BAB VII: BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB VII
Orang bilang perempuan adalah alat pemaksa yang paling
efektif. Untuk memaksakan keinginannya, dia tidak perlu menodongkan senjata
atau pisau. Cukup dia meminta sesuatu dengan
merengek sekali lalu. Rengekannya itu akan jauh lebih ampuh dari pisau atau
belati. Menghujam ke pikiran hingga tak ada yang bisa mengelak, bahkan tak bisa
tidur sebelum mampu mengabulkannya.
Hal ini diceritakan dengan sangat apik oleh sastrawan
Muktar Lubis dalam novelnya “Senja di Jakarta”. Novel lawas yang memotret seluk
beluk kehidupan orang Jakarta
dari berbagai kelas. Kelas tukang sampah, kelas borjuis, dan kelas pegawai.
Salah seorang tokoh yang diceritakan oleh Muktar Lubis dalam novelnya ini
adalah tokoh Sugeng, pegawai sebuah kementrian yang bekerja lurus dan makan gaji
pas-pasan. Istri Sugeng yang bernama Hasnah yang sedang hamil tua tidak sabar
dengan nasib yang menggelayutinya. Tinggal di kontrakan sempit, tetangga yang ribut
melulu, anak tetangga yang banyak dan jorok. Semuanya itu membuat dia sumpek
dan kesal.
Akhirnya Hasnah memberi ultimatum pada suaminya Sugeng.
Dengan memelas dan merengek dia sampaikan keluhannya tinggal di rumah sempit
itu, dan nanti dia tak ingin melahirkan anak keduanya di rumah itu. Pokoknya
sebelum anak yang dikandungnya lahir, suaminya Sugeng sudah harus mendapat
rumah baru yang lebih lapang dan lebih bersih.
Rengekan istrinya selalu tengiang-ngiang di telinga
Sugeng. Sugeng berjanji akan mendapatkan rumah sebelum anak mereka lahir, dan
janji itu harus dipenuhinya kalau tidak mau Hasnah istrinya ngambek dan
menyalahkan dirinya.
Sugeng mengalami pertentangan batin. Dia sudah berusaha
menjadi pagawai yang jujur selama ini. Dia sudah melawan sekeras-kerasnya
godaan untuk berbuat jahat. Tapi sekarang, untuk sebuah rumah sederhana dia
harus korupsi. Betapa tidak adilnya dunia ini baginya. Orang yang hendak jujur
tidak diberi kesempatan untuk jujur. Untuk sebuah rumah orang harus memperkosa
kehormatannya.
Akhirnya tak ada pilihan lain bagi Sugeng, demi sebuah
rumah yang dituntut istrinya, ia terpaksa menyelewengkan jabatannya untuk
pertama kali. Meloloskan lisensi untuk bisnis impor seorang Arab dengan imbalan
sebuah rumah. Sugeng tahu kalau dia melanggar hukum. Jiwannya bergolak dan
batinnya gelisah. Sambil memeluk istrinya Hasnah ia berjanji pada dirinya sendiri,
bahwa ia tidak akan mengulangi lagi. Cukup kali ini saja ia korupsi.
Tapi ternyata korupsi yang pertamanya bukanlah yang
terakhir. Bahkan itu seperti pintu pembuka baginya untuk melakukan korupsi
selanjutnya. Sebuah rumah saja ternyata tak cukup bagi Sugeng. Tak pantas punya
rumah bagus tanpa perabotan yang mewah. Kemudian tak pantas juga orang yang
tinggal di rumah bagus tidak punya mobil. Akhirnya peluang-peluang korupsi
selanjutnya tak pernah disia-siakan
Sugeng. Terakhir dia bersekongkol dengan fungsionaris sebuah partai politik
pimpinan Husin Limbara. Membuat lisensi perusahaan fiktif untuk kepentingan
impor dan memperkaya partai dan dirinya.
Setelah itu Sugeng memantapkan diri jadi importir,
keluar dari pegawai negeri agar bisa hidup kaya dan punya mobil mewah tanpa
dicurigai orang lain. Tapi istrinya Hasnah merasakan sesuatu yang tidak beres,
ia menyesal karena suaminya tidak seperti yang dulu lagi. Ia hanya meminta
Sugeng memberinya sebuah rumah sederhana, tapi dia tidak menyangka kalau
suaminya Sugeng melangkah sejauh ini. (Muktar Lubis, Senja di Jakarta, YOI, 1992).
Inilah salah satu contoh yang ingin saya sampaikan dalam
bab ini bahwa keluarga adalah faktor yang potensial mendorong seseorang
melakukan korupsi. Bukan karena alasan moral, tapi karena alasan emosional yang
membuat orang nekad korupsi untuk menyenangkan keluarganya.
Kadang orang tua suka tidak tega melihat anaknya tidak
memiliki sesuatu yang dimiliki anak-anak lain. Anak orang lain sudah pada punya
handphone tercanggih, sekolah pakai motor atau mobil, kemudian anaknya merengek
minta dibelikan juga seperti teman-temannya yang lain. Malu minjam terus sama
teman. Akhirnya orang tua luluh, dipaksakan juga membeli barang-barang yang
sebenarnya di luar jangkauannya. Sebuah dorongan emosional yang membuat orang
tua tak berpikir dua kali untuk memenuhi
tuntutan anaknya.
Inilah yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, bahwa
keluargamu, anak dan istrimu adalah fitnah
(cobaan) bagimu. Mereka menjadi ujian bagimu, jika kamu bisa mendidiknya,
mereka akan menjadi sumber pahala yang akan membawamu ke sorga, dan jika gagal
mendidiknya mereka akan menyeretmu ke jurang neraka.
Di sisi lain Al-Qur’an juga menyebut bahwa anak dan
istri adalah Amanah Allah yang dititipkan
pada kita, karena itu mereka harus dipelihara dengan baik. Sebab kalau kita
bisa menyelamatkan mereka, menjaga mereka dari kemaksiatan, menjauhkan mereka
dari api neraka, justru itu akan jadi amalan yang tinggi di hadapan Allah (QS: Attahrim 6).
Karena itu mereka seperti dua sisi mata uang. Di satu
sisi mereka menjadi fitnah bagi kita,
dan di sisi lain mereka adalah amanah yang
harus dipelihara. Kita dituntut untuk bisa menyeimbangkan sikap di antara kedua
ini. Kalau kita semata-mata memandang mereka sebagai fitnah, besar kemungkinan
kita akan bersikap over protective.
Kaku dan super hati-hati. Bisa-bisa sebagai orang tua atau suami, kita takut
memberi kepercayaan pada anak dan istri kita meski untuk hal-hal kecil
sekalipun, misalnya mengizinkan anak-anak kita pergi belajar kelompok atau
istri kita pergi ke arisan. Kita akan menginterogasi mereka setiap saat dan
tidak ingin lengah sedikitpun hingga membuat keluarga, anak dan istri kita seperti
di penjara.
Atau karena menganggap mereka amanah yang harus dijaga. Kita
jadi tidak tega melarang apapun yang dilakukan anak dan istri kita, kita
cendrung mengikuti semua keinginan mereka tanpa batas. Dengan alasan humanis,
kasih sayang, dan cinta, kita tak mau membatasi apapun kehendak mereka. Pendek
kata, kita tidak tega melihat mereka sengsara. Kita akan melakukan apapun untuk
membuat mereka selalu senyum dan bahagia.
Seorang bapak pernah mengeluhkan tentang perilaku
anaknya yang suka meminta dibelikan barang-barang mahal. Si bapak bukannya
tidak mampu membelikan barang-barang itu untuk anaknya. Tapi ia ingin mendidik
anaknya agar bersikap prihatin, tahu diri dan tidak asal merengek. Ia ingin
anaknya tahu bagaimana susahnya mencari uang, karena itu uang harus
dibelanjakan dengan baik agar tidak mubazir.
Kemudian si bapak ini menceritakan pada anaknya bagaimana
kondisi mereka dulu, keluarga orang tuannya miskin, orang kampung yang hidup
susah dengan bertani. Jangankan untuk meminta beli ini dan itu, untuk sekolah
saja susah. Akhirnya mereka menjadi anak-anak yang tahu diri. Mengerti dengan
kesulitan orang tua, mengerti susahnya mencari uang, bahkan untuk makan mereka
harus irit, satu butir telur didadar dengan nasi agar jadi banyak, kemudian dibagi lima untuk dimakan oleh semua anggota keluarga.
Nah, pengalaman inilah yang hendak ditransfer oleh si
bapak pada anaknya. Ia ingin anaknya juga menjadi anak-anak yang tahu diri, mengerti
susahnya orang tua mencari uang. Tapi bagaimana mungkin si anak bisa merasakan
sementara mereka tahu gaji bapaknya 20 juta per bulan, bapaknya punya mobil,
mereka tinggal di rumah mewah. Keprihatinan akan terdengar seperti dongeng di
telinga anak-anak itu. Kehidupan yang susah adalah nostalgia masa lalu ayah
mereka, dan sekarang mereka tinggal menikmatinya, bersenang-senang dengan
keadaan, meminta ini dan itu, dan tak perlu memikirkan yang macam-macam.
Si bapak ini mungkin lupa, bahwa anak-anaknya adalah
produk zamannya, produk dari realitas kehidupannya sekarang. Mungkin dia ingin
mendidik anaknya dengan pengertian, dia ingin anak-anaknya menjadi anak yang tahu
diri seperti mereka dulu. Tapi sayang realitas yang ditunjukkan tidak mendukung
ke arah itu. Dia ingin anak-anaknya mengerti kesusahan, tapi dalam keseharian
dia tidak pernah mengizinkan kesusahan menghampiri keluarganya. Dia lebih
sering mengabulkan permintaan mereka dan hampir tak pernah menolaknya. Dia
mencoba menanamkan keprihatinan, bicara tak punya uang, tapi mobilnya digonta ganti terus. Dia bicarakan
hidup sederhana tapi tiap hari keluarganya makan dengan makanan berlimpah.
Apa yang sudah dilakukan oleh si bapak ini? Dia sudah
membangun sebuah gaya
hidup dalam keluarganya dan itu mungkin jauh dari yang dia angan-angankan. Dia
inginkan kesederhanaan tapi ternyata
yang diberikan adalah kemewahan. Dia inginkan pengertian tapi yang muncul
adalah ketidakpedulian. Sebuah paradoks yang sulit. Si bapak yang dulu hidup
dalam kesusahan merasakan kesusahan telah mendidiknya menjadi anak yang
berbakti, tahu diri, sayang sama saudara, dan hidup saling membantu. Meski
kesusahan dalam keluarga menanamkan nilai-nilai positif seperti itu, tapi
sekaligus juga menanamkan trauma. Karena itu si bapak tak ingin anak-anaknya
mengalami kesusahan seperti yang dialaminya dulu, Dia tak ingin megekang kemauan
anak-anaknya, dia inginkan nilai-nilai lama bisa ditanamkan dalam suasana baru.
Terangnya, si bapak inginkan anak-anaknya mengerti kesusahan tanpa harus
mengalami hidup susah.
Mengharapkan seorang anak mengerti kesusahan dalam
kehidupannya yang tak pernah susah memang agak sulit. Cara hidup mewah yang
diperkenalkan oleh orang tua sangat menentukan
sikap mereka. Mungkin keadaan akan baik-baik saja selagi si bapak bisa
memenuhi semuanya. Tapi bila seandainya keadaan berubah, atau tiba-tiba kondisi
keuangan keluarga tidak stabil, cara hidup yang diperkenalkan pada keluarganya
akan berbalik merongrongnya kemudian.
Si anak mungkin tak mau tahu bagaimana kondisi pekerjaan
orang tuanya sekarang, mungkin orang tuanya tidak menduduki jabatan penting
lagi, atau masa tugasnya sudah berakhir. Otomatis kondisi keuangan juga berubah,
tapi gaya hidup
keluarga tetap. Biaya hidup tetap. Tiap akhir pekan tetap ada makan-makan di
restoran, tiap liburan tetap ada tamasya ke luar kota , tiap awal bulan belanja besar-besaran,
ulang tahun tetap dirayakan dengan pesta yang meriah. Semuanya berlangsung
seperti biasa.
Kemudian terjadi
ketidakseimbangan. Pengeluaran melebihi pemasukan. Meski kondisi keuangannya berubah, si Bapak tak
ingin ada yang berubah, dia tidak siap melihat anak-anaknya kehilangan
keceriaan, istrinya kehilangan kemesraan, rumahtangganya kehilangan kehangatan.
Tepatnya, dia tak siap untuk membuat keluarganya mengerti keadaan.
Seperti saya sampaikan di atas, ini faktor yang sangat
emosional. Kasih sayang pada anak-anak
membuat orang tua tak tega memaksa mereka mengerti keadaan. Mungkin sebelumnya
dalam hatinya tak ada terbersit niat untuk korupsi. Tapi demi keluarga, dia mungkin akan berpikir untuk melakukannya.
Seperti tokoh Sugeng yang diceritakan di atas. Dia sudah bertekad jadi pegawai
yang baik, pegawai pemerintah yang jujur. Tak pernah terbayang di benaknya
kalau dia akan melakukann korupsi. Dia menolak sekeras-kerasnya setiap godaan
ke arah itu. Tapi akhirnya dia menyerah ketika berhadapan dengan masalah yang
sangat emosional. Keluarga.
Ini mungkin sangat sensitif. Sebelum saya diprotes oleh
mereka yang berpaham feminis, yang menolak asumsi bahwa anak dan istri sebagai
penyebab korupsi. Saya ingin menyampaikan bahwa anak dan istri, lingkungan
pekerjaan, lingkungan sosial, hanya sebatas “faktor potensial yang mendorong orang
untuk melakukan korupsi.” Sedang korupsi
tidaknya seseorang ditentukan oleh sikapnya sendiri. Contoh tokoh Hasnah istri
Sugeng dalam cerita di atas hanyalah faktor pendorong suaminya untuk korupsi.
Tapi mau korupsi atau tidak, ditentukan oleh sikap tokoh Sugeng sendiri dalam
menghadapi masalah hidupnya, termasuk masalah istrinya yang selalu menuntut
rumah padanya.
Dalam konteks yang hampir sama Al-Qur’an menjelaskan
dalam sebuah ayatnya,
“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasulnya, dan dari berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusannya…(QS: Attaubah,
24).
Jadi inti persoalannya bukanlah bapak-bapakmu, anak-anakmu,
istri-istrimu, dan kaum keluargamu itu. Masalahnya adalah kalau kamu mencintai semua itu melebihi cinta pada
Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya. Sehingga membuatmu lengah dan
lalai akan perintah-perintah-Nya, maka tunggulah saatnya Allah memberi
keputusannya kepadamu.
Dalam konteks korupsipun demikian. Bukan keluarga, bukan
istri, bukan lingkungan, bukan tetangga, juga bukan kerabat, yang membuat seseorang
korupsi. Tapi sikap berlebihannya
terhadap keluargalah yang membuat korupsi itu menjadi nyata dalam
hidupnya.
Intinya kita harus berbagi kenyataan dengan keluarga
kita. Kita tak perlu menipu diri sendiri. Sampaikan saja keadaan yang sebenarnya
walaupun itu pahit. Dan tak perlu khawatir membagi beban hidup dengan anak dan
istri kita, karena memang untuk itulah mereka ada di sisi kita. Kita tak perlu
takut membebani mereka dengan persoalan karena mereka juga akan berpikir sesuai
dengan kadarnya. Berbuat sesuai dengan kadarnya.
Saya ingat waktu masih berumur sebelas tahun. Setiap
habis makan malam, ibu selalu menceritakan keadaan sawah kami kepada saya.
Sawah yang di atas belum dipupuk karena tak ada uang untuk membeli pupuk. Gaji
ayah yang pegawai swasta semua habis untuk biaya sekolah kakak. Juga sawah yang
di Kupitan belum disiangi, kondisinya kering tak ada air. Demikian cerita yang
selalu saya dengar tiap habis magrib. Kadang saya tak bisa tidur memikirkan
kondisi sawah-sawah kami itu. Tapi hanya sampai di situ, setelahnya saya
kembali larut dalam dunia anak-anak saya. Dunia bermain saya. Apa yang bisa
dilakukan oleh anak sebelas tahun seperti saya? Saya yakin ibu juga tidak
mengharapkan saya akan menyelesaikan persoalan itu. Tapi yang pasti, satu hal
yang tertanam di benak saya, saya tahu keadaan yang sedang dialami oleh orang
tua saya. Saya tahu keadaan sulit, dan itu sudah cukup bagi mereka.
Bukan bermaksud menggurui, tapi menurut saya
menyampaikan keadaan yang sebenarnya, terutama kepada anak-anak kita adalah
sebuah cara menghindari tuntutan yang berlebihan dari keluarga. Jelaskan bahwa
keuangan kita tidak seperti dulu lagi. Jelaskan kalau kita tidak menjabat lagi
dan beberapa fasilitas dan tunjangan tidak akan diterima lagi. Ingatkan anak-anak
kita untuk menahan diri. Biar mereka tidak murung mendengar berita buruk ini,
berikan mereka harapan, ajak mereka berdoa semoga keadaan kembali seperti
semula.
Selama itu jangan berbuat sesuatu yang paradoks dari
keadaan yang kita jelaskan. Misalnya mengatakan keadaan sekarang sulit, tapi
besoknya kita ganti mobil dengan yang baru. Mengatakan tak punya uang, tapi kita
justru membeli koputer, mengganti handphone dan mengganti raket tennis kita.
Kalau demikian yang kita lakukan, saya yakin sejak saat itu keluarga kita tidak
akan percaya lagi dengan apapun yang didengarnya dari kita, terutama tentang
cerita-cerita kesusahan yang kita sampaikan pada mereka. Anak kita mungkin akan berkata, “Akh, papa
bohong!”
Komentar
Posting Komentar