BABA V: BUKU OBAT ANTI KORUPSI

BABA V
Saya mendapat cerita yang sangat berharga dari saudara saya bapak Iqbal (semoga Allah merahmatinya). Dalam sebuah pertemuan yang bermanfaat ia menyampaikan kisah tentang Saidina Ali bin Abi Thalib r.a. yang sangat menarik hati saya. Saking sukanya saya dengan kisah itu, saya merasa tak perlu menanyakan pada beliau dari mana sumbernya dan dari buku mana ia membacanya. Ini kisah yang sungguh sarat hikmah. Di setiap kesempatan bicara tentang korupsi, saya selalu mengutip kisah yang luar biasa ini, dan sekarangpun saya ingin menyampaikannya pada anda.
Suatu ketika Saidina Ali r.a. pernah menitipkan pelana kudanya pada seseorang, sebut saja namanya si Fulan. Setelah lama sekali sampai Saidina Ali lupa dan ia tak pernah mengambilnya. Hingga beberapa bulan kemudian ia ingat kembali akan pelana kudanya yang dititipkan itu, dan besoknya ia berniat mendatangi rumah si Fulan untuk mengambil.
Di perjalanan sebelum sampai ke rumah si Fulan itu, Saidina Ali berpapasan dengan seseorang yang juga menunggang kuda. Ali menyapa orang tersebut dan memperhatikan pelana kuda yang dipakainya. Seperti akrab dengan pelana itu, Ali membatin dalam hati. “ini seperti pelana kuda saya..!” Sekedar ingin memastikan, kemudian Ali bertanya: “Dari mana tuan dapatkan pelana kuda ini?”
“Saya beli dari si Fulan.” Jawab orang itu.
“Kapan?”
“Baru saja.”
“Berapa?”
“4 dirham.”
Saidina Ali mematut lekat-lekat pelana kuda itu. Benar. Tidak salah lagi. itu adalah pelana kuda yang dititipkannya pada si Fulan.
“4 dirham!” Ali bergumam sendiri, kemudian memegang uang dirham yang ada di kantongnya.
“Tidak sabar saja si Fulan itu.” Batin Ali. “Padahal saya akan datang mengambil pelana kuda itu dan sudah berniat memberi imbalan atas jasanya sebesar  4 dirham.” Kemudian Ali langsung balik kanan.
Kisah ini sangat sederhana, tapi memberikan makna yang dalam pada kita. Apa ibroh dari kisah ini? Ternyata perlu kesabaran dalam mencari rezki. Andai si Fulan itu sabar, ia akan mendapatkan uang dengan jumlah yang sama (4 dirham) dengan cara yang berbeda. Hanya selisih menit antar Ali dengan seseorang yang membeli pelana kuda dari si Fulan itu. Fulan menjual barang titipan (amanah) orang lain padanya dan itu jelas haram, dan ia mengantongi uang 4 dirham dengan cara yang bathil. Seandainya si Fulan itu bersabar sedikit, ia akan menerima uang jasa penitipan dari Ali dengan jumlah yang sama, dan itu halal baginya. Iapun akan mendapat pahala dari Allah karena sudah menjaga amanah orang dengan baik.
Rezki tidak akan ke mana. Allah telah tetapkan rezki setiap makhluk di muka bumi ini dan itu tak akan tertukar. Tidak satupun yang melata di muka bumi ini kecuali dari Allah rezkinya (Q.S Huud. 6).  Semuanya sudah ada takarannya dan tidak bisa dipaksakan lebih. Persoalannya dengan cara apa rezki itu didapatkan. Ada terbentang dua jalan di hadapan kita, jalan “Haq” dan jalan “bathil.”
Logika dari kisah Saidina Ali menjelaskan hal itu dengan nyata. Ada dua jalur rezki yang mengiringi kehidupan kita. Bisa jadi datang secara bersamaan atau bergantian. Jalur haq dan jalur bathil. Jalur haq adalah jalur yang lurus, jalur di mana rezki diperoleh dengan cara-cara yang diridhoi Allah. Tidak merugikan manusia lain dan tidak pula membuat mudharat (kerusakan) pada semesta. Rezki seperti ini akan memberi berkah pada manusia, pada kehidupannya dan kehidupan orang-orang yang bersamanya (anak dan istrinya). Tapi anehnya jalur ini dianggap jalur yang sulit. Jalur yang sempit dan tidak mudah didapatkan.
Sedang jalur yang bathil bertebaran di depan mata. Bahkan seakan-akan itu adalah satu-satunya jalur yang mungkin dilalui. Dalam pandangan manusia, seakan-akan peluang untuk mendapatkan rezki dengan cara bathil terbuka di mana-mana. Padahal Allah memberikan kepada kita kesempatan sebaliknya. Jalan mendapatkan rezki secara haq itu jauh lebih banyak dari pada yang bathil. Perbandingannya mungkin satu berbanding seribu. Dari seribu jalur rezki hanya ada satu jalur bathil, selebihnya jalur haq.
Tapi kecendrungan manusia justru sebaliknya. Dari sekian banyak jalur yang haq, seolah-olah yang tampak di depan mata hanya jalur bathil. Kecendrungan ini sudah ditampakkan Allah sejak Adam masih di dalam sorga. Allah hanya melarangnya menjauhi satu pohon dari sekian ribu pohon yang ada di sorga. ‘La takroba hazihis sajaroh,’ Jangan dekati pohon ini. Pohon yang satu ini. Kata Allah kepada Nabi Adam. Tapi justru yang dilarang itulah yang didekati, fitrah kecendrungan manusia pada sesuatu yang dilarang. Karena itulah Adam a.s mendapat konsekwensi logis dari pelanggarannya, yakni dikeluarkan dari sorga dan hidup di bumi.
Kisah Saidina Ali ini memberi penjelasan yang nyata, bagaimana rezki itu sebenarnya tidak berubah. Ia tetap dengan kadarnya, hanya cara memperolehnya yang mungkin bisa berbeda. Misalnya tokoh kita Bapak Aseng sekarang memiliki dua buah rumah dan dua buah mobil dari hasil korupsi. Apakah dengan tanpa korupsi bapak Aseng ini dapat memilikinya? Tentu saja, kalau itu memang sudah rejekinya. Kisah Saidina Ali ini dengan jelas menggambarkan kepada kita bahwa si Fulan mungkin sekali mendapatkan uang dengan jumlah yang sama, sebanyak 4 dirham tanpa harus menjual barang yang diamanahkan orang padanya. Cuma saja si Fulan tidak sabar.
Contoh lain, misalnya tokoh kita Bapak Badu melakukan korupsi sebesar 20 juta rupiah. Dia menganggap ini kesempatan langka dan tanpa pikir panjang dia langsung menyabetnya. Bapak Badu dengan jelas menempuh jalan bathil untuk mendapatkan uang 20 juta. Seandainya dia tidak melakukan itu, apakah dia akan kehilangan rezkinya sebesar dua puluh juta? Tidak. Kalau itu memang rezekinya. Dia pasti akan mendapatkannya lagi dengan cara yang berbeda. Cara yang halal dan baik. Cara yang lebih diridhoi Allah. Dia tidak akan kehilangan serupiahpun dari rezkinya dengan menolak melakukan korupsi. Rezkinya tidak akan berkurang hanya karena dia tidak mengambil kesempatan untuk melakukan korupsi 20 juta rupiah.
Juga sebaliknya. Dengan korupsi 20 juta jangan berpikir rezki itu akan bertambah lebih banyak 20 juta. Tidak. Allah sudah menentukan takarannya. Mungkin uang 20 juta itu masuk dan singgah dalam rekening pak Badu. Tapi tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa baginya, Allah akan mengambil kembali dengan cara yang tidak  diduga-duga. Mungkin anaknya sakit. Atau dia sendiri yang sakit. Hingga dia membutuhkan biaya pengobatan sejumlah uang yang dikorupsinya atau mungkin lebih. Atau mobilnya tabrakan, atau kemalangan lain yang datang tidak disangka-sangka. Atau biaya/pengeluaran yang tiba-tiba muncul tanpa diduga.
Artinya apa? Uang hasil korupsi itu tak bisa dikendalikannya.  Segigih apapun dia mencoba mempertahankan, Allah tetap punya cara untuk mengambilnya kembali, dan itu di luar kuasa pak Badu. Saya teringat pengalaman waktu menengok kerabat yang sakit karena kecelakaan. Kakinya patah dan ginjalnya rusak. Biaya operasi dan pengobatannya hampir seratus juta rupiah. Seratus juta rupiah! Coba bayangkan! biaya yang harus dikeluarkan hanya dalam waktu beberapa hari saja. Rumahnya terjual, kendaraannya terjual, uang di rekeningnya terkuras habis untuk membayar semuanya. Dan itu di luar kehendaknya.
Saya tidak mengatakan kalau kerabat ini mencari rezki dengan cara yang bathil, yang ingin saya sampaikan bahwa uang yang dikumpulkan rupiah demi rupiah selama bertahun-tahun itu bisa diambil lagi oleh Allah dalam waktu sekejap. Dalam hitungan hari, ia kembali pada posisi semula, pada posisi ia tak memiliki apa-apa.
Bukankah rezki seharusnya memberi nilai tambah dalam kehidupan kita? Ya, itulah yang kita sebut dengan berkah. Banyak rezki banyak amalnya, dan banyak menfaatnya. Karena alasan itulah kita membutuhkan rezki yang halal, rezki yang diridhai oleh Allah. Kalau punya uang banyak, tapi berlalu begitu saja dalam hidup kita tanpa meniggalkan bekas apapun, itu berarti semua yang kita peroleh hanyalah kesia-siaan.
Korupsi membuat hidup manusia seperti itu. Uang mengalir, datang dan pergi begitu saja. Tak ada bekas yang ditinggalkan kecuali keuntungan semu, dan pada akhirnya dia kembali pada posisi semula. Pada posisi dia tak punya apa-apa, pada posisi di mana dia berangkat dari ketiadaan. Namun tidak sesuci dulu lagi, satu noktah sudah tertoreh dalam catatan amal perbuatannya, bahwa ia telah korupsi.
Tiap fase dalam kehidupan kita mempunyai tempat pemberhentian, terminal-terminal. Di setiap terminal itu kita bisa sejenak menengok ke belakang. Berkaca pada perjalanan hidup yang telah kita lalui. Sejauh mana kita sudah berjalan dan ke arah mana kita melangkah. Kitapun bisa menghitung-hitung sendiri, merenungkan diri kita dalam usia yang terus berjalan. Apa yang telah kita lakukan? Kalau kita korupsi apa yang telah kita dapatkan dan apa yang telah hilang dari hidup kita? Perjalanannya bisa kita lihat dalam bentuk seperti ini.
Pada terminal 1  ke terminal 2 orang hampir tak punya masalah. Ini fase di mana orang masih kanak-kanak, remaja dan beranjak dewasa. Ia cendrung hanya bermasalah dengan dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain. Pada terminal 2 ke 3 inilah semua persoalan hidup mulai mendapat respon dengan serius. Orang punya tanggungjawab, mulai khawatir, was-was dan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Pada fase inilah orang mungkin sekali melakukan korupsi. Kira-kira umur kita pada fase ini antara 25-60 tahun.
Kalau ada di antara kita yang menempuh jalur korupsi (K) dalam menyelesaikan persoalan hidupnya, terutama persoalan ekonomi,  pada terminal 3 inilah kita bisa menghitung apa yang telah kita peroleh dan apa yang telah hilang dari hidup kita. Kita mungkin punya mobil lima, rumah tiga, deposito di semua bank. Punya tanah berhektar-hektar dari hasil korupsi. Semua itu didapat bukan tanpa konsekwensi. Kalau mau direnungkan, Allah pasti telah mengambil  kenikmatan lain dari diri kita sebagai gantinya. Mungkin kesehatan kita yang merosot drastis. Tiap bulan harus ke dokter untuk ganti darah, jantung yang lemah, darah tinggi, stroke, dan penyakit lainnya yang mengharuskan kita ke dokter tiap bulan, dan untuk itu kita mengeluarkan uang berjuta-juta rupiah.
Ini balasan yang mungkin diberikan Allah di dunia ini, dan kita tidak menyadarinya. Barangkali kita akan berfikir, “Untung saya kaya, kalau saya miskin pasti saya tak akan mampu membayar ongkos berobat yang mahal ini.” Tapi sebenarnya justru karena kita kaya (dengan cara korupsi) Allah memberikan penyakit itu pada kita sebagai cara-Nya untuk mengambil kembali sesuatu yang bukan hak kita. Kita mungkin sebenarnya barada pada titik sama saat kita tidak punya apa-apa. Harta hasil korupsi yang banyak itu hanya menjadi beban dalam hidup kita. Kita terpaksa mengeluarkan biaya-biaya ini itu yang sebenarnya tidak perlu untuk menjaganya. Kita selalu diliputi rasa was-was kalau-kalau perbuatan korupsi kita terbongkar dan kita menanggung malu.
Inilah harga yang harus dibayar. Ketika kita sudah berada pada terminal 3 ini, silahkan menghitung, berapa banyak kerugian dalam hidup yang ditimpakan Allah pada kita dan berapa banyak uang/harta yang sudah kita korupsi (kerugian ini mungkin bukan hanya dalam bentuk uang atau material, tapi kerugian dalam hidup yang membuat semua usaha dan amal kita menjadi sebuah kesia-siaan). Kalau ternyata sama, atau mungkin lebih, artinya dengan korupsi kita tak mendapatkan apa-apa selain catatan dosa yang memperberat timbangan amal buruk kita. Nauzubillah!
Kemudian bagi saudara yang berjalan di trek yang lurus, tidak korupsi (TK) menghidupi keluarga dari nafkah yang halal, bekerja keras dengan cucuran keringat, hidup sederhana dengan segala kenikmatannya. Pernah punya kesempatan untuk korupsi tapi tak melakukannya demi kehormatan diri dan keberkahan keluarga. Tak ingin menghidupi anak istri dengan uang hasil korupsi, karena hal itu sama dengan memasukkan bara api ke perut mereka.
Kita yang berada pada sikap seperti ini, kalau sekarang berada di terminal 3, silahkan menghitung keadaan diri kita, berapa banyak kenikmatan yang Allah telah berikan pada kita, dan berapa kekayaan kita berkurang karena tidak mengambil kesempatan melakukan korupsi.
Sampai umur 60 tahun, Allah mungkin masih memberi kesehatan yang baik pada kita. Makan masih enak, tidur masih nyenyak, tensi stabil, stamina selalu prima, anak-anak yang merupakan mutiara hidup penyejuk hati selalu patuh dan hormat pada kita, sekolahnya lancar, sukses, tak pernah mengecewakan orang tuanya, istri kita setia, rumah tangga selalu tentram, hati dan jiwa tenang. Berapa kita akan menghargai semua nikmat Allah itu? Mungkin tidak akan terbayar dengan uang yang akan kita korupsi.
Mari hitung dengan seksama. Akan lebih bagus kalau kita  punya pembanding, misalnya teman se kantor, tetangga kita, sejawat yang diduga hidup dengan hasil korupsi. Bandingkan apa yang ia peroleh dari korupsi dan apa yang diambil Allah dari kehidupannya. Kemudian lihat diri kita, apa yang diberikan Allah sebagai ganti terhadap kesempatan korupsi yang kita tolak mentah-mentah. Kehidupan kita pasti lebih tenang dan lebih baik, dan atas semuanya itu sepantasnyalah kita bersyukur pada-Nya.
Kalau ada kita temukan orang yang korupsi tapi kehidupannya baik-baik saja. Kesehatannya tidak bermasalah, keluarganya tidak bermasalah, ekonomi dan kekayaannya tidak bermasalah. Jangan bersangka buruk dulu, itu bukanlah berarti bahwa Allah tidak mengambil apa-apa dari dirinya. Ingat, masih ada terminal akhir, ujung dari semua terminal kehidupan. Yakni kematian. Pada terminal ini semuanya akan berakhir. Dalam bahasa sekarang sering diucapkan orang, “sampai di mana sih!”  enaknya korupsi. Seperti kita makan sate kambing, sop buntut, pecel lele, nasi goreng, rendang padang, dan makanan enak-enak lainnya. Coba bayangkan, sampai di mana sih enaknya semua itu? Hanya sampai di kerongkongan. Dekat sekali. Coba perhatikan berapa dekatnya antara mulut dengan kerongkongan kita. Hanya sepanjang jari telunjuk. Sedekat itulah korupsi itu hanya bisa dinikmati. Setelah lewat kerongkongan, setelah makanan itu sampai di perut dan diaduk-aduk dalam usus kita, kita sudah tak merasakan enaknya lagi.
Kembali pada pokok pembicaraan di atas. Jadi kalau saudara dapat kesempatan untuk korupsi sebesar seratus ribu rupiah. Tolak saja, karena Allah pasti akan menggantinya dengan sejumlah uang yang sama tanpa harus korupsi. Kalau saudara dapat kesempatan korupsi satu juta rupiah. Tolak saja, karena saudara pasti akan mendapatkan uang satu juta rupiah sebagai gantinya dengan jalan yang halal. Dengan catatan kalau itu memang rezki saudara.
Sabar dan yakin adalah kunci penting dalam hal ini. Saat kesempatan datang, saat kita berhadapan dengan pilihan korupsi atau tidak, dan kita diliputi kebimbangan. Saat itulah sabar dan yakin yang ada dalam diri harus kita pertebal. Karena itu adalah saat-saat yang kritis bagi kita untuk mencari pembenaran melakukannya.
Sabar, apa yang perlu dilakukan? Pertama kita harus mengingatkan pada diri sendiri, sesulit apapun keadaan kita, sebutuh apapun kita dengan uang yang ingin kita korupsi itu, katakan pada diri kita bahwa ini bukanlah pilihan yang baik. Ini bukan kesempatan satu-satunya. Jangan berpikir “Aji mumpung.” Allah pasti akan memberikan kesempatan yang lain, rezki yang lain dengan cara yang lebih baik dan diridhoi tentunya.
Yakin, ini memang berat. Bahwa Allah pasti akan menggantinya dengan kesempatan yang lebih baik. Kalau itu memang rezki kita, yakinlah Allah akan memberikannya kepada kita dengan cara lain.  Tapi mungkin tidak saat itu. Mungkin tidak dalam bentuk uang. Mungkin juga tidak langsung kepada kita. Tapi kita akan merasakan bahwa kita telah mendapatkan sesuatu yang nilainya sama atau melebihi uang yang mungkin akan kita korupsi.

Foto Taufiq Tan.
Flowchart: Sequential Access Storage: Kiat 5: Jauhi sikap “aji mumpung” sabar dan yakin dalam menerima rezki dari Allah.
 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma, Postulat, Konsep, asumsi dan Hipotesis

Crime of Currency