BAB III BUKU OBAT ANTI KORUPSI

BAB III 
The power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely. Ini pernyataan terkenal dari Lord Acton (1834-1902), filsuf politik yang hidup di penghujung abad 19. Katanya, kekuasaan yang berlebihan akan membuat manusia cenderung untuk korup. Semakin absolute sebuah kekuasaan, semakin besar peluang korupsi itu terjadi.
Pernyataan ini mungkin tidak sepenuhnya benar, karena sangat tergantung di tangan siapa kekuasaan itu berada, tapi ada baiknya juga untuk kita pikir dan renungkan. Kekuasaan memang punya godaannya sendiri, bisa membuat orang mabuk dan lupa diri. Kadang ia seperti magnet, menghisap orang pada permainan yang sulit dikendalikan. Kekuasaan kadang bisa merubah orang baik dan jujur menjadi jahat, orang lemah menjadi kuat, orang taat menjadi ingkar, orang yang rendah hati menjadi sombong dan takabur.
 Dengan kekuasaan di tangannya orang menganggap dunia sudah dalam genggamannya. Orang lain menjadi budaknya, semua kekayaan menjadi miliknya, kata-katanya menjadi titah, ketidakpatuhan akan dianggap pembangkangan yang harus dibinasakan. Nafsu menuntun dirinya untuk tidak tunduk pada apapun, bahkan pada Tuhan sang pencipta sekalipun.
Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita bagaimana bencana kehidupan yang ditimbulkan dengan kekuasaan di tangan seorang Fir’aun dan Namrud. Manusia yang menolak segala kebenaran di luar dirinya, menolak kekuasaan dan ketundukan absolute selain pada dirinya, menolak keberadaan Tuhan dan pada akhirnya mengangkat sendiri dirinya sebagai Tuhan. Manusia seperti ini disebut Al-Qur’an sebagai manusia yang sudah melampaui batas (tagha).
Begitulah perlahan-lahan ketika manusia diberi kekuasaan tanpa kontrol, mereka akan merongrong dirinya sendiri untuk berkuasa lebih dan lebih tinggi lagi. Karena dengan demikian dia bisa berbuat sekehendak hatinya tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada yang menggugat ataupun menyalahkan segala tindakan dan keputusannya. Dalam konteks ini The power tends to corrups! Ada benarnya juga.
Atas kesadaran inilah, seorang Umar bin Khattab ketika dibai’at menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan kaum Mukminin. “…..kalau kalian menemukan aku berada di jalan Allah dan Rasul-Nya, dukung aku! Kalau kalian dapatkan aku menyimpang dari jalan Allah dan Rasulnya, tegur aku!”
Dalam bahasa lain Umar mengatakan, kaum Mukminin tolong kontrol aku, jangan kalian biarkan aku berjalan seorang diri! Bayangkan, Umar yang merupakan salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin Allah keimanannya, dijamin sorga untuknya, masih meminta sahabat lain untuk mengontrol dirinya agar jangan sampai melenceng dari jalan Allah dan jalan Rasul-Nya. Begitu khawatirnya mereka (sahabat-sahabat Rasul itu) dengan kekuasaan, karena mereka tahu persis bagaimana Allah mengisahkan orang-orang terdahulu yang mengingkari Allah dengan kekuasaan yang dimilikinya, seperti Fir’aun dan Namrud, yang dengan kesombongannya menolak kebenaran dari nabi-nabi Allah.
Kita lihat, manusia se-kualitas sahabat saja, yang selalu bersentuhan secara intensif dengan Al-Qur’an dan sunnah. Yang merasakan secara langsung aura prophetik. Yang memahami pembeda antara haq dan bathil dengan jelas, tetap saja memerlukan kontrol untuk dirinya, apalagi manusia se-kualitas kita, yang hidup di zaman serba ketidakjelasan, kekaburan antara yang haq dan yang bathil. Zaman yang penuh fitnah dan kebohongan. Kontrol diri adalah kemestian bagi kita.
Apa saja yang bisa kita jadikan kontrol diri agar terhindar dari perbuatan korupsi dan penyelewengan? Sekurangnya ada tiga hal yang bisa kita optimalkan.
Pertama, kontrol internal. Yakni kontrol dari dalam diri kita sendiri. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kontrol internal di antaranya meningkatkan (kualitas) ibadah, berzikir dan sabar. Ini adalah tips yang diberikan Allah kepada kita. “Hai orang-orang yang beriman. Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. 2:153).  
Kontrol diri juga bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman tentang korupsi, resiko dan bahayanya baik bagi diri kita, keluarga kita ataupun orang lain. Kita bisa membuat pagar untuk diri kita sendiri dengan jalan yang mungkin bisa dilakukan, seperti memasang kata-kata anti korupsi di meja kerja kita, menempel stiker anti korupsi di kamar, atau memunculkannya di kata pembuka handphone.
Berusaha memagar diri dari korupsi sangat penting bagi kita semua, untuk kehidupan yang lebih mulia, bermartabat dunia akhirat. Usahakan selalu mempertahankan pandangan negatif kita terhadap korupsi. Tanamkan selalu dalam pikiran kita bahwa korupsi itu sangat tercela dan harus dijauhi. Jangan sekali-kali kita membuat escuse terhadap perilaku korupsi. Memberikan pemakluman-pemakluman yang menganggap semua orang mungkin melakukannya termasuk diri kita.  Kalau perlu di setiap kesempatan, bicarakan dengan orang lain betapa bejadnya korupsi itu. Tuliskan kalau kita punya bakat menulis, tunjukkan pada semua orang bahwa kita benci dengan korupsi. Dengan demikian, niscaya sikap seperti ini akan membantu kita memagari diri terhadap tindakan tercela tersebut.
Buku ini pun, saya tulis dengan semangat demikian. Dalam pengantar saya sampaikan bahwa buku ini terutama saya tujukan untuk diri saya sendiri, untuk menjadi pagar bagi diri saya ketika berhadapan dengan kenyataan, berhadapan dengan kesempatan di mana saya mungkin untuk korupsi, hati saya tergoda untuk itu, tapi akal sehat saya menahan saya melakukan, karena saya ingat bahwa saya pernah menulis buku tentang korupsi. Dan saya akan malu melanggar apa yang telah saya tulis untuk orang lain.  
Kedua, kontrol sosial (Social Control). Seperti apa yang diminta Umar bin Khattab kepada kaum Mukminin adalah bentuk kontrol sosial. Kontrol sosial itu diciptakan, dibuat dan dikondisikan oleh diri sendiri. Banyak orang yang hidup di tengah masyarakat tapi kontrol sosial tidak berjalan bagi dirinya. Dia bergaul dengan banyak orang, tapi tidak seorangpun yang mau mengingatkan kesalahannya.  Kenapa? Karena dia tidak membangun kondisi untuk itu.
Mungkin mereka tinggal di perumahan yang tidak mau kenal satu sama lain, pagar rumahnya tinggi dan pintu rumah selalu tertutup. Orang seperti ini hanya keluar rumah untuk tiga hal; bisnis, pesta dan belanja. Dia tidak bergaul dengan siapapun yang bisa memberi nilai terhadap perbuatannya, atau dia tidak pernah memberi peluang pada orang lain untuk memberikan nasehat (tausiah) padanya. Orang seperti ini hidup dengan cara yang sangat ekslusif.
Untuk itu dia harus menciptakan kontrol sosial untuk dirinya sendiri. Mungkin dengan cara mendatangi kelompok-kelompok yang dapat memberi nilai positif di sana. Mungkin majelis ta’lim, kelompok diskusi, gerakan keagamaan dan kemanusiaan. Atau kelompok lainnya yang jelas memiliki ikatan sosial yang saling mengontrol.
Yang terpenting dalam hal ini adalah membangun kondisi yang kondusif pada diri sendiri agar kontrol sosial bisa berjalan dengan baik. Langkah ini memerlukan keterbukaan, dan untuk terbuka diperlukan jiwa besar. Kita harus dengan lapang dada mengundang siapapun untuk mengingatkan dan memberi tausiah untuk kita. Mungkin bawahan kita, anak kita, tetangga, teman se kantor, murid, atau mungkin orang yang tidak kita kenal tapi dia mengenal diri kita.
Kalau kita tidak terbiasa, ini memang sebuah sikap yang berat. Kadang kita sulit untuk membayangkan seorang bawahan datang pada kita dan meyebutkan daftar kesalahan kita. Apa yang harus kita lakukan? Hanya perlu keikhlasan untuk mendengarkannya. Kalau itu sebuah kebenaran tak ada salahnya untuk menerimanya, dan kalau dirasa yang disampaikan itu tidak sama dengan kenyataan, tinggal menjelaskan bahwa tidak demikian keadaannya.
Tanpa keikhlasan kita tidak akan bisa menerima hal demikian. Kadang ada orang yang meminta orang lain untuk menasehati dirinya, memberikan masukan terhadap kinerja dan kepemimpinannya, mencoba terbuka terhadap kritik dan saran dari orang lain. Namun ketika ada yang benar-benar memberikan kritik dan saran padanya, wajahnya langsung berubah masam. Dia langsung mengambil sikap defensif karena merasa pribadinya diserang. Dia memasang kuda-kuda untuk menyangkal semua kritik yang ditujukan pada dirinya. Nah, kalau demikian pastilah orang lain akan kapok memberikan masukan dan nasehatnya. Apalagi itu bawahannya di kantor, mereka pasti akan cari aman dan membiarkan bosnya itu berjalan sendiri. Yang penting bagi mereka, bos senang dan mereka aman.
Tentang keikhlasan menerima masukan ini, saya terkesan dengan sikap bos saya bapak Ahmad Marzuki (semoga Allah merahmatinya) yang sungguh rendah hati. Hampir di setiap pertemuan, juga dalam rapat, beliau selalu meminta nasehat pada saya. “Saya diberi nasehat dong!” pintanya dengan ikhlas. Saya katakan itu ikhlas karena menurut saya wajahnya tidak menunjukkan bahwa itu hanya sekedar basa basi.
Semula permintaannya itu terasa aneh bagi saya. Masak seorang bos minta nasehat pada anak buahnya? Beberapa kali ia meminta saya menasehatinya, tapi saya tak kunjung bisa melihat kesalahan pada dirinya. Sementara itu, nasehat dan masukannya mengalir dengan lancar pada pribadi saya tanpa sedikitpun menyunggung perasaan. Lama kelamaan saya yang merasa risih sendiri, kenapa tak mampu memberi nasehat apapun untuk bos saya ini padahal dia sudah memintanya berkali-kali. Bukankah saudara yang baik adalah saudara yang memberitahukan kekurangan saudaranya? Bukan saudara yang selalu memuji-mujinya setinggi langit yang membuat dia tanpa sadar jatuh terpuruk tanpa ada yang mengingatkan.
Inilah kontrol sosial. Kontrol yang kita bangun di luar diri agar kita tidak terjerumus dan tersesat. Anak, istri, keluarga, kerabat, tetangga, saudara, teman sekantor, bawahan kita, atasan kita, semuanya itu bisa menjadi kontrol sosial terhadap diri kita agar terhindar dari perilaku menyimpang seperti korupsi yang memalukan.
Ketiga, kontrol manajerial. Saudara mungkin pernah berada pada situasi di mana saudara menjadi pengendali tehadap segala sesuatunya. Di perusahaan atau di instansi tempat bekerja, saudara adalah decision maker. Saudara mempunyai bawahan yang tunduk pada perintah dan kemauan saudara. Mungkin saudara seorang manager atau seorang direktur. Dalam posisi seperti ini seseorang akan punya peluang besar untuk korupsi kalau tidak hati-hati.
Selain menguatkan kontrol diri dan kontrol sosial, ada lagi sebuah kontrol yang bisa diusahakan untuk menjauhkan korupsi dari kita, yakni membuat kontrol manajerial yang menjadi bagian dari mekanisme kerja. Dalam hal ini kita dituntut untuk terbuka terutama masalah keuangan, baik pada bawahan maupun  atasan kita. Kita bisa melakukan itu dengan membuat laporan secara berkala walaupun itu tak pernah diminta. Kepada bawahan kita harus bisa menunjukkan bukti-bukti pengeluaran untuk dipertanggungjawabkan. Sebab sekali mereka tahu kita mengeluarkan dana tanpa bertanggungjawab, kita akan sulit mengontrol mereka ketika mereka melakukan hal yang sama.
Ketika menjadi manager restoran, saya pernah melaporkan pada bagian keuangan tentang pengeluaran perbaikan pompa air sebesar Rp. 370.000,- yang diambil dari uang operasional yang saya pegang, dan saya ingin dia memasukkannya dalam catatan pengeluaran. Pengeluaran itu saya tulis dalam secarik kertas dan saya serahkan padanya, “Tolong dimasukkan!” Kata saya. “O, Ya pak!” jawab karyawan saya itu menerima perintah. Tapi kata O, Ya Pak-nya itu mengandung nada tanya yang tersirat di wajahnya. O really? Benarkah jumlahnya segini? Itu yang saya tangkap dari ekspresinya.
Saya memang tidak bisa menyalahkan karyawan ini karena selama ini saya menerapkan pengeluaran ketat dalam keuangan, semua pengeluaran harus ada bonnya. Tapi sekarang saya sendiri yang mengeluarkan uang tanpa bon dan rincian. Saya memang salah. Setelah itu saya segera memperbaikinya. Besoknya saya buat rincian penggunaan uang dan saya kumpulkan semua bon pembelian, kemudian saya berikan pada karyawan yang mengurus keuangan itu. “Ini rincian yang kemaren,” kata saya. “O, ya Pak!” jawabnya lagi. Tapi kata O ya Pak-nya kali ini sudah dengan nada puas, tak ada lagi tanda tanya yang tak terucapkan di wajahnya.
Ini yang saya maksud dengan kontrol manajerial, di mana kita membuat sendiri mekanisme dan sistem yang bisa memperkecil peluang siapapun untuk melakukan korupsi. Bukan hanya peluang kita, juga peluang bagi bawahan kita untuk melakukan hal yang sama. Bayangkan seandainya karyawan menduga kita melakukan penyimpangan karena kita tidak transparan dan disiplin masalah keuangan! Kita pasti akan mendapat masalah dalam memimpin mereka selanjutnya. Diam-diam mereka akan melecehkan kita sebagai atasannya. Kata-kata saudara (terutama himbauan moral) akan masuk di telinga kanan mereka dan segera dikeluarkan di telinga kiri. Penyimpangan yang dilakukan seorang atasan akan jadi gunjingan mereka. Mau tahu apa obrolan para karyawan ketika mereka istirahat di waktu senggang? Hasil survey menunjukkan 60% tema obrolan para karyawan adalah tentang bosnya, 30% tentang gosip, 7% curhat masalah pribadi, 3% lainnya tentang ide dan rencana mereka selanjutnya.
Apa yang penting dan dibutuhkan dalam membuat kontrol manajerial ini? Konsistensi. Tanpa konsistensi, usaha untuk mendisiplinkan diri kita ataupun bawahan kita akan jadi sia-sia belaka, karena sekali mereka mendapatkan kita tidak konsisten, itu sudah cukup jadi alasan bagi mereka untuk menolak semua sistem dan mekanisme kontrol yang kita terapkan.
Dengan gambaran seperti ini, kita bisa bayangkan seandainya seorang Menteri, Dirjen, Dirut, atau seorang Presiden melakukan korupsi? Tak disangsikan lagi, bawahannya pasti akan mengikuti. Diam-diam mereka akan “bermain” sendiri, mencari keuntungan sendiri untuk kepentingan diri sendiri. Siapa lagi yang bisa mengontrol perbuatan seperti ini? Tak ada, bos mereka pasti akan mengalami kendala psikologis untuk berbicara tentang moral dan korupsi di instansinya, karena dia sendiripun korup. Tak ada lagi yang bisa ditegakkan. Tak ada sistem atau mekanisme kontrol yang bisa dijalankan, karena mereka semua sudah bersikap TST (tahu sama tahu). Bagaimana mungkin tikus akan menangkap tikus. Bagaimana mungkin koruptor bisa mencegah korupsi. Karena membongkar korupsi sama dengan membongkar aib sendiri.
Itulah yang sekarang terjadi di beberapa instansi di pemerintahan kita. Korupsi berlangsung sangat akut, bahkan sudah vulgar dan terang-terangan. Tak ada yang bisa melerai. Tak ada yang bisa menjadi wasit karena mereka semua adalah pemain. Pemimpin-pemimpin yang korup, mereka seperti tongkat yang membawa roboh. Kalau tongkat yang sudah roboh, bagaimana orang bisa berdiri? Di mana lagi tangan akan bertumpu? Bagaimana bangsa ini akan ditegakkan?
Keempat adalah kontrol transenden. Ini adalah kontrol tertinggi, kontrol dari segala kontrol. Lahir dari keyakinan bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita rencanakan, baik yang tersembunyi atau terang-terangan, yang tersirat atau yang tersurat, bahkan Dia mengetahui apa yang terbersit di hati kita sebelum kita mengucapkannya.
Meyakini kalau Allah mengetahui segala perbuatan kita, tingkal laku kita, dimanapun dan kapanpun tanpa ada yang tersembunyi, tak pernah alpa apalagi lupa, bagi kaum Mukminin hal demikian adalah bagian dari tauhid. Tauhid rububiyah. Keimanan yang sudah sampai dalam taraf demikian dalam Islam disebut ikhsan.
Dalam sebuah majelis seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, duduk di samping Rasul dan meletakkan sebelah lututnya di atas lutut Rasul. Kemudian laki-laki itu bertanya, “Apakah Iman itu ya Muhammad? Kemudian Rasul menjelaskan tentang Iman. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, Apakah Islam itu ya Muhammad? Kemudian Rasul menjelaskan tentang Islam. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, Apakah Ikhsan itu ya Muhammad? Kemudian Rasul menjawab ; Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tapi jika engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah, Dia pasti melihat engkau. Kemudian laki-laki itu pergi, dan para sahabat bertanya-tanya, siapa laki-laki itu ya Rasulullah? dia adalah malaikat Jibril, jawab Rasul.”
Ikhsan adalah sikap tertinggi dari keimanan kaum Muslimin yang terimplementasi dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Orang yang ikhsan hanya berbuat dan bertindak hanya karena Allah. Takut dan cinta kepada Allah. Merasa selalu dikontrol oleh Allah. Tak berani berdusta, berbohong, menipu, berkhianat, merampas, menindas, dan korup. Bukan karena siapa-siapa, kecuali hanya karena takut kepada Allah.
Kalau Ikhsan sudah ada dalam diri manusia, dia akan jadi manusia yang tak diragukan lagi. Dia sangat bisa dipercaya, tsiqoh. Apapun yang ia kerjakan dan apapun yang diamanahkan kepadanya pasti akan dilaksanakan dengan baik. Dia tak akan menyeleweng barang sedikitpun, dia tidak akan berkhianat, dan dia tidak memerlukan kontrol manusia. Keyakinan bahwa Allah selalu melihatnya sudah cukup baginya.
Tentang hal ini dalam sebuah riwayat pernah diceritakan, yakni ketika Umar bin Khattab berkeliling untuk melihat keadaan kaum Muslimin, di sebuah padang ia bertemu dengan seorang gembala kecil yang seorang diri mengembalakan kambingnya. Saat pengembala kecil ini asyik menjaga gembalanya di padang rumput, Umar datang menghampirinya.
“Ini semua kambingmu?” tanya Umar.
“Tidak tuan, ini punya majikan saya.” Jawab anak gembala ini.
“Majikanmu di mana?”
“Dia tidak ada di sini, tuan.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kambingmu saya beli satu ekor, uangnya untukmu. Majikanmu kan tidak tahu. Kalau dia bertanya kamu bisa katakan kambingmu hilang atau mati dimakan serigala,” kata Umar membujuk.
“Saya tidak berani, tuan.”
“Kenapa?”
“Ya, saya takut.”
“Takut sama siapa? Bukankah tuanmu tidak melihat? Takkan ada yang mengetahui kalau kamu menjual kambing ini satu ekor saja. Hanya kita berdua yang tahu.”
“Kalau begitu, Tuhan di mana?” tanya anak itu polos. Menggugat Umar dengan keyakinannya bahwa Allah pasti melihat kita.
Inilah kualitas Iman seorang bocah gembala yang ditemui Umar. Kualitas yang sudah mencapai tingkat ikhsan. Ia merasa Allah selalu mengawasinya dan ia tak mungkin untuk berbohong. Bagaimana dengan kualitas Iman kaum Muslimin sekarang? Banyak yang cendrung sebaliknya. Ketika hendak melakukan kejahatan. Ketika hendak korupsi, kita segera melupakan Tuhan. Kita merasa seolah-olah Tuhan tidak ada dan tidak melihat kita. Dan kalaupun kita sadar, kita biasa berprasangka baik bahwa Tuhan pasti akan memaafkan kita dan mengampuni dosa kita. Bahkan setelah korupsi itu kita masih yakin kalau kita akan masuk sorga.
Jadi konsep ikhsan, kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita, adalah kontrol tertinggi dan tak tertandingi oleh manajemen moderen sekalipun. Pelatihan apapun yang dilakukan untuk pengembangan SDM yang berkualitas, terpercaya dan handal, hanya mampu membangun kesadaran temporer. Seseorang mungkin bisa bekerja dengan baik ketika ia menyadari bahwa ia sedang diawasi oleh atasannya. Tapi ketika ia tahu bahwa ia sudah tidak diawasi, ia akan kembali lalai dan melakukan penyelewengan. Inilah keterbatasan kontrol yang dilakukan oleh manusia pada manusia. Tapi orang yang ikhsan, dengan atau tanpa dikontrol oleh orang lain, ia akan tetap bekerja optimal dan tak berani melakukan penyelewengan, karena ia yakin bahwa dalam keadaan bagaimanapun, Allah selalu mengontrolnya.
Kejadian dua tahun yang lalu, seorang pengusaha cina dari Medan, pengusaha kaya raya, mempunyai beberapa perusahaan besar, mempekerjakan seribu lebih karyawan, dengan kesadaran penuh mengucapkan sahadatnya di Masjid Al-Azhar. Ketika diminta untuk menyampaikan kesaksiannya, dia menyampaikan alasannya kenapa akhirnya memilih Islam sebagai jalan keimanannya, si pengusaha yang sudah berganti nama menjadi Abdussalam ini menceritakan dengan panjang lebar.
Ia seorang bisnisman, sering ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya, bahkan selama berbulan-bulan ia tak pulang ke Medan.  Semula ia agak khawatir dengan perusahaan yang ditinggalkannya itu. Namun setelah dia kembali, perusahaannya masih terus berjalan dan bahkan mengalami perkembangan pesat. Karena penasaran ia bertanya pada anak buah yang dipercaya menjalankan perusahaan tersebut.
Anak buahnya yang Muslim itu kemudian menjelaskan konsep bekerja dalam Islam. Kata anak buahnya itu, bagi kami bekerja itu adalah ibadah. Karena ibadah, kami harus melaksanakannya sebaik mungkin, kami tidak hanya bertanggungjawab kepada manusia, atau kepada bapak sebagai bos kami, tapi bertanggungjawab kepada Allah, yang selalu mengawasi kami setiap waktu.
Nah, alasan inilah yang memikat pengusaha cina ini hingga akhirnya memilih untuk bersahadat dan mengganti namanya dengan Abdussalam.
Dengan kisah ini mungkin kata akan berangan-angan, seandainya semua orang Islam mengamalkan konsep ikhsan ini, pastilah ini akan menjadi syiar yang baik bagi Islam, dan akhirnya menarik bagi mereka untuk berbodong-bondong masuk Islam. Tapi sayangnya tidak demikian. Faktanya orang yang tersangka kasus korupsi di Negara ini bernama Abdullah, Muhammad, Akbar, Nurdin, Hasan dan lain-lain. Sungguh memalukan.
4 Kontrol yang harus dioptimalkan
1. Kontrol dalam Diri
2. Kontrol sosial
3. Kontrol Manajerial
4. Kontrol Transenden
Flowchart: Sequential Access Storage: Kiat 3:Jangan biarkan diri anda berjalan tanpa kontrol


 




Foto Taufiq Tan.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency