BAB II: Buku Obat anti Korupsi
BAB II
Nabilla kesal dengan kebiasaan ibunya yang suka mencatat
tanggal, hari dan nomor telepon di dinding rumah. Tanggal lahir anak-anaknya,
tanggal wisuda, tanggal pernikahan kakaknya, tanggal mereka pulang kampung dan
menetap di rumah itu. Tanggal padi mulai ditanam, tanggal si anu meminjam uang,
jumlah piutang yang ada pada tetangga, jumlah uang yang sudah dikembalikan dan
yang masih sisa. Bahkan bukan itu saja, ada lagi nomor telepon yang berderet
dan ditulis pakai spidol permanent. Nomor telpon paman yang di Jakarta , tante yang di Medan , Adik papa yang di Pekan Baru, dan
banyak lagi nomor telpon tanpa nama yang ditulis tergesa-gesa, miring tak
beraturan.
Ia menganggap apa yang dilakukan ibunya adalah kebiasaan
buruk dan tidak bisa diubah. Pernah ia membelikan buku khusus untuk
tanggal-tanggal dan nomor telpon agar ibunya bisa mencatat dengan rapi semua
yang dianggap penting. Tapi hal itu tidak bertahan lama, entah karena lupa atau
tidak biasa. Buku itu hilang entah ke mana, dan ibunya kembali menjadikan
dinding dan tiang rumah sebagai sasaran untuk mendokumentasikan semua angka dan
catatan penting yang tak mungkin diingatnya.
Sebenarnya Nabilla juga terbantu oleh catatan-catatan
ibunya itu. Ketika Nabilla buru-buru harus menelpon saudaranya, ia tinggal melihat
ke dinding dan dengan cepat bisa menemukan angka yang mereka cari. Tapi di luar
itu Nabilla tetap saja kesal dengan kebiasaan ibunya yang suka menulis di
dinding.
Sebenarnya ini kebiasaan baik di tempat yang tidak
tepat. Ibunya mungkin tidak tahu cara mencatat yang baik, tapi dia sadar bahwa
memori otaknya punya keterbatasan dan karena itulah semuanya harus tercatat,
dan itu bagus. Tidak semua orang punya kesadaran mencatat seperti ibunya
Nabilla ini. Bahkan banyak yang masih menganggap kurang penting untuk mencatat segala
transaksi, perjanjian atau perniagaan kecil atau besar yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Terkadang kesepakatan dengan mulut saja, kemudian
disimpan dalam ingatan dianggap sudah cukup. Mereka sudah yakin takkan ada
kekeliruan atau bahkan kesalahfahaman di kemudian hari. Toh yang penting bagi
mereka saling percaya satu sama lain.
Yang lebih menggelikan lagi, ada yang menghubungkan catat-mencatat
ini dengan ketidaksopanan. Lha apa hubungannya? Saya punya cerita unik, waktu kuliah
dulu saya pernah pindah kos ke rumah seorang bapak-bapak juragan kos. Ketika
saatnya membayar saya meminta kwitansi kontrak kamar tersebut sebagai bukti
perjanjian, eh! seketika si bapak menunjukkan wajah tersinggungnya, seakan-akan
apa yang saya lakukan itu sesuatu yang tidak pantas, seakan-akan saya tidak
percaya dengan beliau, seakan-akan saya meremehkan beliau yang sudah tua dan
tidak punya ingatan yang baik.
“Kalau mau ngontrak di sini harus saling percaya mas.
Mas’e percaya saya dan saya juga percaya mas’e. Saya sudah lima belas tahun mengurus kontrakan tanpa
kwitansi-kwitansian, dan tidak pernah ada masalah mas. Sekarang mas’e maunya
gimana, kalau mau di sini ya masuk, kalau nggak ya nggak apa-apa,” kata si
bapak itu dengan wajah tersinggung. Saya akhirnya ikut saja meskipun ada rasa
was-was di hati.
Eh, beberapa bulan kemudian memang ada kejadian. Teman
sebelah kamar saya bersitegang urat leher dengan si bapak. Teman ini yakin dia
masuk bulan Maret dan itu masih satu bulan lagi. Tapi si bapak yakin teman ini
masuk bulan Februari dan sekarang dia sudah harus keluar. Dua-duanya merasa
yakin dan dua-duanya tak punya bukti yang bisa ditunjukkan. Semuanya menjadi
konyol karena ini masalah yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau perjanjian
kontrak dituliskan sebelumnya. Kalau sudah begini, menurut saya pengadilanpun
takkan bisa memutuskan. Namun akhirnya teman ini mengalah, dia pindah saat itu
juga.
Sejak kejadian itu saya jadi agak nyinyir. Tiap ketemu
si bapak, sambil lalu (kadang sambil bercanda) saya selalu mengingatkan bahwa
kontrakan saya berakhir pada 5 Oktober. Iya, iya, cerewet sih kowe. Mau
perpanjang nggak, mas? Tanya si Bapak. Mau asal dibuatin kwitansinya, jawab
saya bercanda, dan si bapak hanya mesem-mesem.
Jadi jangan remehkan urusan catat mencatat meski untuk
transaksi yang jumlahnya tidak seberapa. Banyak urusan tijaroh, utang piutang,
sewa menyewa, bermasalah di kemudian hari karena akad/kesepakatannya tidak
dicatat, atau istilahnya tidak ada hitam di atas putih. Masalah yang ditimbulkan
karena tidak adanya bukti tertulis ini kadang bisa menjadi rumit, kadang tidak
terselasaikan, kalaupun ada yang selesai pasti dengan hati yang sudah rusak,
hubungan yang sudah rusak, persaudaraan yang jadi berantakan.
Mencatat segala urusan atau transaksi antar manusia tidak
ada hubungannya dengan percaya tidak percaya. Apalagi dengan ketidaksopanan.
Tidak ada sama sekali. Ini adalah keharusan untuk menghindari kekhilafan dan
kesalahpahaman akibat keterbatasan manusia. Memori otak kita terbatas, banyak
hal yang kadang-kadang melintas dalam pikiran kita, dan banyak hal juga yang
berlalu dan luput dari ingatan kita. Karena itu wujud konkrit dari sebuah
kesepakatan harus ada hitam di atas putih, kalau bisa kedua belah pihak
memegang bukti kesepakatan tersebut agar terhindar dari perselisihan.
Hal ini jauh-jauh sudah diingatkan Allah dalam Al-Qur’an
kepada kita. Dalam ayat yang panjang Allah berfirman: “…Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ….dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. (QS: Albaqarah 282).
Kita kadang suka lupa dan tidak disiplin dalam mencatat
transaksi atau utang piutang kita. Apalagi hutang yang kecil-kecil yang kita
anggap remeh. Kemampuan memori otak kita kadang tidak cukup akurat untuk
mengingat semua yang kita lakukan dalam jangka waktu tertentu. Seperti
kebiasaan seorang tukang ojek yang makan di warteg langganannya. Karena sudah
langganan, beberapa kali habis makan tukang ojek ini bilang pada ibu yang
menjual, “utang dulu bu, ntar sekalian bayarnya akhir bulan!” Yang punya warteg
oke saja untuk menjaga hubungan dengan pelanggannya.
Sampai lima
kali berhutang, yang keenam tukang ojek ini mulai ragu, apalagi beberapa di antaranya
ada yang pernah dibayar dan ada yang tidak. “Saya berhutang sudah empat atau lima kali ya?” dia
kesulitan mengingat-ingat. “Perasaan” baru empat kali ngutang. Nah lho! Jangan
mengira-ngira. Jangan main perasaan dan memilih perkiraan terkecil dalam
hitungan. Bagaimana kalau ternyata sudah lima ?
Hayo!. Beruntung kalau yang punya warteg
mencatat juga piutangnya, kalau tidak? Dia akan berhutang seumur hidup yang dia
tidak ketahui. Dan yang lebih baik, seperti yang difirmankan Allah dalam ayat
di atas, kedua belah pihak masing-masing mencatat kemudian bisa mencocokkannya
saat pembayaran.
Dalam hal keuangan sering juga terjadi demikian. Anda
mungkin memegang uang perusahaan atau uang organisasi yang anda bendaharanya.
Kemudian ada pengeluaran-pengeluaran tak terduga yang menyebabkan anda
menggunakan uang itu. mungkin jumlahnya tidak seberapa. Mungkin cuma duapuluh
atau limapuluh ribu rupiah. Anda merasa bisa megingatnya karena jumlahnya yang
sedikit. Sekali dua kali mungkin tidak apa-apa, tapi coba saja beberapa kali,
anda akan mengalami keraguan. Contohnya, pertama uang organisasi terpakai oleh
anda untuk keperluan pribadi Rp.30.000,- tiga hari kemudian terpakai lagi Rp.
25.000,- anda sudah mengingat-ingat jumlahnya Rp. 55.000,- dan anda akan
membayarnya dua hari kemudian. Karena anda punya uang dan anda yakin akan
membayarnya. Empat hari kemudian uang organisasi terpakai lagi oleh anda Rp.
45.000, dan tujuh hari kemudian terpakai lagi Rp. 35.000,- Sudah berapa hutang anda?
Anda cicil utang anda Rp. 50.000, dan anda “merasa” utang anda tinggal Rp.
30.000 lagi. Anda lupa bahwa utang Rp. 55.000 yang yakin bisa anda bayar dua
hari kemudian ternyata belum anda bayarkan. Anda lupa. Tapi anda “merasa” sudah
membayarnya. Utang anda sebenarnya masih Rp. 85.000,- tapi anda merasa utang
anda tinggal Rp. 30.000 lagi. bagaimana ini bisa terjadi? Karena anda tidak
mencatatnya.
Mungkin pembaca akan bertanya, di mana letak korupsinya
persoalan ini? Tergantung dari cara kita menyelesaikannya.Yang jelas anda akan
mendapatkan persoalan dengan selisih antara uang yang tercatat di saldo dengan
uang yang ada di tangan. Yakni sebesar Rp. 55.000. Akan menggantinya dengan
uang pribadi? Ya, itu cara yang aman dan menjauhkan anda dari sesuatu yang
meragukan. Artinya anda memilih mengalah karena sumber persoalannya memang dari
keteledoran dan ketidakrapian pencatatan anda. Kalau demikian anda tidak akan
terjebak dalam korupsi.
Tapi kalau seandainya anda memilih tidak bertanggungjawab
atas selisih jumlah uang yang ada, atau lebih parah lagi mencoba mensiasati
pembukuan dengan membuat pengeluaran fiktif sejumlah selisih uang yang hilang
tersebut, karena anda merasa tidak memakainya dan anda tidak mau
bertanggungjawab, itu artinya tanpa anda sadari anda sudah terjebak dalam
sebuah tindakan korupsi.
Saya pernah berada dalam situasi seperti ini dan saya
ingin berbagi cerita dengan anda. Biasanya saya menghitung/mencocokkan omset
dan pengeluaran restoran setiap akhir bulan. Tapi pernah suatu ketika hampir
tiga bulan saya tidak menghitung dan mengoreksi pembukuan yang dibuat oleh karyawan
saya. Kemudian saya menemukan selisih yang signifikan antara saldo yang
tercatat dengan uang yang ada, termasuk
uang yang disetor ke bank. Ada
selisih Rp. 500.000,- dan saya mencoba mengingat-ingat semua pengeluaran yang
mungkin belum tercatat. Saya telusuri lagi pembukuan selama tiga bulan itu. Saya
bolak balik buku keuangan berkali-kali. Saya cek satu per satu, mungkin ada
omset yang ditulis melebihi pendapatan yang sebenarnya, atau ada pengeluaran
yang sudah dibayarkan tapi belum tercatat. Sayangnya saya tak menemukan apa-apa.
Saya mencoba mengingat-ingat kembali uang yang pernah
saya pakai dan “perasaan” sudah saya kembalikan semua. Perasaan saya, dan itu
jelas tidak ada catatannya. Suatu pelajaran barangkali, seyakin apapun kita
dengan perasaan kita, kemungkinan salahnya tetap saja lebih besar dibanding
kita tuliskan di atas kertas.
Akhirnya saya harus menanggung konsekwensi dari
keteledoran ini. Sempat terpikir oleh saya membuat pengeluaran fiktif untuk
menyamakan jumlah uang yang ada dengan saldo yang tercatat. Saya kira itu
adalah cara aman untuk tidak bertanggungjawab. Toh saya merasa tidak
memakainya. Tapi setelah saya pikir lagi, itu cara yang tidak bertanggungjawab,
dan akan jadi preseden yang buruk bagi diri saya sendiri. Berterus terang
meskipun pahit, jauh lebih baik daripada memanipulasi kenyataan. Dalam laporan
rutin saya sampaikan keadaan keuangan ini pada para investor apa adanya. Saya
jelaskan kesalahan yang tidak saya temukan ujungnya. Mereka mengerti dan tidak
mempermasalahkan. Tapi sebagai tanggungjawab professional, saya putuskan untuk
mengganti uang yang raib itu dengan gaji saya sendiri.
Sebuah pengalaman yang mungkin pernah kita alami. Bahwa kita
pernah tidak siap menjelaskan sebuah kesalahan pada orang lain. Kita tidak siap
menyampaikan berita buruk pada atasan sehubungan dengan pekerjaan kita. Kita
takut disalahkan, takut dianggap tidak professional dan takut dipecat dari
pekerjaan. Karena itu kita lebih suka mensiasati keadaan, memanipulasi
pembukuan, meniadakan persoalan bahkan dengan cara-cara yang tidak bertanggungjawab.
Masalahnya akan berbeda lagi kalau kita menengok dunia
politik. Ini kebalikan dari yang kita bicarakan di atas. Di dunia politik bukti
tertulis akan menjadi barang haram dan berbahaya. Sebuah kwitansi atau tanda
serah terima bisa menyeret seorang politisi ke pengadilan, atau membuatnya
terjerembab ke dalam skandal yang mencoreng karirnya. Dunia ini punya cara
kerja yang tidak sama dengan dunia dagang dan usaha. Transaksi di dunia politik
lebih banyak terjadi di belakang layar, disepakati secara lisan tanpa bukti
apapun. Misalnya seorang pengusaha mendanai biaya kampanye seorang calon
gubernur atau walikota, mengucurkan dana puluhan milyar dan ditransfer ke
rekening yang sudah ditentukan. Dealnya
cukup lewat lisan saja. Kesepakatan berjalan. Kalau ada persoalan di tengah
jalan, para politisi akan menyelesaikan dengan caranya sendiri.
Saya kira terlalu sulit kita menjamah dunia politik
dalam konteks pembicaraan dalam bab ini. Terlalu gelap dan ruwet, meskipun kita
tahu bahwa sebenarnya korupsi yang besar-besar terjadi di dunia ini. Tepatnya
dunia politik yang melakukan perselingkuhan dengan dunia usaha, berada dalam
hubungan yang saling membutuhkan. Penguasa yang ingin melanggengkan
kekuasaannya, dan pengusaha yang ingin mendapat perlindungan dan kemudahan
dalam bisnisnya.
***
Hal lain yang juga penting dalam pencatatan ini adalah
masalah akad, baik akad jual beli, akad sewa-menyewa, akad kerjasama ataupun
akad kontrak kerja. Sering orang mendapat masalah di kemudian hari karena akad
yang tidak jelas di antara kedua belah pihak. Atau tidak rinci dalam
menjelaskan hak dan kewajiban, sehingga ketika terbentur pada satu persoalan, semua
mengklaim sebagai pihak yang benar dan tak ada yang mau mengalah.
Jadi klausul
dalam perjanjian itu harus detil dan harus diperhatikan dengan seksama.
Kalau kita menekan kontrak kerjasama usaha misalnya, kita harus mengerti
kerjasama yang dilakukan dalam bentuk apa, di mana posisi kita, berapa lama
kontrak itu berlaku, berapa bagian masing-masing, dari keuntungan bersih atau
kotor. Juga seandainya terjadi kemungkinan terburuk, apa resiko yang akan ditanggung
oleh masing-masin pihak, dan lain-lain yang sekiranya perlu untuk diketahui.
Juga seandainya
dalam membuat kontrak kerja, kita harus mengerti hak kita, gaji per
bulan, tunjangan apa saja yang didapatkan, kewajiban kita, jam kerja kita, job description kita, apa saja yang akan
dikerjakan. Jangan sampai kontraknya sebagai sekretaris tapi kerjanya tak terbatas,
mencuci mobil bos, mengantar istri bos ke salon. Itu jelas tidak bagus. Dan
yang penting kita mendapatkan itu secara tertulis. Hitam di atas putih.
Nah, kalau itu sudah tertera hitam di atas putih,
berarti sudah ada pegangan. Sesuatu yang berlangsung di luar perjanjian itu
adalah penyimpangan, baik yang menyangkut hak maupun kewajiban kita. Kita sudah
punya rambu-rambu dalam bekerja. Sudah punya pegangan mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan, ini penting bagi kita.
Sering ketidakjelasan dalam perjanjian menuai masalah di
kemudian harinya. Sebuah contoh dalam hal ini ingin saya kemukakan di sini.
Seorang kepala desa di Sumatera Barat dituntut oleh warganya, pasalnya setelah
jabatannya berakhir si kepala Desa ini tidak mengembalikan sepeda motor Banpres
yang biasa dipakai untuk operasional. Memang akadnya tidak jelas, apakah sepeda
motor ini untuk kepala desanya atau untuk desa yang bersangkutan. Ini
ketidakjelasan pertama. Kemudian kepala desa ini berdalih bahwa ia sudah
mengabdi selama hampir sepuluh tahun dan bekerja tanpa digaji. Sebagai imbalannya
ia merasa pantas untuk memiliki sepeda motor itu sebagai kompensasi dari
kerjanya selama ini.
Argumen kepala desa ini mungkin sangat manusiawi. Ia
sudah mengabdi cukup lama dan ia pantas mendapat sedikit imbalan dari
pengabdiannya. Tapi argument ini saya kira muncul belakangan. Yang perlu
ditelusuri, bagaimana akadnya pertama kali waktu diangkat menjadi kepala desa?
Kalau akadnya dia memang tidak digaji, berarti dia tidak berhak menuntut apapun
sebagai imbalan dari pekerjaannya.
Seharusnya dulu sebelum diangkat menjadi kepala desa, si
kepala desa ini harus meminta kejelasan terhadap hak-haknya. Misalnya mungkin
dia tidak menerima gaji per bulan, tapi dia berhak mendapatkan sekian persen
seandainya ada dana-dana bantuan dari pemerintah. Karena mengambil sesuatu
tanpa akad yang jelas, apapun alasannya akan jatuh pada tindakan korupsi.
Tantang masalah digaji dan tidak digaji ini, saya ingin
membagikan pengalaman buruk saya pada anda. Pada Pemilu 1999 saya pernah
terlibat di lembaga pemantau pemilu yang didanai oleh pendanaan internasional,
UNDP dan USAID. Pembaca mungkin tahu bagaimana euphoria demokrasi di Indonesia pada
saat itu. Bukan hanya di dalam negeri, dari luar negeripun dukungan dana
mengalir deras untuk mensukseskan Pemilu pertama pasca runtuhnya Orde Baru.
Salah satu dana yang banyak dikucurkan itu adalah untuk NGO lembaga pemantau
pemilu.
Untuk kami yang di Sekretariat Daerah, ada sebuah
klausul yang berbunyi : “Pengurus Sekretariat Daerah tidak mendapatkan gaji…” lembaran
fax yang dikirim dari Jakarta
menyebutkan hal demikian. Tapi kami tak menggugat, kami tak menuntut kejelasan,
dan kami tetap bekerja dengan dana yang banyak. Kami tak bergaji tapi kami
sejahtera. Kami menggunakan dana dengan boros karena itu kami anggap sebagai
konpensasi dari kerja kami yang tidak bergaji. Kami ke mana-mana naik taksi,
kami rapat di restoran mahal, menginap di hotel berbintang, dan kami semua
membeli handphone untuk kebutuhan komunikasi kami, barang yang pada tahun itu
saya rasa masih sangat langka. Dan semua pemakaian itu bisa
dipertanggungjawabkan.
Setelah proyek pemantauan selesai. Kami dihadapkan pada
persoalan baru. Ada
uang sisa dalam jumlah yang signifikan dan kami harus menentukan nasib uang itu.
Klausul yang menyebutkan bahwa kami tidak bergaji sebenarnya sudah cukup untuk
alasan bahwa kami tak berhak atas uang sisa itu. Tapi aspirasi kebanyakan kami
tidak menunjukkan demikian. Kami sudah bekerja keras untuk menyelesaikan kerja
besar ini dan kami merasa layak untuk mendapatkan sesuatu. Mungkin itu bukan
gaji, tapi esensinya sama dengan gaji. Maka kami sepakatilah kata “reward” untuk menyebutkan penghargaan
material terhadap kerja tersebut.
Kami sepakat bahwa kami berhak mendapat reward karena ini proyek besar. Pikiran
tentang reward ini muncul setelah
kami tahu bahwa lembaga pemantau ini punya banyak uang, ada 26 milyar rupiah
dana internasional yang mengucur ke pengurus pusat. Masak pengurus pusat saja yang kenyang? Masak kami yang di daerah tidak mengantongi serupiahpun?
Akhirnya atas kesepakatan bersama uang itu kami bagi.
Masing-masing kami mendapat sesuai dengan jabatan dan tanggungjawab kami di
kepengurusan. Kami tidak peduli apakah ini ada dalam kesepakatan awal atau
tidak. Kami merasa sudah bekerja dan kami merasa berhak mendapatkan reward dari pekerjaan itu. Korupsikah ini? Mungkin iya. Saya juga tidak
yakin. Uang itu saya pakai untuk modal usaha buku dan usaha saya bangkrut.
Tapi ini jelas bukan jalan yang baik. Kadang keputusan
legal formal tidak cukup untuk melegitimasi apa yang kita dapatkan itu halal
atau tidak. Banyak pejabat Negara, anggota DPRD, secara kolektif tersangkut
kasus korupsi setelah mereka membuat keputusan untuk diri mereka sendiri. Keputusannya
mungkin sah dan legal, tapi tidak mengindahkan rasa keadilan bagi orang lain.
Jadi sebuah kesimpulan yang bisa kita ambil, bahwa akad/perjanjian
dalam sebuah kesepakatan penting untuk diperhatikan. Kadang kita menerima suatu
amanah begitu saja dan sungkan untuk mananyakan hak-hak kita. Kita takut
dianggap matre, tidak ikhlas, atau mata duitan. Kalau toh amanah itu menyita
waktu dan tenaga, kita tak perlu sungkan untuk menanyakannya, apakah kita
digaji atau tidak? Kita mendapat konpensasi atau tidak? Sebab setelah kita
menerima amanah tanpa digaji, tapi ternyata di tengah jalan kita mengambil
konpensasi lain sebagai ganti gaji yang tidak ada itu, jatuhnya kita sudah
melakukan tindakan korupsi.
Komentar
Posting Komentar