BAB IX: BUKU OBAT ANTI KORUPSI
BAB IX
Salah satu kiat penting untuk menjauhkan diri dari
tindakan korupsi adalah “jangan pernah berniat untuk korupsi.” Sebab sesuatu
yang sudah diniatkan sejak awal akan berpeluang untuk diteruskan dan diwujudkan
dalam sebuah tindakan nyata.
Adakah orang yang berniat melakukan korupsi? Secara
terang-terangan mungkin tidak, tapi tanpa disadari banyak orang berniat
korupsi, diam-diam, bahkan juga telah merencanakannya sejak dini, sejak masih
sekolah atau menjadi mahasisiwa, atau saat mulai mencari kerja menawarkan
ijazah. Seperti apa bentuknya? .
Saya teringat seorang teman sekolah saya yang sama-sama
bermimpi untuk bisa kuliah dan bekerja dengan gaji yang tinggi. Tapi teman ini
mimpinya sedikit berbeda, dia lebih pragmatis dan realistis. Dia tidak memikirkan
soal minat, bakat dan kemampuan dalam menentukan pilihannya. Baginya yang
penting prospek ke depan, dan prospek ini diperjelas lagi dengan lahan
pekerjaan. Ia inginkan pekerjaan yang “basah” banyak proyeknya, banyak duitnya,
tidak hanya makan gaji, tapi punya cakaran di sana sini. Bisa sambar sana sambar sini. Nah, jurusan yang punya
prospek seperti ini menurutnya adalah Teknik Sipil. Di benaknya mungkin sudah
terbayang bekerja di proyek-proyek besar, proyek jalan tol, proyek gedung
pencakar langit, proyek real estate yang kesemuanya itu bermain dengan uang
yang banyak. Karena itu setamat sekolah teman ini mati-matian mengincar jurusan
Teknik Sipil, nggak dapat di negeri swastapun jadi. Yang penting Teknik Sipil.
Pilihan seperti ini tentu sah-sah saja. Setiap orang
punya cara untuk memotivasi dirinya dalam menggapai cita-citanya. Mungkin teman
ini memotivasi dirinya dengan materi. Atau impian dan kebanggaan tertentu yang
ingin dicapainya. Tapi menurut saya, apa yang diangankan teman ini, pekerjaan
yang “basah”, cakaran ini dan itu, dalam bentuk yang sangat awal, ia sudah
merencanakan untuk korupsi.
Sampai saat ini, saya hampir tidak punya definisi lain
tentang istilah “tempat basah” selain korupsi. Kalau ada orang yang mengincar
suatu jabatan, atau posisi di sebuah instansi
dengan alasan karena itu adalah “lahan basah”, atau “posisi basah”, bukan
bermaksud suudzhon, menurut saya dia
sedang merencanankan korupsi. Kenapa? Karena lahan basah, dalam pemahaman saya
(saya kira juga kebanyakan orang) adalah tempat di mana seseorang bisa mendapatkan
uang di luar gaji, di luar prosedur dengan memanfaatkan posisi atau jabatannya.
Banyak orang membutuhkannya. Satu tandatangan bisa berharga jutaan rupiah, dan
sekali lagi, itu berlangsung di luar prosedur.
Kalau dia seorang polisi misalnya, bekerja di bagian
penjinak bom, pasukan anti terror, atau pasukan cadangan yang dikirim ke daerah
konflik, dia tergolong polisi yang bernasib malang . Pekerjaannya berat tapi tempatnya
“kering”. Dia hanya bisa makan gaji dari bulan ke bulan tanpa memiliki
penghasilan sampingan.
Tapi kalau dia bekerja di Samsat, lantas, atau reserse
anti narkoba. Itu namanya bekerja di tempat yang basah. Tempat yang
memungkinkan seorang polisi menghasilkan uang sepuluh kali lipat dari gajinya
setiap bulannya. Syaratnya asal lincah dan pandai melihat peluang, dan yang
penting dia harus membuang jauh-jauh idealisme dan moralitas yang membelenggu. Polisi
yang seperti ini bisa lebih kaya dari jenderal berbintang dua.
Nah, diam-diam terminologi tempat basah dan tempat
kering ini sudah menyelinap dalam pikiran kita jauh sebelum kita memasuki dunia
kerja. Mungkin ketika seorang calon mahasiswa mulai memikirkan untuk menentukan
jurusan apa yang akan dipilihnya di perguruan tinggi. Dia mungkin memilih
jurusan Teknik Sipil, Hukum atau Kedokteran dengan pertimbangan ini. Kesadaran
akan lahan basah ini terus dipupuk dan tumbuh subur dalam pikirannya selama
menjadi mahasisiwa, selama dia kuliah, bahkan saat dia turun ke jalan, ikut
demo anti korupsi dan anti KKN.
Selama itu, sebuah paradok terus bersemayam dalam pikirannya. Mahasiswa
ini, yang selama kuliah dididik dengan idealisme, komitmen moral anti korupsi,
serta setumpuk teori tentang keadilan sosial, dalam waktu bersamaan juga sedang
merencanakan bekerja di “lahan basah”. Merencanakan dapat uang dalam jumlah berlipat
melebihi layaknya. Merencanakan korupsi pada tingkat yang sangat ringan.
***
Jenis lain dari kasus
ini adalah sogok menyogok, khususnya dalam hal penerimaan pegawai negeri. Kita lihat
setiap tahun jutaan pencari kerja mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri
untuk bisa dapat pekerjaan layak, hidup layak, gaji layak dan hari tua
ditanggung negara. Ini angan-angan kebanyakan masyarakat Indonesia , dan
untuk mendapatkannya mereka hanya menemukan satu jalan. Jadi Pegawai Negeri.
Tidak heran bila setiap tahunnya berjubel angkatan kerja
antri di beberapa instansi pemerintah dalam berbagai tingkatan pendidikan. Ngurus
ini ngurus itu, pontang panting melengkapi berkas lamaran, mengurus SKKB ke
Kepolisian, mengurus kartu kuning ke Depnaker, mengurus Surat Sehat ke Depkes,
ke kampus melegalisir ijazah, ke kelurahan ngurus KTP, dan banyak lagi tetek
bengek yang harus dilengkapi, pas foto, CV, surat lamaran, dll.
Untuk apa semua itu? Untuk apa persyaratan yang seabrek-abrek
itu diharuskan dalam seleksi awal? Inilah bentuk betapa tidak efektif dan tidak
efisiennya kerja birokrasi kita. Rumit dan menyebalkan. Sistim birokrasi yang
menyengsarakan yang seharusnya bisa disederhanakan. Atau mungkin memang
disengaja karena menyangkut pemasukan bagi instansi yang bersangkutan.
Karyawan saya di restoran pernah minta izin cuti lima hari untuk mengurus
persyaratan ikut CPNS tahun 2006. Ia pontang panting ke sana kemari, bolak-balik ke kepolisian, ke
depnaker, dan kantor kelurahan. Setelah itu ia masuk kerja lagi dengan wajah
yang letih. Berapa biaya yang dikeluarkannya untuk mengurus semua itu? Katanya
kurang lebih seratus ribu rupiah. Kalau kita anggap 50%-nya terpakai untuk
biaya transportasi, berarti ada sekitar limapuluh ribu rupiah ia menghabiskan
dana untuk biaya administrasinya. Coba kita kalikan biaya sebanyak itu dengan
jutaan pencari kerja yang ikut tes CPNS di seluruh Indonesia . Kita akan menemukan
angka kira-kira ratusan milyar rupiah. Itu dana masyarakat yang disedot oleh
birokrasi untuk biaya lembar-lembar kertas persyaratan tersebut. Luar biasa.
Ini adalah warisan mental kolonial yang bercokol di
pikiran birokrasi kita. Memandang masyarakat (rakyat) sebagai objek. Objek
pemerasan, objek pungutan, objek administrasi yang berbelit-belit. Seakan-akan
para pegawai itu tidak rela melihat sebuah urusan melewati mejanya tanpa mengeluarkan
uang sepeserpun. Tak boleh ada yang gratis. Kalau mau gratis pasti akan lama
dan dipersulit.
Akhirnya seperti yang kita saksikan setiap tahun. Jutaan
pendaftar CPNS, antri di beberapa instansi pemerintah, berjubel-jubel mengantri
dapatnya selembar kertas yang disyaratkan. Mengeluarkan beberapa rupiah untuk
biaya administrasi. Mengisi formulir ini dan itu, melegalisir ini dan itu.
Betapa rumitnya, susahnya minta ampun. Tapi ironisnya, semua berkas yang diurus
dengan susah payah itu akhirnya hanya menjadi tumpukan sampah, memenuhi gudang departemen
yang bersangkutan. Kemudian pada saatnya akan dilelang menjadi barang kiloan.
Proses ini bisa lebih sederhana kalau sistemnya
dibenahi. Misalnya sebuah departemen membutuhkan hanya 350 orang pegawai baru,
sedangkan yang mengikuti tes penerimaan sebanyak 6.000 orang. Semuanya
melengkapi persyaratan administrasi yang seabrek-abrek banyaknya. Itu yang
lolos persyaratan administrasi dan dipanggil mengikuti tes, belum lagi termasuk
yang mendaftar tapi tidak lolos syarat administrasi, jumlahnya mungkin lebih
banyak lagi.
Kalau yang dibutuhkan 350 orang, kenapa persyaratan yang
banyaknya seabrek-abrek itu dibebankan pada 6.000 orang? Atau pada semua
pendaftar yang pasti tidak akan diterima (semuanya)? Pekerjaan mubazir.
Membuang banyak energi, waktu dan tenaga, bukan hanya bagi calon peserta, tapi
juga bagi pegawai yang melayaninya.
Kalau mau, sebenarnya departemen yang bersangkutan bisa
saja menyederhanakan syarat itu untuk semua peserta yang mengikuti tes awal,
misalnya hanya ijazah dan KTP saja. Persyaratan lainnya dipenuhi setelah yang
bersangkutan lulus dalam seleksi awal. Kalau misalnya yang dibutuhkan 350
orang, departemen yang bersangkutan bisa meyeleksi dua kali lipat dari jumlah
itu, 700 atau 900 orang. Nah, cukuplah sejumlah ini orang yang berpontang
panting melengkapi persyaratan administrasinya, SKKB, Kartu kuning, dan surat keterangan sehat tersebut.
Tak perlu 6.000 orang berjubel-jubel mengantri surat keterangan ini dan itu, kalau ternyata
semuanya hanya akan jadi tumpukan kertas sampah di gudang kantor.
Tapi seperti yang saya katakan di atas, mental birokrasi
kita menganggap ini sebagai “hajatan besar” yang harus dimanfaatkan sebagai
sumber pemasukan. Masyarakat tetaplah menjadi santapan empuk, karena harapan
dan kebutuhannya yang besar untuk bekerja di pemerintah.
Namun di tengah rumitnya prosedur untuk ikut tes CPNS
ini, ada orang yang tidak ikut pontang panting, tidak ikut antri dan berdesak-desakkan.
Tiba-tiba bisa ikut tes dan lulus, bahkan ada yang tidak ikut tes tapi lulus.
Ini kedengarannya sangat konyol, tapi terjadi di republik ini. Kerja keras
kadang tak ada harganya. Aturan formal hanya jadi prasyarat belaka. Yang paling
menentukan adalah kerja dan usaha dari pintu belakang. Dari pintu gelap yang
tidak bisa dimasuki oleh semua orang. Pintu dengan aturan sendiri. Cara
kerjanya sendiri. Cara kerja siluman yang tidak terjamah oleh tangan orang
biasa. Telpon sana
telpon sini, sogok sana
sogok sini. Kemudian lulus tanpa diundi.
Ini manusia jenis lain yang akan kita bicarakan dalam bab
ini. Manusia-manusia instant dengan cara berpikir instant. Tak mau bersusah
payah untuk bersaing secara terbuka. Lebih mementingkan hasil daripada proses.
Tak peduli caranya bagaimana, yang penting lulus dulu, urusan kemampuan
belakangan. Asal ada uang, semuanya bisa diatur sesuai kemauan.
Banyak sekali kasus-kasus seperti ini kita temukan, di
daerah ataupun di pusat. Bahkan setelah reformasi bergulirpun kasus seperti ini
tak pernah hilang. Memang sudah mental yang seperti itu, mau diapakan lagi.
mental mencari jalan pintas untuk kepentingan diri sendiri, keuntungan sendiri.
Orang seperti ini, tak diragukan lagi, adalah calon koruptor potensial yang
akan menggerogoti harta negara.
Bagaimana alur berpikir orang seperti ini? Saya
menyebutnya orang yang potensial untuk korup. Cara berpikirnya bisa kita
telusuri. Pertama orientasinya, tak disangsikan lagi manusia jenis ini
orientasinya adalah uang. Kalau ada seseorang yang anda ketahui mendapatkan
pekerjaan dengan uang (menyogok), pasti tujuannya juga uang. Tak peduli dengan
cara bagaimana dia akan mendapatkannya, bahkan dengan cara yang “tidak benar”
sekalipun tidak akan membebani dirinya, karena di bawah alam sadarnya sudah
tersimpan kesadaran bahwa ia sudah memulainya dengan cara yang tidak benar
juga. Cara menyogok. Cara yang sudah mengesampingkan moral dan aturan.
Selanjutnya cara seperti inipun akan dilakukannya dalam pekerjaan. Hanya
menunggu waktu dan kesempatan. Orang seperti ini pasti akan melakukan korupsi.
Kedua, cara kerja orang seperti ini bisa ditebak. Di
pekerjaan dia lebih memilih jadi pegawai biasa, tak mau menonjolkan diri dan
tak mau dibebani tanggungjawab. Seakan-akan takut kalau orang lain tahu
kecurangannya di masa lalu. Mencari selamat jauh lebih penting baginya daripada
bertindak heroik. Dan pada saatnya ada kesempatan dia akan lahap kesempatan
itu.
Pegawai seperti ini bertebaran di pemerintahan. Mereka
bukan siapa-siapa. Tidak memegang jabatan atau tanggungjawab tertentu. Tidak
terkenal dan tidak punya prestasi yang menonjol. Dia biasa-biasa saja, kerjanya
standar saja. Tapi kekayaannya melebihi kekayaan atasannya. Melebihi kekayaan
kepala bagian atau kepala dinas di instansi tempat ia bekerja. Bagaimana bisa
dia mendapatkan kekayaan seperti itu? Jelas tidak sulit, karena dia sudah
merencanakan itu saat ia masuk kerja dengan menyogok.
Bagi orang seperti ini uang jauh lebih penting dari apapun.
Dari pekerjaan, dari prestasi, dari kehormatan dan martabat diri. Uang adalah
martabatnya. Karena itu orang seperti ini tak peduli dengan apapun selain uang.
Di kehidupan kita mungkin menemukan orang seperti ini. Mungkin tetangga kita
atau teman sekantor kita. Kita tidak tahu apa jabatannya di kantor
pemerintahan, tidak tahu apa bisnisnya di luar kantor, tidak tahu dengan siapa
saja dia berhubungan. Tapi hidupnya kaya. Sangat kaya.
Di dunia lain, dunia akademik misalnya. Hal seperti di
atas juga bisa terjadi. Calon mahasiswa yang masuk sebuah universitas/sekolah
dengan cara menyogok, akan memiliki orientasi dan cara pandang yang berbeda
dengan mahasiswa/pelajar lainnya. Dia tidak peduli dengan proses, tapi sangat
mementingkan hasil. Sekolah baginya hanya sebatas formalitas, mengerucut pada
dua kepentingan pragmatis, ijazah dan nilai. Inilah yang mereka buru dengan
cara apapun.
Mahasiswa seperti ini tak akan sungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu. Kalau ada tugas kuliah dia akan membayar orang lain untuk membuatkannya.
kalau ada nilai yang bisa dibeli dia akan beli pada sang dosen. Skripsi akan
diproyekkan pada orang lain. Tidak perlu susah-susah belajar, ujian atau
membuat skripsi. Yang penting lulus, nilai bagus dan dapat ijazah.
Mental instant ini terus berkembang pada orang yang suka
menyogok, atau mengawali karirnya dengan menyogok. Apa yang dilakukannya sejak
dari mahasiswa tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dilakukannya di dunia
kerja. Kesadaran bahwa dia lulus dengan cara tidak baik, menyogok atau dengan
bekingan, itu akan menjadi pintu baginya untuk melakukan hal yang tidak baik
selanjutnya. Kalau dia menganggap menyogok adalah hal biasa dalam mendapatkan
pekerjaan, dia pasti akan menganggap menerima sogokan adalah hal yang biasa
dalam pekerjaannya.
Jadi kalau kiat yang disampaikan dalam bab ini, “Jangan
pernah berniat untuk korupsi,” artinya jangan pernah melakukan
perbuatan-perbuatan yang membuka jalan bagi kita untuk korupsi. Salah satunya
adalah menyogok. Karena sekali kita melakukannya, kita akan terperangkap dalam
kesadaran bahwa kita sudah mengawalinya dengan cara yang buruk, dan tak ada
beban dalam diri kita untuk melakukan keburukan selanjutnya.
Bagi saudara yang sudah terlanjur, hal penting yang bisa
saudara lakukan adalah memperbaharui kembali niat kearah yang benar. Karena
niat adalah kunci dari sikap dan tindakan yang akan kita lakukan. Dalam sebuah
hadis yang sudah mashur ada dijelaskan. Ketika orang berbondong-bondong hijrah
dari Makkah ke Madinah dengan bermacam-macam alasan, Rasulullah memperingatkan
pada para sahabatnya untuk memperbaharui kembali niat mereka dalam berhijrah.
“Sesungguhnya amal perbuatan hanya tergantung pada niat.
Seseorang hanya akan mendapatkan sesuatu tergantung niatnya. Barang siapa yang
hijrahnya dengan niat untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada
Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya untuk mendapatkan harta
dunia dan seorang istri, maka ia hanya akan mendapatkan itu. (6:48. Shahih Muslim).
Jadi meluruskan niat itu sangat penting, karena niat itu
akan menuntun sikap dan tindakan kita selanjutnya. Saya punya sedikit
pengalaman tentang hal ini. Saat omset
restoran yang saya kelola menurun drastis, saya mencoba melakukan evaluasi
ulang. Semua karyawan saya kumpulkan dan saya brifing ulang tentang
pekerjaannya. Saya berasumsi menurunnya omset adalah akibat dari pelayanan yang
buruk serta kualitas masakan yang menurun. Besoknya saya menargetkan kenaikan
omset dalam jumlah tertentu. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan mereka saya kontrol
dari awal buka sampai restoran ditutup. Apa yang saya dapatkan? Selama seharian
itu emosi saya naik entah kenapa. Kepala saya pusing dan roman muka saya kusut.
Omset yang saya targetkan meningkat malah menurun, semua karyawan saya diam dan
sayapun hampir tak bicara. Sebenarnya mereka sudah bekerja dengan baik, tapi
entah kenapa dalam pikiran saya mereka masih kurang becus dan perlu disalahkan.
Di rumah menjelang tidur saya mencoba memikirkan apa
yang terjadi selama sehari ini dalam diri saya. Saya menemukan jawabannya,
karena saya terlalu bernafsu mencari keuntungan. Saya menargetkan sesuatu yang
sudah ditentukan Allah, yaitu rezki untuk setiap hambanya. Itulah yang membuat
saya jadi sesak nafas dan susah senyum. Selanjutnya saya perbarui niat saya.
Saya niatkan aktivitas bisnis saya hari ini untuk ibadah kepada-Nya, saya
kerjakan tugas saya dengan baik dan hasilnya saya serahkan pada Allah.
Subhanallah!, saya merasakan hari itu berubah sama sekali. Saya tak terbebani
oleh target apapun, saya bekerja dengan plong, ceria, dan bisa tersenyum. Saya
tak melihat karyawan sebagai sumber masalah, saya tak melihat naik turunnya
omset sebagai sesuatu yang berat hingga membuat saya harus stress. Ternyata
niat merubah segalanya. Merubah niat merubah sudut pandang, merubah sikap dan
akhirnya merubah tindakan kita jadi lebih baik.
Karena itu Rasulullah selalu mengingatkan kita. Perbaharui
dan terus perbaharui niat kita. Dalam hal apapun, dalam bekerja, dalam belajar,
dalam beribadah sekalipun. Hanya niatlah yang menentukan ke mana arah kita
berjalan dan apa yang akan kita dapatkan. Pada titik manapun sekarang kita
berada, tak ada kata terlambat untuk memperbarui niat. Saudara yang baru
melangkah, Saudara yang sudah bergerak separoh jalan, atau saudara yang sudah hampir
tenggelam dalam korupsi, jangan pernah merasa terlambat untuk memperbaharui
niat. Siapa tahu di tengah jalan kita akan menemukan arah yang benar.
Komentar
Posting Komentar