Kolom Ringan

POLITISASI

By taufiqurrahman
 Setelah membaca status seorang kawan beberapa hari yang lalu, saya jadi tertarik untuk menulis tentang politisasi yang selama ini menjadi bagian yang hampir-hampir tak terelakkan dalam kehidupan kita sekarang. Saya mencoba search di kamus besar bahasa Indonesia tentang arti sebenarnya dari politisasi. Politisasi disebutkan sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis (Sumber: KBBI). Jadi segala hal yang bersifat politis, atau diarahkan ke arah politis, maka biasa disebut politisasi. Sedangkan istilah “dipolitisir” yang juga sering kita dengar, dianggap sama maknanya dengan politisasi.
Masih segar dalam ingatan kita ketika dulu tim garuda masuk final piala Asia. Semua media mengeksposenya, dan semua dukungan mengalir untuk tim sepak bola kesayangan kita ini. Namun di tengah gegap gempitanya dukungan, ada pimpinan parpol yang mengundang mereka untuk makan bersama, berdoa bersama menjelang pertandingan final. Aksi seperti ini sontak mendapat kecaman dari beberapa pihak, karena di tengah fokus yang dibutuhkan oleh tim ini, mereka masih disibukkan oleh undangan ini dan itu, yang kesemuanya adalah usaha untuk memanfaatkan momentum mengambil keuntungan secara politik dari situasi yang ada. Inilah  politisasi.
Kasus terakhir yang seru dan konyol adalah saling klaim terhadap pembebasan sandra WNI yang disandra oleh kelompok Abu Sayyaf di Philipina. Semua mencoba mengambil keuntungan politik dari sebuah peristiwa kemanusiaan, tanpa malu mengklaim sebagai pahlawan dan orang yang berkontribusi terhadap proses pembebasan sandra tersebut. Ini hanyalah segelintir dari “aksi politisasi” dari para pemain politik di bangsa kita. Banyak lagi cerita-cerita semacam itu yang membuat kita sebagai masyarakat Indonesia geleng-geleng kepala dan mules-mules sakit perut.
Politisasi memang tak mengenal ruang, keadaan, dan orang. Selagi bisa dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan politik, maka pemain politik akan melakukan itu tanpa malu. Bayangkan saja ketika bencana alam terjadi, banjir ataupun gempa bumi, semua atribut politik berkibar dan semuanya tampil sebagai pahlawan. Sebagai masyarakat biasa kita sering membatin, masih adakah keikhlasan di negeri ini? Begitu juga dalam lapangan kehidupan sosial, olah raga, kesenian budaya, dan pendidikan tidak terlepas dari politisasi kelompok-kelompok tertentu.
Di tingkat lokal “modusnya” bisa bermacam-macam. Apalagi di dunia cyber seperti sekarang ini, setiap orang bisa mempublish dirinya di medsos tanpa sensor. Ada politisi dan wakil rakyat yang memposting fotonya di antara tumpukan material pembangunan jalan kemudian menulis di situ, “Alhamdulillah perbaikan jalan untuk masyarakat ...**** akan segera dilaksanakan. Mohon dukungan semua pihak?” Adalagi politisi yang datang di sebuah acara kesenian rakyat dan duduk di barisan paling depan, dan difoto lagi memegang mikrofon, kemudian menuliskan, “Alhamdulillah telah selesai acara kesenian ...*** yang disuguhkan untuk masyarakat...!”  Satu lagi yang terjadi dengan teman saya, ketika dia mengadakan acara sosial, operasi gratis untuk masyarakat penderita (...maaf dirahasiakan). Saya tahu dia yang mengurus acara itu dari A sampai Z. Tapi di media mereka yang memiliki kewengan berfoto-foto di depan spanduk pelaksanaan acara tersebut dan membagikannya di media sosial, “Alhamdulillah, meski sampai larut malam operasi....**** akhirnya selesai dilaksanakan. Kemudian dia mendapatkan banyak selamat dari teman-teman dan koleganya di medsos.
Politisasi semacam ini memang menyakitkan, terutama bagi yang merasa dikorbankan. Istilah teman saya, “berladang di punggung kawan”. Banyak sekali orang yang tega berladang di punggung kawan seperti ini. Kawan yang berjibaku, kawan yang bekerja keras, tapi dia yang mengambil keuntungan.

Apa yang salah dalam postingan seperti ini? Memang sekilas tidak ada yang salah. Mereka menyampaikan sesuatu dan tidak menyebut-nyebut dirinya secara verbal. Tapi yang memposting dengan sadar mengetahui bahwa apa yang disampaikan itu  membentuk persepsi pada orang banyak, persepsi bahwa dia adalah tokoh yang berperan penting terhadap terlaksananya program dan acara itu. Inilah politisasi. Kita tak perlu berdebat apakah ini absah atau tidak, legal atau tidak, mendidik atau tidak. Namun yang pasti menurut saya perbuatan seperti ini menggelikan sekaligus menggemaskan. Dalam hal ini saya sepakat dengan pendapat beberapa pakar, bahwa kenapa olah raga kita tidak maju-maju, kesenian kita tidak maju-maju, pendidikan kita tidak maju-maju. Itu karena terlalu banyak politisasi di dalamnya.
Pertanyaannya apakah politisasi itu salah? Untuk ini mungkin kita bisa merujuk ke akar bahasanya sendiri. Dalam kamus Inggris politisasi ini disebut Politisize, yang artinya membangun kesadaran politik. Politisize bermakna netral. Tidak bermakna negatif seperti yang kita rasakan di Indonesia sekarang ini. Dalam prakteknya, membangun kesadaran politik bisa bermaknan memberdayakan dan menguatkan bagi yang disadarkan. Misalnya kelompok pekerja yang tidak tahu hak-haknya, kemudian diberi kesadaran politik pada mereka agar mereka tidak mudah ditindas dan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Begitu juga penyadaran politik untuk kaum perempuan, agar mereka memiliki kekuatan dan bargaining position dalam area kehidupan public.
Jadi tak ada yang salah dengan politisasi  atau politisize ini. Namun dalam prakteknya di sini sungguh membuat kita geleng-geleng kepala.***





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency