BAB VI: BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB VI
Agus Riyadi adalah seorang eksekutif muda, Saat dia
datang semua orang menyapanya dengan panggilan bos, “Mari bos! Apa kabar bos? Lama
nggak kelihatan bos! Sehat bos? Duduk sini bos! Akh, tambah makmur aja bos!
Mobilnya baru lagi nih bos!” Ada
sederetan sanjungan yang tak bisa dia jawab. Dia terlambung dan tidak berselera
untuk menolaknya.
Enaknya diperlakukan sebagai bos. Semua orang hormat dan
semua orang berusaha menunjukkan kebaikan padanya. Saudara Agus Riyadi ini
mungkin menikmatinya. Di tempat kerjanya mungkin dia hanya pagawai biasa. Tapi di sini, di lingkungannya ini, dia
diperlakukan sebagai bos. Orang tidak tahu apa pangkatnya, berapa gajinya,
berapa total pemasukannya tiap bulan. Yang dilihat orang dia bekerja di sebuah
BUMN, punya mobil, punya rumah lumayan bagus, kerja berdasi dan berkemeja rapi.
Dengan keadaanya ini, lingkungan menempatkannya pada strata tertentu, posisi
yang mungkin jauh lebih tinggi dari keadaan yang sebenarnya. Yakni sebagai bos.
Bos yang mereka sanjung sampai ke langit.
Perlakuan lingkungan yang istimewa terhadap dirinya itu
bukanlah cuma-cuma. Ada
harga yang harus dibayar oleh saudara Agus ini. Dia dianggap bos, diperlakukan
sebagai bos, dan sudah sepantasnyalah dia bersikap seperti bos. Kalau ada acara
kumpul-kumpul dan ada makan-makannya, siapa yang harus membayar? Ya bos. Siapa
lagi. Tak pantas kalau seorang bos tak mengeluarkan dompetnya dalam suatu acara
makan-makan. Kalau dia lupa menawarkan, salah seorang mungkin akan berinisiatif
untuk memprovokasi. “Ayo, silahkan pesan! Mumpung ada bos di sini!” Nah, kena
deh! Saudara Agus Riyadi tak bisa mengelak. Kalau sudah begitu, mau tak mau semua
tagihan akan menjadi tanggungannya. Dia harus mengeluarkan dompet berapapun
jumlahnya. Meskipun angkanya tidak dia sukai, meskipun ia tidak bawa uang cash, meskipun jumlahnya di luar budget
yang ia bayangkan, dia harus bayar. Tak bisa tidak. Mau bilang kalau tak punya
uang? Akh, mereka pasti akan tertawa. “Masak
bos nggak punya uang?” Mereka tidak percaya kalau bos tidak punya uang, tapi mungkin
mereka percaya kalau bos lupa membawa uang cash,
dan itu bukan urusan mereka.
Bagaimana bos? Bos keberatan? Atau bos puas? Kalau puas berarti impas. Bos mengeluarkan
uang dan mereka menghamburkan sanjungan. Tapi kalau bos merasa terpaksa dan tak rela, ini baru masalah.
Artinya saudara Agus ini sudah terjebak dalam social cost atau biaya gaul
di luar kendalinya. Mungkin karena
gengsi yang membuatnya takut malu dan tak berani menolak, atau juga karena dia menikmati
sanjungan itu hingga tanpa sadar dia sudah menipu diri sendiri dan mengabaikan
keadaan (khususnya keadaan keuangan) yang sebenarnya.
Biaya gaul ini memang tidak terprediksi, bisa juga tak
terbatas kalau tidak dibatasi. Kadang bisa membengkak melebihi pendapatan
seseorang. Mengeluarkan uang untuk keperluan seperti ini kadang sering tak
terduga, sering tak tentu jumlahnya. Bayangkan seseorang pegawai yang dianggap
bos dengan penghasilan tertentu harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang tak
tentu.”
Jadi jika seseorang sudah ditempatkan sebagai bos di
lingkungan sosialnya, atau (maaf) dia sendiri menampilkan dirinya sebagai bos,
dia harus siap selalu dengan uang di kantong. Akan banyak pengeluaran tak
terduga dan acara tak terduga yang mesti dihadiri. Gengsi yang melampaui keadaan telah
menjebaknya pada situasi di mana dia tak bisa menolak tuntutan-tuntutan sosial
yang berlebihan, atau juga dia takut, tak siap membayangkan kehilangan
perlakuan yang istimewa dari lingkungan sosial yang selama ini menyanjungnya.
Apa penyebab seseorang kadang mendapatkan tuntutan
(terutama tuntutan keuangan) yang berlebihan dalam masyarakatnya? Ada
dua hal yang mungkin jadi penyebabnya. Pertama, karena yang bersangkutan menampilkan
diri melebihi keadaannya (hal itu bisa terlihat dalam cara bicara, cara
menampilkan diri, cara bergaul dan sebagainya) Mungkin karena faktor gengsi
atau ingin pamer, agar bisa dianggap dan dihargai sebagai orang kaya, sebagai
bos, dan kemudian mendapat sanjungan dari semua orang.
Gengsi gede-gedean ini bisa membuat orang lupa diri.
Memaksakan sesuatu di luar kemampuannya untuk tetap bisa menjaga penampilan di
depan orang banyak. Bukan untuk dirinya, tapi untuk lingkungan yang selalu
menuntutnya selalu tampil kaya. Korupsi yang disebabkan oleh faktor ini banyak
sekali. Misalnya seorang pejabat daerah, mengadakan acara bakti sosial atau
sumbangan untuk masyarakat umum, memakai dana dan fasilitas kantor, tapi kesan
yang dibangun adalah sebagai sumbangan pribadi. Bagi-bagi sembako, bagi-bagi
uang. Seolah-olah seperti dermawan, padahal itu adalah dana instansi, tapi disalurkan
atas nama pribadi. Cara seperti ini, sudah tergolong tindakan korupsi. Kenapa?
Meski itu tetap disalurkan sebagai dana sosial, tapi si pelaku telah mengambil
keuntungan dengan mendapatkan citra baik untuk namanya.
Kedua, karena faktor lingkungan itu sendiri yang suka
membuat orang tak punya pilihan. Lingkungan membuat orang tersudut, sehingga terpaksa harus memenuhi
tuntutannya yang berlebihan.
Seorang anggota DPRD di salah satu Kota menyampaikan beban yang tidak sedikit
yang harus dia tanggung sejak menjabat jadi Anggota Dewan. Tiap hari ada saja
proposal yang parkir di mejanya, atau diantarkan orang ke rumahnya. Semua
proposal ini meminta dana yang tidak sedikit. Angka yang dibutuhkan juataan
semua. Katanya, seandainya semua proposal itu dipenuhi sesuai permohonannya,
niscaya dia akan mengeluarkan uang setiap bulannya untuk itu lima kali lipat dari gajinya.
Mereka tidak mau tahu berapa gaji seorang Anggota DPRD.
Mereka hanya tahu bapak Anu seorang pejabat, seorang anggota dewan, dan pasti
banyak duitnya. Mereka merasa tidak salah alamat meminta uang ke sana . Bagaimanapun si
anggota dewan ini meyakinkan bahwa di sini tak ada uang, di sini bukan tempat
bagi-bagi uang., mereka tak akan percaya. Mereka punya asumsi sendiri tentang
keuangan seorang pejabat, seorang pegawai, atau seorang anggota dewan. Pejabat,
pegawai, anggota dewan, pastilah kaya dan banyak uangnya.
Pilihannya hanya memberi dan tidak memberi. Kalau tidak
memberi, anggota DPRD ini mungkin akan mendapatkan konsekwensi sosial,
dikucilkan, pojokkan dan dibuat citra buruk atas dirinya sehingga hal itu
sangat merugikan, bahkan sangat menakutkan bagi seorang tokoh publik.
Masyarakat membuat hukum sendiri untuk orang yang tidak bisa memenuhi kehendak sosial
mereka.
Kalau misalnya si anggota dewan ini memutuskan untuk
memberi, mungkin ini pilihan yang aman, tapi seperti yang disampaikan di atas,
angkanya mungkin jauh lebih banyak dari gaji yang diterimanya tiap bulan. Untuk
memenuhi kehendak sosial, terpaksa yang bersangkutan mengambilnya dari pos
lain. Yakni dana yang bukan berasal dari kantong pribadinya, bukan dari
sakunya. Tapi dana yang dia berwenang mengeluarkannya. Dia terpaksa
menyelewengkan kewenangannya itu untuk memenuhi tuntutan sosialnya. Artinya dia
mengambil langkah untuk korupsi. Dalam kasus ini tuntutan sosialnya memaksanya
untuk korupsi.
Contoh lain dari kasus serupa misalnya seorang mantan
aktivis mahasiswa sebuah ormas yang menduduki jabatan di pemerintahan.
Juniornya tah henti-hentinya menghubungi
dan menerornya dengan bermacam-macam proposal, bahkan sering menghubungi dengan
telepon, “Bang, kita mau ada acara latihan kader nih bang! Mau Rapimnas nih
bang! Mau Raker nih bang!. Minta dananya Bang!”
Nah, dalam setahun ada berderet acara yang harus didanainya,
dan angkanya mungkin tidak cukup dengan gaji bersihnya sebagai pejabat. Tapi
harus bagaimana lagi, mau bilang tidak punya uang? Atau menyumbang semampunya?
Tidak bisa. Mereka punya standar sendiri tentang penghasilan seorang pejabat. Kalau
kedudukannya sebagai Dirut misalnya, masak
dirut cuma menyumbang lima
juta? Ya nggak pantas lah! Mereka pasti akan menertawakan.
Entah mereka adalah kelompok yang berpengaruh terhadap
karir si pejabat. Atau mereka adalah kelompok sosial yang memiliki konstribusi
hingga pejabat ini memperoleh jabatannya sekarang. Yang jelas, kelompok sosial
seperti ini punya kekuatan untuk menekan. Mereka membuat si pejabat takut
kehilangan dukungan dan tidak bisa menjabat lagi pada periode mendatang. Karena
itu dia nekad melakukan penyimpangan. Dia nekad korupsi untuk memenuhi biaya
sosial yang tak terbatas jumlahnya.
Tapi satu hal yang perlu saudara ingat, saat saudara
mendapatkan masalah dari tindakan korupsi yang saudara lakukan, jangan saudara
berharap mendapat pembelaan dari mereka. Mereka akan berlepas tangan. Mereka
tak mau terlibat masalah apapun berkenaan dengan korupsi. Mereka akan
meninggalkan saudara sendirian. Bahkan mereka akan berani bersumpah bahwa
mereka tidak kenal dengan saudara. Mereka akan ikut menyoraki saudara kalau
perlu. Artinya enak dimakan bersama, resiko tanggung sendiri.
Itulah yang terjadi pada seorang pejabat Orde Baru yang
sekarang meringkuk di penjara. Pejabat yang dulu sangat dermawan, loyal
terhadap bekas organisasinya. Yang dulu jadi “abang kesayangan”. Sekarang
dibuang karena tersangkut masalah korupsi. Siapa yang mau membelanya? Membela
seorang koruptor? Tidak ada. Mereka semua cuci tangan. Bahkan organisasi yang
sudah kenyang makan uang korupsinya pun seakan-akan tak peduli. Karena membela
seorang koruptor sama dengan mencoreng muka sendiri.
Seorang yang dituduh teroris mungkin masih terhormat.
Dia bermasalah karena memperjuangkan keyakinannya. Sebanyak orang yang
mengutuknya, sebanyak itu pula orang membelanya, minimal orang yang seide dan
sefaham dengannya. Tapi kalau saudara terjerat korupsi? Maaf saja, akibatnya saudara
tanggung sendiri.
Satu hal yang perlu kita catat berkenaan dengan masalah
ini, bahwa tuntutan sosial (apapun model dan bentuknya) berpotensi mendorong
orang untuk berbuat korupsi. Dorongan yang sangat ringan mungkin karena faktor
pamer dan gengsi, sehingga orang harus mengeluarkan biaya di luar kemampuan
dirinya. Dia terperangkap dalam jebakan tuntutan sosial akibat caranya
menampilkan diri. Misalnya ketika seorang perantau pulang kampung saat lebaran,
pulang dengan mobil bagus, mobil rental, tapi mengakunya milik sendiri, di
kampung berlagak seperti bos, pamer barang-barang mewah, handphone terbaru,
handycam tercanggih, kemudian bagi-bagi uang pada semua orang.
Setelah itu apakah semuanya selesai? Ternyata tidak.
Kerabat dan orang kampung memiliki persepsi sendiri dengan kondisi keuangannya,
mereka menganggap orang ini kaya di rantau sana , kemudian tiap bulan ada saja permintaan
ini dan itu dari kerabat. Minta dikirimi uang, minta dibelikan kulkas, computer,
handphone, dan bermacam-macam barang yang menurut mereka saudara bisa
memenuhinya. Karena sudah terjebak dengan citra diri yang dibuat, saudara terpaksa mengabulkannya. Saudara
merasa sungkan dengan kerabat lainnya, Saudara memaksakan diri. Dan saudarapun
korupsi.
Dalam bentuk yang sangat sistematis, tuntutan sosial ini
bisa terjadi karena adanya semacam kontrak, konspirasi atau sebuah janji tak
tertulis antara seseorang dengan kelompok sosial. Misalnya ketika seorang tokoh
mencalonkan diri menjadi Bupati, Walikota, Gubernur atau anggota Legislatif. Sebuah
kelompok sosial menawarkan dukungan kepada si tokoh ini dengan beberapa deal dan kesepakatan tak tertulis. Ada konsekwensi yang
harus dibayar oleh si tokoh ini. Selagi tokoh ini menjabat, atau menduduki
wewenang tersebut, selama itu mereka akan meneror si tokoh. Meminta bagian keuntungan
atas jabatan yang telah didapatkan.
Ini menjadi hubungan simbiosis mutualisma. Hubungan
kepentingan antara seseorang dengan kelompok sosial. Hubungan yang saling
menguntungkan. Si tokoh membutuhkan dukungan dan kedudukan, sedang kelompok
sosoal membutuhkan akses, kemudahan, uang serta proyek-proyek lainnya. Mereka selalu menuntut dan si tokoh harus
memenuhinya kalau tak ingin kehilangan dukungan. Untuk memenuhi tuntutan mereka
yang datang bertubu-tubi itu, tak ada jalan lain bagi si tokoh selain korupsi.
Mungkin skemanya bisa kita lihat seperti ini:
Memang tidak seorangpun manusia di muka bumi ini bisa
hidup tanpa membangun hubungan sosial. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa
dijalani seorang diri. begitu juga kebutuhan kita yang banyak tidak bisa
dipenuhi sendiri. Fitrahnya manusia harus membangun hubungan dengan orang lain,
interaksi sosial antar manusia tak bisa dielakkan.
Dalam interaksi ini bisa terjadi kesepakatan-kesepakatan
tak tertulis, mungkin antara personal dengan personal, antara personal dengan
kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok.
Perjanjian tak tertulis mungkin tidak menanggung
konsekwensi hukum, tapi menanggung konsekwensi logis. Misalnya seorang tokoh
menjanjikan sesuatu pada sebuah
organisasi jika dia terpilih jadi walikota nanti, beberapa proyek pendidikan
akan menjadi milik mereka. Ketika si tokoh mangkir atau tidak menepati janji,
sebuah konsekwensi akan didapatkannya, mungkin dia akan kehilangan dukungan
dari kelompok sosial itu. Atau yang lebih reaktif, mereka memprovokasi dan
melakukan manuver-manuver untuk mendiskreditkan si tokoh dan menjatuhkan citra dirinya.
Si tokoh ketakutan? Ya, tentu. Karena hubungan yang dibuat
sudah diisi oleh kepentingan. Kepentingan dia dan kepentingan kelompok yang
mendukungnya. Dia telah bersepakat dan dia terjerat. Kemudian si tokoh
mengambil pilihan yang aman, berkompromi untuk menyenangkan semua pihak,
termasuk dirinya sendiri. Dia memilih mengabaikan aturan-aturan untuk memenuhi
“kehendak” kelompok sosial.
Demikianlah jeratannya. Tapi si tokoh bukan tidak punya
pilihan. Dia hanya perlu menentukan tempat berdirinya. Kalau dia sudah
menentukan, jadi korupsi atau tidak tinggal pilihan baginya. Dia tidak perlu
korupsi karena desakan sosial yang tak bisa dibendung. Dia korupsi Karena tidak berdaya
dengan kepungan tuntutan yang membuatnya terdesak dan akhirnya korup. Tidak.
Dia tak perlu melakukan itu.
Sebaliknya, kalau orang tidak punya tempat berpijak yang
kokoh. Dia akan diombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran yang menggoda, yang
menghembuskan angan-angan gila ke akal sehatnya. Apalagi bagi mereka yang berambisi
tapi tidak bervisi. Mereka yang bersemangat tapi tidak berprinsip kuat. Mereka
adalah santapan empuk yang akan selalu diteror oleh tuntutan sosial.
Apakah yang bisa dijadikan tempat berpijak yang kokoh
itu. Antara lainnya adalah prinsip-prinsip mulia yang sudah ada dalam diri
kita. Kita bisa mengembangkannya dan membuatnya menjadi benteng yang kokoh yang
bisa melindungi kita dari korupsi. Tapi di atas semua itu, tempat berpijak yang
paling kokoh adalah agama. Al-Qur’an yang bisa menuntun kita di kala tak mampu melihat
dalam gelap. Saat kita menghadapi konspirasi yang rumit, siasat dan tipu muslihat
di belakang kita. Al-Qur’an menuntun kita bertindak dengan hati kita yang
jernih. Karena itu kita pantas
menjadikannya (Al-Qur’an itu) tempat berpijak yang kokoh dalam hidup kita.
Komentar
Posting Komentar