BAB PENUTUP: BUKU OBAT ANTI KORUPSI

BAB Penutup
Dalam sebuah Pelatihan Kepribadian yang kami adakan, ada praktek simulasi tentang kemampuan peserta mendeskripsikan kebutuhannya dalam waktu dan keadaan tertentu. Kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan adalah barometer untuk menentukan tingkat kemampuan mereka dalam hal ini.
Ada setumpuk benda-benda di hadapan peserta dan mereka akan memilih benda-benda itu sesuai dengan instruksi/perintah yang diberikan oleh instruktur. Instruksi pertama adalah peserta pergi ke bulan. Kemudian mereka berlomba mencari alat-alat yang ada yang mereka persepsikan sebagai alat untuk berada di bulan. Ada yang mengambil helm, ada yang  mengambil tabung gas, ada yang  mengambil tali. Semua mereka menjelaskan mengapa mereka memilih alat-alat itu dan mereka mempersepsikannya. Helm adalah pakaian orang di bulan yang tertutup. Tabung gas adalah tabung oksigen untuk pernapasan karena di bulan tidak ada oksigen. Yang mengambil tali mempersepsikan kalau di bulan tidak ada gravitasi dan mereka bisa berjalan lebih cepat dengan saling tarik menarik. Ketiganya punya alasan kenapa mereka memilih barang itu untuk perlengkapannya. Tapi ada satu peserta lagi yang datang membawa bantal. Kenapa memilih bantal? Tanya instrukturnya. “Nanti kalau capek berjalan di bulan saya bisa tidur dengan bantal ini,” jawabnya.
Kemudian pada termen kedua instruktur menginstruksikan bahwa peserta akan pergi ke sawah. Berlombalah para peserta memilih barang-barang yang bisa untuk dipakai ke sawah. Ada yang mengambil cangkul, ada yang mengambil topi, ada yang memegang baju kotor untuk kerja, ada juga yang mengambil rumput sebagai benih untuk ditanam. Semua peserta itu mempersepsikan barang barang yang diambilnya, tapi ada satu peserta datang dengan membawa periuk. Kenapa mengambil periuk? Tanya instrukturnya. Nanti kalau sudah capek bekerja kita bisa istirahat, menanak nasi dan makan. Jawab peserta tersebut diikuti tawa yang lainnya.
Ini hanya sebuah ilustrasi bahwa deskripsi dan persepsi kita terhadap sesuatu menentukan sikap dan tindakan kita. Kalau kita mendeskripsikan di bulan orang akan tidur enak, maka yang dibawa adalah bantal. Kalau kita mendeskripsikan di sawah orang akan makan-makan enak, maka ia akan bawa periuk untuk masak-masak. Nah, demikian juga deskripsi kita tentang hidup bermartabat yang ingin saya sampaikan pada bab penutup ini.
Ada sekitar 50 juta penduduk bangsa ini hidup dalam kemiskinan, termarjinalkan dalam segala aspek kehidupan, terendahkan secara sosial, terhinakan dalam pergaulan. Mereka semua adalah orang-orang yang juga mengangankan hidup layak. Hidup bermartabat dan dianggap keberadaannya. Seandainya ke 50 juta orang miskin di Indonesia ini kita tanyakan dalam bentuk simulasi di atas, apa saja perangkat yang harus mereka dapatkan untuk bisa hidup bermartabat? Saya yakin mereka akan menunjuk beberapa hal yang dideskripsikan oleh pikirannya. Rumah megah, mobil mewah, berpangkat tinggi, memakai seragam dinas, punya uang banyak, dan lain-lain.
Kenapa mereka akan menyebutkan ini? Karena inilah yang tampak dalam keseharian mereka, yang tampak di pelupuk mata mereka. Orang yang tinggi martabatnya adalah orang yang kaya, tinggi pangkat dan kedudukannya. Mengendarai mobil mewah, tinggal di bangunan megah. Apakah itu kesalahan? Tak ada yang salah, karena demikianlah deskripsi yang hadir dalam pikiran mereka dari apa yang mereka lihat. Di negeri ini kemegahan dan kefakiran itu hadir bersamaan, menempati ruang yang sama, tapi terpisah oleh batas-batas yang sangat tipis. Mungkin setipis kaca jendela mobil, yang hawa luar dan dalamnya berbeda kontras sekali. Hawa di dalamnya sejuk ber-AC, sedang di luarnya bocah-bocah gembel gosong kepanasan. Mungkin juga setipis pagar besi, atau setipis tembok perumahan, yang membatasi antara pemukiman kumuh dan real estate. Mereka tak saling merasakan.
Apakah bagi mereka persoalan korupsi menentukan tinggi rendahnya martabat seseorang? Apakah membangun hidup tanpa korupsi bisa dianggap faktor yang bisa menaikkan martabat mereka?  Mungkin ya, tapi itu faktor yang keseratus sekian. Karena toh di negeri ini orang yang hidup dengan korupsi tetap saja terhormat, tetap saja bermartabat. Tetap saja menikmati kebebasan tanpa sangsi sosial apapun.
Demikianlah fakta sosial yang terjadi di masyarakat kita. Pantaslah kalau ke bulan mereka membawa bantal, atau ke sawah mereka membawa periuk. Karena demikianlah kehidupan yang mereka persepsikan. Bermartabat berarti kaya, bermobil mewah, berumah megah, meski itu didapat dari korupsi. Sekarang, lewat buku ini, saya ingin kita membangun persepsi baru dari diri kita sendiri, bahwa hidup bermartabat adalah hidup tanpa korupsi.
Foto Taufiq Tan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency