BAB PENUTUP: BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB Penutup
Dalam sebuah Pelatihan Kepribadian yang kami adakan, ada
praktek simulasi tentang kemampuan peserta mendeskripsikan kebutuhannya dalam
waktu dan keadaan tertentu. Kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan
adalah barometer untuk menentukan tingkat kemampuan mereka dalam hal ini.
Kemudian pada termen kedua instruktur menginstruksikan
bahwa peserta akan pergi ke sawah. Berlombalah para peserta memilih
barang-barang yang bisa untuk dipakai ke sawah. Ada yang mengambil cangkul, ada yang
mengambil topi, ada yang memegang baju kotor untuk kerja, ada juga yang
mengambil rumput sebagai benih untuk ditanam. Semua peserta itu mempersepsikan
barang barang yang diambilnya, tapi ada satu peserta datang dengan membawa
periuk. Kenapa mengambil periuk? Tanya instrukturnya. Nanti kalau sudah capek bekerja
kita bisa istirahat, menanak nasi dan makan. Jawab peserta tersebut diikuti
tawa yang lainnya.
Ini hanya sebuah ilustrasi bahwa deskripsi dan persepsi
kita terhadap sesuatu menentukan sikap dan tindakan kita. Kalau kita
mendeskripsikan di bulan orang akan tidur enak, maka yang dibawa adalah bantal.
Kalau kita mendeskripsikan di sawah orang akan makan-makan enak, maka ia akan
bawa periuk untuk masak-masak. Nah, demikian juga deskripsi kita tentang hidup
bermartabat yang ingin saya sampaikan pada bab penutup ini.
Kenapa mereka akan menyebutkan ini? Karena inilah yang tampak
dalam keseharian mereka, yang tampak di pelupuk mata mereka. Orang yang tinggi
martabatnya adalah orang yang kaya, tinggi pangkat dan kedudukannya.
Mengendarai mobil mewah, tinggal di bangunan megah. Apakah itu kesalahan? Tak
ada yang salah, karena demikianlah deskripsi yang hadir dalam pikiran mereka
dari apa yang mereka lihat. Di negeri ini kemegahan dan kefakiran itu hadir
bersamaan, menempati ruang yang sama, tapi terpisah oleh batas-batas yang
sangat tipis. Mungkin setipis kaca jendela mobil, yang hawa luar dan dalamnya
berbeda kontras sekali. Hawa di dalamnya sejuk ber-AC, sedang di luarnya
bocah-bocah gembel gosong kepanasan. Mungkin juga setipis pagar besi, atau
setipis tembok perumahan, yang membatasi antara pemukiman kumuh dan real
estate. Mereka tak saling merasakan.
Apakah bagi mereka persoalan korupsi menentukan tinggi
rendahnya martabat seseorang? Apakah membangun hidup tanpa korupsi bisa
dianggap faktor yang bisa menaikkan martabat mereka? Mungkin ya, tapi itu faktor yang keseratus
sekian. Karena toh di negeri ini orang yang hidup dengan korupsi tetap saja
terhormat, tetap saja bermartabat. Tetap saja menikmati kebebasan tanpa sangsi
sosial apapun.
Demikianlah fakta sosial yang terjadi di masyarakat
kita. Pantaslah kalau ke bulan mereka membawa bantal, atau ke sawah mereka
membawa periuk. Karena demikianlah kehidupan yang mereka persepsikan. Bermartabat
berarti kaya, bermobil mewah, berumah megah, meski itu didapat dari korupsi.
Sekarang, lewat buku ini, saya ingin kita membangun persepsi baru dari diri
kita sendiri, bahwa hidup bermartabat adalah hidup tanpa korupsi.
Komentar
Posting Komentar