dengan Abdussalam.
Dengan kisah ini mungkin kata akan berangan-angan,
seandainya semua orang Islam mengamalkan konsep ikhsan ini, pastilah ini akan
menjadi syiar yang baik bagi Islam, dan akhirnya menarik bagi mereka untuk
berbodong-bondong masuk Islam. Tapi sayangnya tidak demikian. Faktanya orang
yang tersangka kasus korupsi di Negara ini bernama Abdullah, Muhammad, Akbar,
Nurdin, Hasan dan lain-lain. Sungguh memalukan.
4 Kontrol yang harus dioptimalkan
1. Kontrol dalam
Diri
2. Kontrol sosial
3. Kontrol
Manajerial
4. Kontrol
Transenden
Komentar
Posting Komentar