BAB IV: BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB IV
Lingkungan kehidupan ini seperti medan magnet. Dalam dua kutubnya hanya
berlaku dua hukum, menarik atau ditarik. Mempengaruhi atau dipengaruhi. Tak ada
yang bisa berdiri sendiri di luar itu. Kalau anda bukan orang yang sedang mempengaruhi,
berarti anda sedang dipengaruhi.
Banyak orang yang mencari kerja merasa perlu untuk
memilih lingkungan kerjanya. Bahkan ada yang menolak pekerjaan atau keluar dari
sebuah pekerjaan hanya karena faktor lingkungan kerja yang tidak nyaman.
Lingkungan kerja yang rusak dan bobrok. Seorang pegawai negeri sipil yang lulus
di Departemen Kehakiman dua tahun lalu tanpa menyesal memilih keluar karena alasan
lingkungan kerja yang tidak mendukung.
Bagi sebagian orang lingkungan kerja yang baik menjadi syarat
yang tak bisa ditawar-tawar. Tapi tidak semua orang juga berani mengambil sikap
ekstrim dengan keluar dari pekerjaan karena berbagai pertimbangan. Bahkan ada
yang mencoba membangun angan-angan besar, yakni bertekad merubah lingkungan kerja
yang bobrok dan korup itu menjadi lingkungan yang bersih. Menurut saya itu
sungguh cita-cita yang sangat mulia.
Tapi banyak pengalaman menunjukkan kenyataan yang
sebaliknya. Alih-alih ingin merubah, tapi malah dirinya yang dirubah oleh
lingkungan. Alih-alih ingin mempengaruhi, tapi malah terpengaruh, alih-alih
ingin mewarnai, tapi malah diwarnai. Akhirnya dia sendiri tersedot menjadi
bagian dari lingkungan yang bobrok itu.
Kenapa bisa demikian? Mungkin karena dia datang seorang
diri. Bertarung single fighter. Sebuah
lingkungan yang sudah terbentuk dengan mapan, kebobrokan yang sudah
tersistematis dan rapi. Mengakar dan akut. Tiba-tiba dia masuk seorang diri
ingin menghadang. Entah dia seorang yang istimewa, berpribadi tangguh,
berkarakter kuat, bisa memaksa semua orang untuk tunduk padanya. Tapi jelas itu
tidak mudah, bisa-bisa lingkungan yang sudah bobrok itu melemparkan dirinya dan
membuatnya terkapar tak berdaya. Bisa saja karirnya terancam dan berakhir
dengan cara yang mengenaskan.
Kecuali bagi mereka yangberada di posisi puncak, mereka yang
menjadi decision maker dan punya
wewenang untuk menekan orang lain. Itu mungkin lebih mudah baginya untuk
mempertahankan diri dari pengaruh korupsi, bahkan dia sendiri berpotensi untuk
mempengaruhi orang lain. Tapi bagi mereka yang hanya seorang bawahan, atau
seorang karyawan yang tidak punya kewenangan yang luas. Saya kira dia
memerlukan kekuatan ekstra untuk bisa bertahan di tempat kerja seperti ini.
Seorang akuntan di Departemen Keuangan pernah menuturkan
pengalaman pahitnya pada sebuah media. Dia yang demikian hati-hati dalam
pekerjaan. Tidak pernah menerima sesuatu imbalan yang tidak jelas asal usulnya
apapun bentuk dan wujudnya, baik itu tanda terimakasih ataupun sogokan. Hal
demikian juga bisa dikondisikannya dalam keluarga. Rumahtangganya hidup
sederhana dari gaji yang diterima bulan per bulan. Anak dan istrinya tidak
pernah mengeluh dan mereka merasa cukup saja.
Melihat dia yang demikian, bosnya jadi dekat dengannya,
menaruh respek dan sering ber-silaturrahmi
ke rumahnya. Setiap datang bosnya selalu membawa oleh-oleh dan suka memberi
uang jajan dalam amplop pada anak-anaknya. Selama itu dia mengira semua yang dilakukan
bosnya wajar-wajar saja.
Suatu ketika saat kantornya membutuhkan “pengsiasatan”
keuangan dan bos meminta mereka harus membuat laporan keuangan yang tidak
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Semua akuntan dikantor itu setuju
kecuali dia. Baginya hal itu sudah termasuk penyimpangan dan bertentangan
dengan hati nuraninya. Bosnya kemudian menekannya dengan bermacam cara agar
ikut saja dengan kesepakatan yang ada dan tidak usah sok suci. Tidak usah
munafik. Semua orang di kantor ini telah memakan uang sogokan tanpa terkecuali.
Dia merasa tidak munafik. Dia memang tidak pernah
melakukan hal-hal tercela dalam pekerjaannya dan tidak pernah menerima se-rupiahpun
uang yang tidak jelas juntrungnya. Tapi ternyata tidak demikian. Bosnya
kemudian membeberkan bahwa uang yang setiap datang diberikan pada anaknya
adalah uang dari hasil penyimpangan yang dilakukan selama ini.
Apa yang dikatakan bosnya membuatnya shock, tak percaya,
seperti disambar petir di siang bolong. Dia dipermalukan di hadapan orang
banyak, seolah-olah dirinya tak lebih baik dari yang lain. Harga dirinya
seperti diinjak-injak. Teman-temanpun memandangnya dengan sinis. Mereka mengatakan,
Jangan munafik lah! Jangan sok suci lah! Anda juga makan uang haram. Anak anda
juga. Kita semua makan uang haram.
Karena itu tak ada alasan anda menolak bekerja sama untuk melakukan manipulasi
ini.
Kenyataan ini membuatnya tak berkutik. Ia merasa
tertampar. Bosnya yang selama ini dikira baik ternyata telah menjebaknya. Kemudian
ia pulang dengan lunglai dan menceritakan pada istrinya musibah yang baru
dihadapi. Tapi istrinya yang sholehah itu telah melakukan sesuatu yang tak
disangka-sangka. Ternyata uang yang diberikan oleh si bos pada anaknya tidak disentuh
sedikitpun. Uang itu disimpan istrinya dalam almari dan masih utuh di dalam amplop.
Luar biasa. Keluarganya telah menyelamatkannya dari jebakan yang menghinakan.
Akhirnya dia datang menemui bosnya itu dan mengembalikan setumpuk amplop berisi
uang yang selama ini dihadiahkan si bos pada anaknya. Dia merasa puas bahwa
ternyata tak ada yang bisa membeli harga dirinya bahkan bosnya sekalipun. Kejadian
ini semakin menguatkan dirinya untuk tetap terus maju menentang korupsi.
Demikianlah sebuah contoh lingkungan yang korup bisa
membahayakan kita, keluarga kita, anak dan istri kita. Menjadi baik di dunia
yang rusak memang sangat asing. Butuh mental yang kuat untuk bisa lolos dari
kepungan-kepungan godaan yang datang bertubi-tubi. Kalau kita tidak siap dan
punya mental tanggung, sebaiknya menghindar saja. Itu jauh lebih baik dari pada
terperosok ke dalam jurang kehinaan.
Sebuah cerita lagi berkenaan dengan lingkungan yang
korup ini saya dapatkan dari seorang teman yang bekerja di perusahaan Jepang
yang bergerak di bidang produksi spare
part sepeda motor, dia menyampaikan keluhannya. Di lingkungan kerja
teman-temannya biasa melakukan korupsi kecil-kecilan. Di sana seorang karyawan pada level supervisor boleh
membawa orang jika dia memerlukan tenaga baru dalam divisinya. Bosnya yang
orang Jepang memberi kesempatan untuk mengajukan orang yang dianggap kompeten
dan kemampuannya bisa dipertanggungjawabkan untuk menunjang pekerjaannya.
Suatu ketika teman ini membutuhkan seorang tenaga teknik
dan dia mencari sendiri orang yang ia butuhkan. Kebiasaan di sana , kalau ada karyawan yang memasukkan
orang baru, mereka harus mentraktir semua teman-teman di kantor. Istilahnya
bagi-bagi rejeki. Karena biasanya, setiap karyawan yang memasukkan orang baru
pasti pakai uang, ini dianggap proyek sampingan orang dalam. Tapi teman ini
tidak mentraktir siapapun karena dia memang tidak memungut sepeserpun dari
orang yang dimasukkannya. Siapa yang percaya. Orang-orang di kantor menyindirnya
dengan sinis, “makan sendiri! Tak mau bagi-bagi.”
Nah, bagaimana harus menjelaskannya. Di lingkungan
seperti ini korupsi, menyogok, pungli, itu biasa. Sangat biasa. Mungkin se-biasa
makan dan minum yang mereka lakukan setiap hari. Justru ketika ada orang jujur
dan tidak korup di sini, dialah yang aneh. Kenapa orang seperti itu ada di
sini? Orang yang tidak gaul, suka makan proyek sendiri, berlagak sok suci
padahal intinya tak ingin membagi-bagi. Ingin menguasai. Dan lain sebagainya
tuduhan miring yang tak kenal ampun.
Di sini kejujuran tak mendapat tempat. Jangan berharap mereka
akan bersimpati, malah mereka akan menunjukkan sikap permusuhan. Di sini orang
jujur akan jadi musuh bersama, disisihkan dan diasingkan dari pergaulan kantor.
Mereka solid sesama mereka dan alergi dengan orang yang jujur. Kalau ada orang
jujur yang ikut nimbrung dalam obrolan mereka, mereka akan berhenti dan bubar
satu per satu. Mereka menciptakan kondisi yang tidak nyaman untuk orang jujur.
Siapa yang tahan dengan perlakuan seperti itu? Lama-lama orang akan tersinggung.
Dibuat tidak nyaman. Dan suatu saat ketika ketidaksabaran sampai pada
puncaknya, gerah dan tak tahan, yang tidak bisa menyesuaikan diri akan
terpental dari lingkungan yang korup. Dan saat dia memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya, mereka bersorak, “Yes!!!”, sebuah kerikil telah disingkirkan, dan
mereka dapat dengan leluasa meneruskan tradisi mereka. Tradisi korupsi.
Nekad ingin bertahan untuk bekerja di lingkungan yang
korup? Silahkan saja. Tapi hal itu butuh ketahanan mental yang luar biasa. Butuh
power untuk beradu kuat, siapa yang tidak tahan silahkan menyingkir, siapa yang
punya pengaruh kuat akan menguasai. Yang lain hanya akan jadi pengikut. Kalau
anda bisa lolos dalam tekanan situasi seperti ini, anda sungguh manusia yang istimewa.
Atau anda tidak tahan dengan tekanan lingkungan yang
korup? Kemudian bersikap lunak dan memilih berkompromi untuk bisa diterima di
lingkungan kantor? Tidak siap menerima pengasingan yang menyakitkan? Kalau hal demikian
terjadi, berarti ketangguhan anda hanya
sampai di situ. Sebuah lingkungan yang korup telah mengalahkan diri anda. Kenyataannya
anda tidak mampu mempengaruhi, tapi malah lebur dan terpengaruh. Ini sungguh
merupakan akhir yang buruk bagi sikap moral anda.
Inilah bahaya lingkungan kalau kita tidak bisa
mengendalikannya. Tak peduli siapapun kita. Kalau tidak hati-hati, kita akan
digulung oleh lingkungan yang korup. Sistem yang korup. Lingkungan telah
mewarnai kita dan kita tak berdaya melawannya. Karena itulah kalau kita yakin
tidak bisa merubah apapun, disarankan untuk mencari lingkungan yang baik, teman
yang baik, tempat tinggal yang baik, karena hal itu akan menyelamatkan kita
dari pengaruh yang buruk.
Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW mengatakan: “Perumpamaan
orang yang bergaul dengan orang yang sholeh adalah seperti orang yang duduk dan
bergaul dengan tukang parfum, mungkin dia tidak mendapatkan parfumnya, tapi akan
kecipratan bau harumnya. Sebaliknya, kalau orang bergaul dengan pandai besi,
mungkin dia tidak kecipratan apinya, tapi akan kecipratan asap dan panasnya.”
Bahkan dalam doapun kita dianjurkan untuk meminta, “Allahummadkhilna mudkhola sidqin waakhrijna
mukhroja sidqin!” Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang benar, dan keluarkanlah aku dari orang-orang yang keluar dari kebenaran.
Atau dalam doa lain kita diminta untuk berharap, “Allahummaj’alni min ‘ibadikas sholihiin!” Ya Allah, jadikanlah aku
bagian dari hamba-hamba-Mu yang sholeh.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam masa pemerintahannya
pernah melantik seseorang jadi gubernur di sebuah wilayah. Kemudian ada orang
memberitahukan padanya bahwa yang bersangkutan pernah memegang jabatan yang
sama pada masa pemerintahan Hajaj bin Yusuf (pemerintah sebelumnya yang korup).
Kemudian dengan segera Umar mengeluarkan surat
perintah untuk memecatnya. Orang tersebut datang menghadap Umar, dan
menyampaikan bahwa dirinya tidak lama bekerja dalam pemerintahan Hajaj.
“Pergaulanmu dengannya selama sehari saja sudah cukup
untuk menjadikanmu orang yang buruk,” jawab Umar tegas. (Kisah dalam Ihya Ulumuddin, dikutip dari Kitab Fadhail Amal, Pustaka Ramadhan, 1993).
Itulah pengaruh buruk dari pergaulan. Dengan siapa kita
bergaul, dengan siapa kita bekerja sama, dengan siapa kita ber-partner, adalah
cermin bagi orang lain untuk menentukan siapa diri kita. Untuk itu lingkungan
yang baik, pergaulan yang baik, menjadi ukuran track record seseorang. Karena dengan siapa kita bergaul, kurang
lebih seperti itulah diri kita.
***
Dengan sangat berat hati saya sampaikan berita buruk ini
pada anda, terutama bagi anda yang berniat menjadi orang jujur. Di negeri ini jadi
orang jujur tidak dihargai sedikitpun. Banyak orang jujur tersia-sia di sini, diasingkan,
disingkirkan, bahkan harus menjalani hidup lebih buruk dari orang yang tidak
jujur.
Beberapa tahun yang lalu seorang hakim muda yang
membongkar kasus korupsi di MA sempat membuat geger dunia hukum di Indonesia . Dari
kasus yang dimunculkan itu masyarakat jadi tahu betapa bobroknya hukum di
negeri ini. Masyarakat jadi tahu bagaimana sebenarnya perilaku penegak hukum
yang seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjaga kehormatan Negara.
Keberaniannya menyuarakan keadilan di tengah rusaknya
peradilan harusnya mendapat aplus dari pemerintah. Ternyata tidak, hanya segelintir
masyarakat yang kritis yang bersimpati
dan mendukung langkah beraninya. Yang
lain hanya mendukung diam-diam. Tapi yang lebih hebat diterimanya adalah
tekanan. Tekanan dari luar dan dalam. Dari luar dia mendapat ancaman, dari dalam
institusi dia disisihkan. Dianggap indisipliner. Tidak loyal dan tidak menjaga
kehormatan korps. Mbalelo, dan akhirnya berujung pada pensiun dini. Habis, dan
tidak bisa lagi bersuara.
Cerita terbaru adalah nasib auditor BPK yang membongkar
kasus suap yang dilakukan oleh oknum anggota KPU. Nasibnya tak jauh berbeda. Mendapat
tekanan di sana
sini, dituduh indisipliner, cari sensasi serta bekerja di luar wewenang.
Celakanya yang mengecam adalah bosnya sendiri. Bahkan sempat mendapat serangan
balik dengan dituduh korupsi 10 juta rupiah.
Bagaimana juga nasibnya sekarang? Nyaris tak terdengar. Mungkin
dipecat atau mengundurkan diri. Sungguh ini sebuah ironi di tengah lantangnya
suara memberantas korupsi di negeri ini. Orang seperti dia seharusnya mendapat
penghargaan. Mendapat apresiasi yang positif dari pemerintah yang (katanya)
sedang serius memberantas korupsi, atau seharusnya direkrut menjadi staff ahli
presiden dalam urusan pemberantasan korupsi. Tapi ternyata tidak. Ternyata
dalam melaksanakan tugas-tugas pemberantasan korupsi, pemerintah lebih menyukai
orang yang bisa berkompromi dan bisa diajak kerjasama.
Begitulah nasib orang jujur aktif. Siapa yang berani
menerima tantangannya? Dari kasus yang sudah-sudah, mungkin orang akan berpikir
dua kali untuk mengambil posisi itu, jangankan melapor kasus korupsi.
Melaporkan maling, jambret, copet, ataupun pemalak ke pihak berwajib orang juga
enggan. Kenapa? Karena saat kita melaporkan sebuah masalah, saat itu kita sedang
mengundang masalah bagi diri sendiri. Atau
mungkin kita dihitung sebagai salah satu tersangkanya. Serba susah kan ?
Kedua adalah orang jujur pasif. Orang jujur jenis ini
hanya beranggapan bahwa yang penting adalah jujur untuk diri sendiri. Tak usah
mengurus orang lain. Yang penting cari uang yang halal, kasih anak istri makan
dengan yang halal. Meskipun sedikit yang penting halal. Meskipun sederhana yang
penting berkah. Yang lain mau korupsi itu urusan mereka. Dosa mereka. Akibat mereka
tanggung sendiri. Dengan bersikap seperti ini, apakah semua urusan jadi beres?
Belum tentu.
Siapapun kita yang menjadi orang jujur pasif harus awas
dengan lingkungan sendiri. Mungkin kita merasa tidak mengusik orang lain, tidak
menyinggung orang, tidak punya urusan dengan korupsi orang lain, itu bukan
jaminan orang lain tidak akan mengusik kita. Kita mungkin tidak mengusik
korupsi orang lain, tapi orang lain yang akan mengusik kejujuran kita.
Saya ingin ceritakan sebuah keluarga yang cukup saya
kenal kehidupannya. Bapaknya seorang Kabag di Pemda kabupaten. Tipe seorang
pegawai yang taat dan bertanggungjawab. Hidup sederhana dengan gaji yang
cukup-cukup saya. Tapi orang lain gelisah melihat kehidupannya. Ketika anaknya
main ke rumah tantenya, dia mendengarkan omongan si tante tentang bapaknya.
Kata si tante bapaknya bodoh, tidak gesit, lamban, kurang sigap, terlalu takut,
goblok, dan sejenisnya. Kenapa? Masak
sudah lima
tahun jadi Kabag di Pemda masih pakai motor buntut saja. Nggak ada kemajuan
dari dulu. Saat main ke tetangga, anaknya juga mendengar komentar yang sama
tentang bapaknya. “bapaknya lamban, bodoh, tidak ulet.” Pergi ke rumah temannya
juga dikomentari demikian. Mungkin ditambah komentar yang memanaskan, “Kalau
bapakmu pandai memanfaatkan posisinya sekarang, seharusnya kamu bisa sekolah
pakai mobil, seharusnya kamu sekolahnya tidak di sini, seharusnya tiap bulan
kamu bisa ganti sepatu, seharusnya…. Seharusnya…”
Lama-lama si anak yang mendengar komentar miring tentang
bapaknya juga terpengaruh. “Benar juga ya! Bapakku bodoh. Tidak bisa
memanfaatkan kesempatan. Tidak gesit. Seandainya bapakku pandai. Pasti hidup
kami bisa lebih makmur dari ini. Pasti saya bisa sekolah dengan mewah. Pasti saya bisa punya motor, punya sepatu bola
yang bagus. Punya Komputer sendiri.”
Istrinya juga tak luput dari provokasi tetangga,
kerabat, juga ibu mertuanya. “Suamimu bodoh, lamban, tidak bisa memanfaatkan
posisi, pengecut. Kapan kayanya kalau begitu.” Semua lingkungan menyebut sikap jujur suaminya dengan kata-kata yang
rendah. Bodoh, goblok. Memang demikianlah pandangan orang terhadap pegawai yang
jujur. Orang jujur disebut “bodoh”, sungguh aneh memang.
Di antara segelintir pegawai jujur yang pernah saya
lihat, dialah salah satunya, Pegawai Negeri yang cukup berpangkat, jadi Kabag
di Pemda Kabupaten. Tapi kejujurannya mendatangkan cobaan yang sungguh luar
biasa dalam keluarganya. Istrinya merendahkannya, tiga dari empat anaknya
membangkang. Di mata mereka bapaknya adalah biang penyebab kesengsaraan. Sungguh
menyedihkan. Mereka tak menganggap apa yang dilakukan bapaknya sesuatu yang
luar biasa, sesuatu yang heroik, sesuatu yang patut dicontoh dan pantas
dibanggakan. Dengan memiliki seorang bapak yang jujur, seharusnya mereka bisa
berteriak pada semua orang, “my dady is
my hero!” Bapakku pahlawanku.
Ini masalah yang kelihatannya gampang diselesaikan. Tapi
kadang tidak semudah yang dibayangkan. Kalau kita memilih untuk hidup jujur dan
sederhana, orang pertama yang harus diyakinkan menerima itu adalah anak dan
istri kita. Karena mereka akan menjadi pendukung utama terhadap sikap dan
komitmen yang kita pegang teguh. Kalau mereka sendiri tidak bangga dengan apa
yang kita lakukan, atau ikut menganggap bapaknya “bodoh, tidak gesit, memble”, maka
alamat kita akan mendapatkan masalah besar, dan berikutnya hari-hari bersama
mereka akan jadi hari-hari yang berat.
Nah, anda berani menerima tantangannya? Mau jadi orang
jujur aktif atau pasif? Kalau ya, anda sungguh istimewa. Syaratnya anda harus
bisa kendalikan lingkungan dan keluarga
anda. Pastikan tak ada kerikil kecil yang akan menghambat niat anda untuk hidup
bersih tanpa korupsi.
Komentar
Posting Komentar